Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
PERTANIAN sebagai tulang punggung ketersediaan pangan dan penyedia lapangan pekerjaan telah memiliki peran penting dan berkontribusi nyata dalam pertumbuhan ekonomi Indonesia di kuartal III-2021
Berdasarkan data BPS, sektor pertanian menyumbang pertumbuhan positif 3,51 persen secara year on year (yoy), dan tetap tumbuh 1,35 persen yang sekaligus menjadi pondasi perekonomian nasional yang konsisten tumbuh dan menyumbang 14,3% terhadap PDB nasional pada kuartal III-2021.
Sayangnya, hampir setiap tahun sektor pertanian selalu berhadapan dengan kelangkaan pupuk dan harga yang mahal. Bahkan, pada akhir tahun 2021 kelangkaan pupuk bersubsidi terjadi di sentra pertanian Sumatra Utara, seperti Kabupaten Serdang Bedagai, Simalungun, Samosir, Tapanuli Selatan, Asahan dan lainnya.
Sedangkan pada Januari 2022 harga pupuk nonsubsidi mengalami kenaikan hingga 100%, yang dimulai sejak Oktober 2021, sehingga berdampak pada penurunan pendapatan petani.
Konsekuensinya adalah nilai tukar petani atau NTP untuk tahun 2021 terutama petani holtikultura dan pangan berada di bawah standar impas, akibat pembengkakan biaya harga pupuk, sementara harga hasil produksi stagnan bahkan cenderung menurun.
Harga pupuk urea nonsubsidi pada 2020 seharga Rp. 280.000 per sak/50 kg, sejak Oktober hingga November 2021 mengalami kenaikan menjadi Rp 380.000, kemudian pada Desember 2021 mencapai Rp 480.000 hingga Rp 500.000, dan Januari 2022 harga pupuk sudah mencapai Rp 560.000 per sak.
Harga pupuk NPK juga mengalami kenaikan yang signifikan, seperti NPK Mutiara mengalami kenaikan harga dari Rp. 400.000 per 50 kg menjadi Rp 600.000 per sak. Sementara NPK phonska mengalami kenaikan dari Rp. 170.000 per 25 kg menjadi Rp 260.000.
Sementara persoalan kekurangan pupuk bersubsidi juga tidak kunjung terselesaikan akibat kurangnya alokasi. Kebutuhan pupuk jenis urea di Sumatra Utara yang mencapai ± 300.000 ton pada 2021, namun hanya memperoleh alokasi subsidi 154.916 ton.
Karena disparitas harga antara pupuk subsidi dan nonsubsidi yang mencapai ±200 %, yakni pupuk urea bersubsidi seharga Rp 112.500 per 50 kg dan harga pupuk nonsubsidi mencapai Rp 560.000 per 50 kg, disinyalir menjadi pemicu terjadinya penyalahgunaan pupuk bersubsidi ke pasar nonsubsidi.
Evaluasi Kartu Tani dan Insentif Peralihan ke Organik
Dari jauhnya perbedaan harga antara pupuk nonsubsidi dan subsidi sangat dibutuhkan langkah antisipasi untuk mencegah kecurangan, terutama melakukan evaluasi sistem penyaluran pupuk bersubsidi melalui kartu tani, yang dimulai dari penyusunan ERDKK sebagai basis data
Alokasi pupuk bersubsidi berdasarkan Peraturan Menteri Pertanian Nomor 49 Tahun 2020 hanya diperuntukkan bagi petani yang tergabung dalam kelompok tani, yang dimasukkan ke dalam elektronik RDKK (e-Rencana Defenitif Kebutuhan Kelompok tani).
Data E-RDKK sebagai kunci dalam perencanaan distribusi pupuk bersubsidi, justru sering tidak sesuai dengan kebutuhan nyata, karena besarnya jumlah petani yang tidak tergabung dalam kelompok tani yang terdaftar di dinas pertanian daerah.
Terutama untuk menentukan siapa yang berhak memperoleh pupuk bersubsidi, apakah pemilik tanah atau petani yang mengelola tanah. Jenis pupuk yang dibutuhkan petani apakah Urea, NPK, SP-36, ZA dan lainnya dan luas areal serta komoditi tanaman petani.
Termasuk mendata petani penyewa tanah yang kesulitan masuk kelompok atau E-RDKK akibat status tanah bukan miliknya, karena aturan administrasi yang meminta kejelasan status tanah sering menyebabkan petani penyewa tidak masuk dalam proses pedataan.
Butuh integritas dan moralitas tinggi dalam melakukan validasi data kelompok tani, apakah benar petani yang mengelola pertanian atau jaringan pedagang pupuk, karena potensi kecurangan dimulai dari proses update data, termasuk kemungkinan adanya kelompok tani yang tidak berisikan petani namun pemilik perkebunan skala besar.
Dari akurasi data petani yang tepatlah penyusunan kebutuhan pupuk subsidi dan alokasi yang diberikan bisa meminimalisir potensi kecurangan, disinilah urgensi dari sisi petani bisa memberikan informasi yang akurat dan bersifat bottom-up
Kementerian Pertanian menetapkan alokasi pupuk bersubsidi 2022 secara nasional sebesar 9,11 juta ton dan 1,8 juta liter pupuk organik cair, belajar dari kekurangan pupuk subsidi pada 2021 dan kenaikan harga nonsubsidi yang meroket perlu strategi yang tepat untuk mengantisipasinya.
