Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
WALAUPUN jadwal Pemilu 2024 belum diketahui secara pasti, tapi tahapan persiapan akan segera dimulai pada Januari 2022. Pemilu mendatang akan menjadi sejarah baru, karena dilaksanakan secara serentak untuk seluruh jenjang pemerintahan, yakni presiden dan wakil presiden, gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati, serta seluruh legislative, dari DPR RI, DPD, DPRD provinsi, DPRD kabupaten/kota di tahun yang sama.
Dalam catatan perjalanan Pemilu dan Pilkada yang berjalan sejak tahun 1999, salah satu pokok persoalan yang selalu berulang adalah perlindungan dan terfasilitasinya hak pilih. Pasalnya, masalah ini bahkan hampir selalu menjadi dalil atau materi gugatan setelah penghitungan dan penetapan hasil suara di Mahkamah Konstitusi.
Pelaksanaan Pemilu 2009 juga melahirkan Panitia Khusus (Pansus) DPR RI untuk menyelidiki sengkarut daftar pemilih tetap (DPT). Dalam pelaksanaan Pemilu 2019, DPT menjadi polemik akibat temuan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) adanya 1.013.067 identitas pemilih ganda pada DPT di 285 kabupaten/kota dari 514 kabupaten/kota, yang berakibat perubahan DPT hingga 3 kali.
Begitu juga dalam pelaksanaan Pilkada, DPT sangat sering menjadi masalah yang digugat dalam sengketa di MK, padahal proses penyusunan, pencocokan dan penelitian data pemilih menjadi kumpulan entitas pemilih yang menggunakan hak pilihnya di hari pemungutan suara merupakan tahap persiapan awal yang sangat penting sebagai penentu keberhasilan penyelenggaraan Pemilu.
Persoalan DPT telah tegas diatur dengan syarat pemilih wajib mempunyai Kartu Tanda Penduduk (KTP) elektronik atau KTP-el dalam Pilkada 2020. Namun masalah berulang seperti pemilih yang masuk dalam DPT, tetapi belum melakukan perekaman KTP-el ataupun sebaliknya pemilih yang memenuhi syarat sebagai pemilih, tapi tidak masuk DPT, termasuk identitas ganda, pemilih meninggal, serta perpindahan penduduk ke wilayah lain.
Belajar dari perjalanan pelaksanaan Pemilu dan Pilkada langsung sejak 2004, maka perlu langkah yang tepat dan efektif untuk mengantisipasi permasalahan DPT agar tidak terulang lagi dalam Pemilu 2024, yang tentunya harus dimulai dari hulu penyedia data, yakni data kependudukan yang menjadi kewenangan Kementerian Dalam Negeri dan jajarannya.
Data Kependudukan Jadi Kunci
Dalam setiap persoalan data pemilih selalu diiringi dengan masalah pendataan kependudukan yang tidak akurat, yang jika ditarik merupakan kelanjutan dari masalah pendataan kependudukan sejak dari proses pembuatan data konsolidasi bersih (DKB) oleh Ditjen Dukcapil dengan perangkatnya Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil (Disdukcapil) di tingkat kabupaten/kota. Terutama persoalan sistem pendataan kependudukan yang kurang efektif. Dalam mengikuti dinamika pertumbuhan dan pergeseran penduduk kewenangan tentang administrasi kependudukan berada pada Ditjen Dukcapil Kemendagri, yang kemudian diolah menjadi daftar penduduk potensial pemilih pemilihan (DP4).
Di sinilah sangat diperlukan langkah maju untuk melahirkan strategi yang tepat dan efektif dari Kemendagri dan Dinas Dukcapil dalam melakukan verifikasi data dan percepatan perekaman KTP elektronik bagi masyarakat yang sudah masuk dalam kategori pemilih pemula, penghapusan data pemilih yang meninggal dunia, memasukkan data apparatur pemerintah seperti TNI dan Polri yang telah pensiun dan perpindahan penduduk dalam proses validasi bahan pokok DP4. Caranya dengan melakukan update rutin setiap minggu secara berkelanjutan dari seluruh jajaran infrastruktur pemerintahan level RT, RW/kepala lingkungan, kelurahan, kecamatan dan Dinas Catatan Sipil, melalui pengembangan aplikasi yang dapat di-update langsung dengan proses verifikasi yang tepat dan cepat, untuk melahirkan data yang clear and clean sebagai hulu daftar pemilih dan pintu penyempurnaan data.
Karena data penduduk yang lahir, meninggal, pergeseran atau perpindahan penduduk, adalah objek yang memiliki potensi besar mengalami perubahan setiap harinya. Apalagi dengan jumlah penduduk berdasarkan data Administrasi Kependudukan (Adminduk) per Juni 2021, sebanyak 272.229.372 jiwa. Maka peristiwa kependudukan, seperti kelahiran, perpindahan tempat tinggal, perubahan status TNI/Polri dan kematian, sangat membutuhkan agresifitas update dari infrastruktur pimpinan wilayah pemerintahan yang bersentuhan langsung dengan masyarakat, serta pemanfaatan kemajuan teknologi informasi dan digitalisasi yang efektif serta tepat, sehingga pencatatan, perekaman dan pergeseran data bisa berlangsung cepat tanpa memakan waktu lama.
Dengan mengembangkan sistem data kependudukan yang bisa diakses dari infrastruktur yang berjenjang di tingkat kelurahan/ desa, sebagai sistem data yang terkoneksi dan terintegrasi dalam satu kesatuan, akan mempersingkat proses penyusunan DPT. Bahkan mungkin bisa langsung dipotong menuju DPS sebagai bagian dari proses pencocokan penelitian (coklit) jelang pemilu 2024, untuk mengurangi biaya Pemilu.
