Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
TAHUN 2022 yang telah berlalu meninggalkan beberapa catatan peristiwa yang menjadi sorotan masyarakat terkait dengan kondisi moralitas dan mentalitas para penyelenggara negara atau pimpinan lembaga yang seharusnya menjadi panutan dan teladan bagi masyarakat.
Salah satu yang menjadi perhatian masyarakat adalah kasus pembunuhan ajudan pejabat Kadiv Propam Polri yang melibatkan beberapa perwira tinggi dan perwira menengah untuk mengaburkan fakta peristiwa hingga berujung pada Pemberhentian Tidak Dengan Hormat (PTDH) dalam sidang Kode Etik Profesi Polri (KEPP).
Dunia pendidikan juga tercoreng dengan Operasi Tangkap Tangan (OTT) Komisi Pemberatasan Korupsi (KPK) terhadap Rektor Universitas Negeri Lampung (UNILA) yang bergelar profesor karena terlibat dalam kasus menjual “kursi masuk” untuk mahasiswa baru jalur mandiri.
Kemudian yang menyedihkan adalah ditangkapnya hakim agung dan beberapa panitera oleh KPK karena dugaan praktek suap dalam penanganan kasus yang sedang berjalan di Mahkamah Agung sebagai salah satu lembaga hukum tertinggi
KPK secara kelembagaan merilis jumlah tersangka kasus korupsi sebanyak 149 orang dengan melakukan 8 operasi tangkap tangan (OTT) di beberapa wilayah, seperti Kota Bekasi, Penajam Paser Utara, Langkat, Surabaya, Bogor, Yogyakarta, Pemalang, Lampung, Jawa Timur dan Jakarta sepanjang tahun 2022.
Sedangkan Kejaksaan Agung menerangkan ada 8 kasus korupsi besar melibatkan institusi negara, seperti perkara pembiayaan ekspor nasional pada Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI), korupsi pengadaan pesawat PT Garuda Indonesia 2011-2021 dan korupsi dalam pemberian izin ekspor minyak mentah kelapa sawit (CPO) oleh Kementerian Perdagangan (Kemendag) 2021-2022.
Termasuk kasus korupsi di PT Waskita Beton Precast, pemberian izin pengelolaan lahan kelapa sawit kepada PT Duta Palma Group di Indragiri Hulu Riau, korupsi pemberian izin importasi baja, dan besi, serta bahan paduan di Kementerian Perdagangan dan Kementerian Perindustrian 2016-2021, hingga kasus korupsi proyek pembangunan blast furnance atau tungku pelebur baja milik PT Krakatau Steel 2011.
Belum lagi banyaknya peristiwa pelanggaran hukum oleh para penyelenggara negara di tingkat provinsi, kabupaten, kota hingga desa yang bisa dikatakan dilakukan oleh kaum terdidik dengan berbagai profesi dan gelar pendidikan tinggi seolah menjadi simbol kehancuran mentalitas para penyelenggaraan negara yang melahirkan pertanyaan terkait efektifitas serta hasil dari Revolusi Mental yang dicanangkan pada 2014.
Beban Kerusakan Moralitas dan Mentalitas
Revolusi mental berdasarkan situs Kementerian Komunikasi dan Informasi adalah “suatu gerakan untuk menggembleng manusia Indonesia agar menjadi manusia baru, yang berhati putih, berkemauan baja, bersemangat elang rajawali, berjiwa api yang menyala nyala”, yang tercermin dalam prinsip integritas, etos kerja dan gotong royong
Berbagai catatan peristiwa yang terjadi sepanjang tahun 2022 di atas seperti menjadi indikator kegagalan revolusi mental dalam lingkup penyelenggara negara, yang memang menjadi persoalan penghambat utama pembangunan yang tidak terselesaikan sejak awal kemerdekaan.
Pentingnya perombakan mentalitas pernah didengungkan oleh Presiden Soekarno dengan semboyan “Nation and Character Builiding“ akibat buruknya mentalitas berdikari, berdaulat dan berkepribadian diawal kemerdekaan yang terbelenggu dengan mental orang jajahan atau Inlander.