Dari mahalnya harga pupuk seharusnya menjadi momentum untuk mengurangi ketergantungan pada pupuk kimia dan beralih ke pupuk organik, dari pertanian yang tergantung pada input kimia ke pertanian agroekologi yang ramah lingkungan, apalagi jika melihat rencana penghapusan pupuk bersubsidi pada tahun 2024.
Walaupun secara empirik masyarakat dominan beranggapan bahwa hasil produksi, dengan menggunakan pupuk kimia cepat dan hasilnya memuaskan, jika dibandingkan dengan hasil dengan penggunan pupuk organik
Disinilah dibutuhkan kemampuan dan kebijakan Pemerintah memberikan perlindungan dalam masa peralihan dari kimia ke organik, karena kemungkinan mengalami penurunan hasil produksi karena penyesuaian unsur tanah, namun setelah dua atau tiga tahun justru akan mengalami peningkatan produksi.
Sehingga perlu kebijakan khusus untuk memberikan insentif atau reward bagi petani yang memaksimalkan penggunaan pupuk organik dengan political will melalui dukungan kebijakan stabilisasi harga pasca panen untuk produk organik maupun permodalan dan fasilitas lainnya.
Mendorong petani melakukan pemupukan berimbang menjadi salah satu bagian dari smart farming, untuk perlahan mengembalikan petani kepada sistem pertanian agroekologi yang ramah lingkungan, karena secara jangka panjang penggunaan pupuk organik secara masif memberikan banyak keuntungan.
Salah satunya adalah memperbaiki kondisi tanah karena penggunaan pupuk kimia secara konsisten secara terus menerus justru mengurangi kesuburan tanah yang akan berpengaruh pada kemampuan produktivitas tanah, dengan penggunaan pupuk organik petani tidak perlu mengeluarkan biaya besar untuk menaikkan kesuburan tanah.
Kemudian mendorong BUMDES untuk memiliki unit pengolahan pupuk organik terutama desa yang mengandalkan pertanian sebagai aktivitas utama ekonomi masyarakatnya dan sekaligus mendorong ekonomi peternakan dan sejenisnya sebagai bahan baku
Pengembangan produksi pupuk di desa selain untuk memenuhi kebutuhan pupuk, juga dapat berkontribusi dalam tumbuhnya sumber ekonomi lainnya, dari pengumpulan dan pengolahan bahan baku lokal akan memungkinkan melahirkan lapangan kerja dan sumber ekonomi bagi masyarakat desa.
Pengembangan produksi pupuk organik di desa juga menopang proses edukasi dan pengetahuan petani terkait pengelolaan pertanian berkelanjutan, terutama keuntungan penggunaan pupuk organik dan efeknya untuk merehabilitasi kesuburan tanah.
Dengan perbaikan unsur hara tanaman dan struktur tanah, maka lahan lebih sehat dan produktivitas dapat meningkat, yang tentunya bisa menghemat biaya produksi petani karena memaksimalkan pemanfaatan pupuk organik, hayati, dan mikroorganisme lokal untuk menekan kebutuhan pupuk kimia hingga dibawah 50 persen.
Pertanian Berkelanjutan dan Berkurangnya Beban Subsidi
Dalam lima tahun terakhir kebutuhan pupuk untuk petani setiap tahunnya mencapai 22,57-26,18 juta ton atau senilai Rp. 63-65 triliun, namun karena keterbatasan anggaran pemerintah, alokasi pupuk bersubsidi setiap tahunnya hanya 8,87-9,55 juta ton dengan nilai anggaran Rp 25-32 triliun.
Bahkan dalam skema DPR subsidi pupuk tahun 2023 kemungkinan hanya menyisakan dua jenis pupuk subsidi, yakni urea dan NPK, karena pupuk jenis ZA, SP-36 dan pupuk organik tidak lagi disubsidi, maka langkah mendorong penggunaan pupuk organik yang diproduksi langsung oleh masyarakat atau desa sebagai pondasi menjalankan pertanian berkelanjutan menjadi penting.
Disinilah momentum melakukan pergeseran consern pertanian dari produktifitas tinggi dalam jangka pendek dengan menggunakan pupuk kimia, tapi memiliki dampak negatif seperti degradasi dan penurunan kesuburan tanah serta kerusakan ekosistem tanah, dengan bergeser pada pertanian berkelanjutan yang memperhatikan keseimbangan alam, kualitas, serta keamanan produk pertanian.
Karena lahan pertanian adalah investasi jangka panjang yang bukan hanya untuk dimanfaatkan oleh generasi sekarang tapi juga generasi berikutnya, jika mengelolanya hanya memburu keuntungan jangka pendek, kemungkinan besar generasi mendatang hanya akan mewarisi lahan secara fisik namun mampu lagi berfungsi untuk menghasilkan bahan pangan.
====
Penulis Direktur Eksekutif Perhimpunan Suluh Muda Inspirasi (SMI)/penggiat HAM dan Demokrasi
====
medanbisnisdaily.com menerima tulisan (opini/artikel) terkait isu-isu aktual masalah ekonomi, politik, hukum, budaya dan lainnya. Tulisan hendaknya ORISINAL, belum pernah dimuat dan TIDAK DIKIRIM ke media lain, disertai dengan lampiran identitas (KTP/SIM), foto (minimal 700 px dalam format JPEG), data diri singkat (dicantumkan di akhir tulisan), nama akun FB dan No HP/WA. Panjang tulisan 4.500-5.500 karakter. Tulisan tidak dikirim dalam bentuk lampiran email, namun langsung dimuat di badan email. Redaksi berhak mengubah judul dan sebagian isi tanpa mengubah makna. Isi artikel sepenuhnya tanggung jawab penulis. Kirimkan tulisan Anda ke: [email protected]