Salah satu yang selalu menjadi persoalan dari tahun ke tahun ketika pemilu dan pemilihan adalah nama penduduk yang terdaftar dalam DPT yang sudah meninggal atau pindah domisili muncul kembali. Padahal telah dihapus atau diperbaiki pada saat proses pencocokan dan penelitian (coklit) oleh Petugas Pemutakhiran Data Pemilih (PPDP) pada pemilu dan pemilihan sebelumnya.
Kemunculan nama kembali, antara lain disebabkan tidak adanya anggota keluarga atau orang yang pindah, tidak melaporkan secara resmi ke Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil (Disdukcapil), sehingga pihak Disdukcapil juga tidak bisa menghapus data ataupun domisili seseorang tanpa adanya bukti administrasi.
BACA JUGA: Revitalisasi Gagasan Sumpah Pemuda
Di sinilah peran utama para RT, RW (kepala lingkungan), lurah dan camat agar bergerak aktif mendorong bahkan mendampingi warga, untuk memberikan laporan resmi kepada Disdukcapil, hingga mengisi data pergerakan penduduk secara mingguan ke dalam sistem data kependudukan yang terkoneksi. Hal ini sesuai amanat UU Nomor 24 Tahun 2013 Pasal 44 Ayat 1 yang menyebut bahwa setiap kematian wajib dilaporkan oleh ketua rukun tetangga atau nama lainnya di domisili penduduk kepada instansi pelaksana setempat paling lambat 30 (tiga puluh) hari sejak tanggal kematian. Begitu juga warga yang sudah berusia tujuh belas tahun atau belum berusia tujuh belas tahun tetapi sudah menikah, warga yang pindah domisili dari wilayahnya.
KPU yang selama ini mengunakan sistem berbasis aplikasi bernama Sistem Informasi Data Pemilih (Sidalih) juga perlu meningkatkan sistem yang dapat secara aktif dan mampu mensinkronkan data berkala sekaligus mengkroscek validasi data dengan cepat, termasuk memperbaiki SDM/operator dalam mengelola sistem pemutakhiran data agar tidak mengalami human error.
Perlu dipahami bahwa sejauh ini tingkat partisipasi pemilih dan stakeholders pemilihan untuk melengkapi dan memvalidasi data pemilih masih rendah. Di sinilah pentingnya kolaborasi, integrasi dan sharing data antar penyelenggara pemilu, seperti PPS dan sekreatariat/operator data kependudukan di kelurahan dan kecamatan.
Ketika adanya temuan dari petugas pemutakhiran data pemilih (PPDP) melakukan coklit berbasis kondisi riil, segera dapat melakukan update atau perubahan bekerja sama dengan infrastruktur pemerintahan untuk memvalidasi data, sesuai dengan syarat NIK dan NKK sebagai syarat pemilih.
Pada titik inilah kerja sistem pemutakhiran data pemilih yang berbasiskan data kependudukan menjadi kunci. Karena perkembangan penduduk yang meninggal, alih status atau pindah domisili yang ditemukan petugas lapangan secara riil, dapat langsung diproses pada basis dokumen formal yang diakui oleh regulasi kependudukan.
Akurasi Data
Karena persoalan data kependudukan tidak hanya terkait dengan pemilu tapi juga sangat mempengaruhi banyak sektor, seperti proses pemberian bantuan sosial yang bermasalah karena faktor data, hingga program vaksinasi COVID-19 yang juga diwarnai problem data.
Dalam UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum pada Pasal 20 Huruf l, sangat tegas sebenarnya kebutuhan untuk melakukan pemutakhiran dan memelihara data pemilih secara berkelanjutan, yakni memperhatikan data kependudukan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. Begitu juga dengan UU Nomor 24 Tahun 2013 tentang Administrasi Kependudukan pada Pasal 1 Ayat 22, yaitu data pribadi adalah data perseorangan tertentu yang disimpan, dirawat, dan dijaga kebenaran serta dilindungi kerahasiaannya.
Perlu diingat bahwa tidak tercatatnya penduduk secara administratif akan menghilangkan hak pilih, atau persoalan administratif yang menghilangkan hak politik warga negara. Karena itu data kependudukan yang lengkap, akurat, akuntabel, akan meminimalkan gugatan, baik dari masyarakat maupun dari peserta pemilu. Kesuksesan pemilu berkualitas dan berintegritas berawal dari daftar pemilih yang valid dan akuntabel.
====
Penulis Direktur Eksekutif Perhimpunan Suluh Muda Inspirasi (SMI)/penggiat HAM dan Demokrasi
====
medanbisnisdaily.com menerima tulisan (opini/artikel) terkait isu-isu aktual masalah ekonomi, politik, hukum, budaya dan lainnya. Tulisan hendaknya ORISINAL, belum pernah dimuat dan TIDAK DIKIRIM ke media lain, disertai dengan lampiran identitas (KTP/SIM), foto (minimal 700 px dalam format JPEG), data diri singkat (dicantumkan di akhir tulisan), nama akun FB dan No HP/WA. Panjang tulisan 4.500-5.500 karakter. Tulisan sebaiknya tidak dikirim dalam bentuk lampiran email, namun langsung dimuat di badan email. Redaksi berhak mengubah judul dan sebagian isi tanpa mengubah makna. Isi artikel sepenuhnya tanggung jawab penulis. Kirimkan tulisan Anda ke: [email protected]