Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
SAAT ini, saya sudah berada pada modul terakhir Program Guru Penggerak. Ada kebaruan pelajaran dan pendalaman filsafat yang saya alami. Saya, misalnya, tak lagi sebatas tahu tentang Pratap pendidikan, tetapi mulai lebih menjiwainya sebagai filsafat dasar pendidikan. Sebab, sebelum ini, saya cenderung mengartikan bahwa nyawa utama pendidikan adalah pembelajaran. Artinya, faktor utama ada pada les belajar.
Namun, ternyata nyawa utama pendidikan itu adalah tentang hidup. Bahwa belajar materi hanyalah alat, bukan sarana utama, apalagi tujuan akhir. Kita sudah sama-sama tahu, ada tiga prinsip Pratap Triloka, yaitu ing ngarso sung tuladha, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani. Ketiga prinsip itu berarti di depan memberi teladan, di tengah membangun motivasi, dan di belakang memberikan dukungan.
Prinsip tersebut sudah tuntas dan tak perlu didebat lagi. Persoalannya, sering sekali pendidikan kita justru tak berkiblat ke sana. Pendidikan kita terkesan justru digerakkan peraturan, sehingga abai pada pelanggar peraturan. Padahal, sering sekali terjadi bahwa pelanggar peraturan bukan atas dasar keinginannya, melainkan atas dasar keterpaksaan dan bahkan bagian dari pilihan bijak seorang anak.
Pernah saya tonton, dan mungkin juga Anda, karena film ini sempat viral, di mana seorang anak mulai terbiasa dengan hukuman seorang guru karena ia terlambat. Anak itu berbeda dengan anak lainnya yang disiplin. Anak lainnya datang tepat waktu, sementara dia selalu terlambat. Begitu berulang sehingga guru tanpa bertanya lagi dan anak tanpa menjelaskan lagi, ia berikan tangannya untuk dipukul.
Jelas, anak itu melanggar aturan sehingga ada benarnya guru itu menghukum anak itu. Lagian, hukuman itu menjadi pelajaran supaya anak lain tetap disiplin. Jika anak itu tak dihukum, boleh jadi anak lain ikut-ikutan terlambat. Artinya, guru tersebut menegakkan norma umum tanpa peduli pada masalah anak tersebut. Namun, ternyata tak semua yang benar berarti sudah pasti yang lain salah. Kebenaran tak pernah tunggal.
Sebab, karena penasaran, guru tersebut suatu ketika melihat mengapa anak itu selalu terlambat. Ternyata, anak tersebut luar biasa. Orang tuanya sakit keras, sehingga ia harus memberi makan dan mengantar orang tuanya. Selepas itu, anak itu akan berlari sekencang mungkin agar tak terlambat. Nyatanya, sekencang apa pun ia berlari, ia tetap terlambat. Sang guru terharu. Ia merasa bersalah setelah menegakkan kebenaran aturan.
Sang guru itu kemudian paham bahwa masih ada kemungkinan kebenaran di luar aturan kebenaran yang kita buat. Dalam hal ini, guru ternyata tak perlu puas hanya berada pada statemen: saya sudah menjalankan aturan. Guru harus sampai pada pelacakan bahwa apakah di balik aturan itu seorang anak sedang berjalan pada kebenaran lain hanya karena ia belum diizinkan keadaan untuk mengikuti aturan kebenaran bersama?
Saya tak akan menjelaskan dengan ribet di sini. Saya mencoba akan membuatnya sederhana bahwa sering kali guru gagap ketika berhubungan dengan dilema. Mementingkan seseorang atau kelompok pada kondisi khusus atau tidak? Ini berkaitan dengan paradigma memilih untuk toleran pada seorang siswa atau patuh pada aturan bersama (individual vs community).
Masih ada paradigma lain. Apakah menjunjung keadilan saja tanpa perlu rasa kasihan pada kasus tertentu (justice vs mercy)? Apakah harus menolak kebenaran karena harus setia pada rahasia tertentu (truth vs loyality)? Atau, kita melihat bahwa ini tentang masa panjang atau masa pendek? Paradigma ini harus dimiliki guru untuk arif mengambil keputusan dan tak kaku dengan peraturan seakan tujuan utama adalah peraturan.
