Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Medanbisnisdaily.com-Jakarta. Pemerintah saat ini masih mengandalkan utang sebagai pembiayaan negara. Salah satunya adalah dengan penarikan surat berharga negara (SBN).
Direktur Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Luky Alfirman menjelaskan jika saat ini penarikan SBN masih menemui beragam tantangan. Pasalnya dalam pembangunan infrastruktur publik yang ada di dalam negeri tak semuanya bisa ditanggung oleh Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Karena itu untuk mendukung pembiayaan ini dibutuhkan inovasi pendanaan.
"Infrastruktur itu adalah investasi jangka panjang, mereka (investor) butuh kepastian, risk-nya harus diperhitungkan sehingga investor bersedia untuk ikut masuk," kata Luky dalam webinar, Jumat (8/7/2022).
Dia menyebutkan pemerintah berupaya merancang pendanaan infrastruktur agar investor tertarik dan masuk ke Indonesia. Nah hal ini juga dilakukan dalam setiap penerbitan SBN.
"Kami mengelola sovereign bond, nggak ada kolateral atau underlying-nya, tapi kita bicara trust, kredibilitas dan reputasi. Kita dinilai dari rating agency dan melihat risikonya, dikonversikan dalam bentuk rate-nya berapa. Ada investment grade, nanti ditransaksikan, ini cost yang harus dibayar dalam yield (imbal hasil)," ujar Luky.
Menurut dia semua risiko dalam pembangunan infrastruktur di dalam negeri juga harus diperhitungkan. Hal ini demi menghindari hantaman keras kepada APBN jika proyek tersebut gagal.
Dia mengungkapkan ketika pemerintah menerbitkan Surat Berharga Syariah (SBSN) dan green sukuk, pemerintah juga melakukan usaha ekstra dalam persiapan project-nya yang menjadi underlying.
"Bagaimana meyakinkan investor ini adalah proyek hijau, bikin report dan bisa men-deliver janji kita. Ada extra effort. Harapan kita bisa ditransisikan dalam pricing benefit," jelas dia.
Lucky menambahkan, swasta akan masuk dalam suatu proyek apabila menguntungkan, di sisi lain pembangunan infrastruktur masuk dalam investasi jangka panjang. Oleh karena itu pemerintah harus mengelola risiko agar investor mau masuk dalam berbagai proyek pembangunan.
"Sayangnya masih belum melihat adanya benefit dari by going green yang sudah menerbitkan sifatnya green. Yang kita harapkan yieldnya itu costnya harus lebih rendah. Tanpa itu akhirnya membuat calon-calon issuer, ngapain repot menerbitkan yang sifatnya green kalau there's no insentive," tambah Luky.
Menurut dia di saat pemerintah menerbitkan surat utang, kata Luky investor akan melihat aspek kepercayaan, kredibilitas, reputasi dan bagaimana pemerintah mengelola ekonomi mulai dari sektor riil, moneter, fiskal dan eksternal.
Di dalam RPJMN Nasional di tahun 2020-2024 total kebutuhan pendanaan infrastruktur mencapai Rp 6.445 triliun dan APBN hanya mampu menyediakan Rp 2.706 triliun triliun atau 42% dari total kebutuhan pendanaan, dan sisanya berasal dari BUMN serta swasta.
Dia mengatakan pemerintah akan terus mendorong alternatif pendanaan menggunakan skema kerjasama pembangunan yang melibatkan swasta (Public Private Partnership (PPP) dengan tujuan untuk mendukung penyediaan infrastruktur publik.
"Alhamdulilah 4-5 tahun semakin banyak so far sudah 29 -30 project kami selesai dengan program skema PPP," tambah dia.(dtf)