Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Tiba giliran pemerintah membantu petani miskin sebesar Rp 600.000. Adapun kategori petani miskin, menurut Menteri Pertanian, Syahrul Yasin Limpo adalah petani serabutan, buruh tani, dan petani penggarap. “Mereka ini yang dalam COVID-19 terdampak langsung," tutur Syahrul dalam konferensi pers virtual, Selasa (5/5/2020).
Syahdan, jumlahnya sekitar 2,7 juta orang, meski data tersebut masih dalam proses validasi. Bantuan itu terbagi menjadi dua bagian. Rp 300.000 dalam bentuk tunai dan sisanya Rp 300.000 diberikan berupa sarana produksi (saprodi).
Bagi petani penggarap yang mengerjakan lahan milik orang lain dengan sistem bagi hasil, barangkali tidak ada persoalan. Mereka dapat meraih bantuan tersebut sepenuhnya tanpa diutak-atik pemilik lahan.
Tapi bagaimana dengan buruh tani yang mendapat upah dari pemilik lahan. Dalam hal ini, tentu saja, saprodi, baik benih, pupuk dan antihama disediakan oleh pemilik lahan.
Jangan sampai saprodi yang diberikan pemerintah malah menguntungkan pemilik lahan. Haruslah diatur begitu rupa sehingga nilai saprodi yang diberikan pemerintah harus dibayar oleh pemilik lahan kepada para buruh tani.
Demikian juga bantuan tunai sebesar Rp 300.000 jangan sampai pemilik lahan mengurangi upah buruh tani yang sudah disepakati. Hal ini perlu diwanti-wanti karena tidak adanya perjanjian tertulis atau kontrak antara pemilik lahan dan buruh tani.
Posisi buruh tani dengan pemilik lahan sungguh tidak sejajar. Bahkan boleh dikata mirip hubungan majikan dengan pembantu rumahtanga yang belum tersentuh regulasi pemerintah.
Menurut Kepala BPS, Suhariyanto, upah buruh tani nasional naik hanya Rp 55.046 per hari pada Januari 2020. Sebulan hanya sekitar Rp 1.650.000. Itupun hanya pada musim tanam hingga masa panen selama 3 atau 4 bulan. Selebihnya terpaksa bekerja serabutan.
Jika dibandingkan dengan UMP (upah minimum provinsi), upah buruh di perkotaan jauh lebih tinggi. UMP di Sumatera Utara misalnya mencapai Rp 2.499.423 sebulan pada 2020.
Semoga bantuan bagi buruh tani sebesar Rp 600.000 itu tidak mengurangi hak mereka untuk memperoleh bantuan sembako atau bantuan langsung tunai sebagai warga miskin. Apalagi sebagai buruh tani mereka menerima hanya sekali. Tidak sepanjang pandemi Covid-19 masih merajalela.
Misalkan, itu yang terjadi, saya kira nasib buruh tani masih tetap sengsara. Nasib mereka hanya akan berubah jika reformasi agraria dilakukan, ketika setiap petani memiliki lahan sawah yang memadai. Ketika tidak ada lagi buruh tani alias petani gurem.