Maksud saya adalah bahwa ketika ada siswa melanggar aturan atau malah merosot serta down, kita para guru tak boleh gegabah bahwa siswa harus meningkat prestasinya. Saya katakan demikian karena ada beberapa sekolah tertentu dengan label unggulan justru memilih untuk memecat siswanya hanya karena nilai perolehannya semakin merosot. Padahal, sangat mungkin ada kebenaran lain yang sedang diperjuangkan anak tersebut.
BACA JUGA: Kompetensi Emosional dengan Pembelajaran Diferensiasi
Dalam hal ini, guru perlu gesit untuk menanya atau mencari informasi (coaching). Jadi, guru harus peduli pada semua hal yang melatarbelakangi kemungkinan penyebab siswa itu bermasalah. Di sinilah dibutuhkan kecerdasan emosional guru dalam meneliti penyebab sebelum akhirnya membuat keputusan. Jadi, filsafat dasar pendidikan kita, yaitu Pratap Triloka harus dipahami secara menyeluruh. Guru harus berada sebagai mitra siswa.
Guru berarti tak bertujuan untuk mengawasi melihat apakah siswa itu benar atau tidak. Tugas guru bukan pengawas. Tugas guru adalah menuntun agar siswa sampai pada potensi terbaiknya, sehingga siswa tersebut merdeka dalam mengembangkan bakat alaminya. Maksud saya, tugas utama guru adalah membantu siswa merdeka dari segenap pengekangnya. Tugas guru bukan hanya melihat lalu berkata: oh, kamu terperangkap dan itu artinya kamu gagal.
Tugas guru adalah melihat bahwa kemungkinan ada perangkap yang menjebak siswa, melihat bahwa apakah siswa itu masih bisa dibebaskan dan membebaskan diri dari perangkap dengan segala potensinya atau tidak. Jadi, guru harus melihat dengan skala yang sangat luas semata agar siswa tersebut merdeka. Dalam hal ini, guru tak bisa melihat hanya dari depan saja. Guru harus melihat dengan skala luas: depan, samping, belakang, atas, dan sebagainya.
Ini semua agar guru bisa memproyeksikan dan mengantar siswa pada tujuannya. Saya pikir, sampai di sini, kita semakin yakin bahwa guru bukan untuk melihat apakah siswa menuruti atau melanggar aturan. Tugas guru adalah memerdekakan siswa dari setiap jebakan kerangkengnya. Jadi, mari para guru untuk tidak begitu saja mengambil sebuah keputusan tanpa melihat skala yang lebih luas. Taruhannya jelas: masa depan siswa. Walau begitu, jangan pula guru jadi permisif.
Maksudnya, tidak berarti bahwa setiap kesalahan harus dibenarkan. Guru harus tetap bekerja pada koridornya. Kesalahan harus diperbaiki, bukan dibenarkan. Namun, satu yang pasti, dan ini menjadi simpulan saya, sejauh dan sedekat apa pun lajur pendidikan, pada akhirnya ia harus bermuara pada lahirnya manusia dengan etika yang kuat, bukan malah tak beretika atas nama permisif pada setiap pelanggaran.
Supaya semakin jelas, izinkan saya mengutip sebuah kata mutiara dari begawan Georg Wilhelm Friedrich Hegel. Begini katanya: eduacation is the art of man ethical. Pendidikan adalah seni membuat manusia untuk beretika. Tentu, jika manusia selalu permisif pada kesalahan, ini justru tidak beretika bukan? Maksud saya, kita harus bijaksana menghadapi sebuah kesalahan, apalagi kejahatan.
====
Calon Guru Penggerak dari SMA Negeri 1 Doloksanggul, Humbang Hasundutan.
====
?medanbisnisdaily.com menerima tulisan (opini/artikel) terkait isu-isu aktual masalah ekonomi, politik, hukum, budaya dan lainnya. Tulisan hendaknya ORISINAL, belum pernah dimuat dan TIDAK DIKIRIM ke media lain, disertai dengan lampiran identitas (KTP/SIM), foto (minimal 700 px dalam format JPEG), data diri singkat (dicantumkan di akhir tulisan), nama akun FB dan No HP/WA. Panjang tulisan 4.500-5.500 karakter. Tulisan tidak dikirim dalam bentuk lampiran email, namun langsung dimuat di badan email. Redaksi berhak mengubah judul dan sebagian isi tanpa mengubah makna. Isi artikel sepenuhnya tanggung jawab penulis. Kirimkan tulisan Anda ke: [email protected]