Sedangkan Mochtar Lubis dalam pidato Kebudayaannya di Taman Ismail Marzuki pada 1977 yang berjudul “ Manusia Indonesia “ menjelaskan 6 sifat umum, yakni munafik, enggan dan segan bertanggung jawab atas perbuatannya, bersifat dan berperilaku feodal, percaya takhayul, artistik atau berbakat seni, lemah watak atau karakternya.
Di awal Pemerintahan Presiden Jokowi pada tahun 2014 mencanangkan gerakan “ Revolusi Mental “ untuk mencapai Indonesia emas pada 2045. Namun sayangnya aspek terpenting, yaitu sistem nilai, sistem pengetahuan dan sistem perilaku yang sering disebut dengan dimensi budaya ternyata sudah tergerus hingga ke titik terendah.
Terutama adalah semakin subur dan tingginya angka serta budaya korupsi, termasuk dari lembaga hukum yang pernah disinggung oleh Presiden Jokowi, yang berperilaku menggigit pejabat atau pelaku usaha tanpa adanya tindakan pencegahan sedari awal
Dan yang paling pahit adalah pernyataan Menko Polhukam Prof Mahfud MD tentang kekacauan kondisi hukum akibat dari rendahnya mentalitas para penegak hukum karena masih banyak nafsu dan keserakahan dalam diri oknum penegak hukum.
Walaupun sudah banyak perbaikan peraturan dan undang–undang serta sistem hukum, namun persoalan mentalitas tetap menyebabkan terjadinya praktek rekayasa pasal, manipulasi barang bukti dan berbagai modus lainnya, dari proses menjerat, membebaskan hingga memenangkan pihak berperkara, yang menurut Prof. Mahfud menjadikan hukum sebagai industri yang bisa diperdagangkan.
Istilah “industri hukum” karena hukum atau produk hukum seperti industri semen, beras, otomotif, pertambangan, obat dan lain sebagainya, yang diperjualbelikan dengan tujuan mendapatkan profit, karena kata industri sangat identik dengan perdagangan
Dunia pendidikan juga terjerat dalam berbagai kasus korupsi, hingga terjadinya pergeseran nilai utama lembaga pendidikan menjadi ruang profit atau keuntungan, dari nilai sejatinya sebagai pusat peradaban, yang bertujuan membangun dan dan mencetak manusia cerdas, berintegritas untuk memuliakan tujuan kehidupan
Dunia pendidikan yang seharusnya merupakan tempat melakukan penelitian tentang kemanusiaan, demokrasi, sistem pemerintahan, perngembangan alam semesta melalui penemuan sains dan teknologi, untuk memberikan berbagai referensi bagi pembangunan bangsa
BACA JUGA: Demokrasi Tanpa Konsepsi
Namun berbagai penyimpangan di lembaga pendidikan akibat pergeseran nilai yang berorientasi profit telah menghancurkan prinsip keutamaan pembangunan karakter dan mental, sehingga menghancurkan jati diri dunia pendidikan sebagai lembaga utama yang melahirkan sumber daya manusia handal dan terpercaya.
Sehingga tidak mengherankan jika budaya korupsi, baik oleh pejabat negara dari pelaksana pemerintahan, wakil rakyat yang mengawasi pelaksanaan pemerintahan, para pelaksana hukum, justru terjerat persoalan korupsi dan penyalahgunaan jabatan dengan tingkat penyebaran pelaku dari yang terbawah hingga pejabat tinggi
Semua gambaran di atas menjadi cermin kerusakan mentalitas dikalangan banyak oknum pejabat, penegak hukum dan masyarakat, kehidupan yang seperti kehilangan pengetahuan dan kesadaran tentang nilai moral, untuk menjunjung tinggi nilai kejujuran dan keluhuran budi pekerti, sesuatu yang sangat tragis di negara dan masyarakat, yang mengaku BERKETUHANAN dalam berbagai agama yang diakui oleh negara.
Mungkin revolusi mental perlu belajar dari kebangkitan Jepang setelah kehancurannya pada perang dunia kedua, yang menjadikan kejujuran, integritas dan kerja keras untuk berinovasi menjadi budaya yang dilestarikan dari tradisi Bushido yang dianut oleh para samurai yang hidup pada tahun 794 – 1600 an.
Fokus Revolusi Mental
Jika membaca “Nation and Chacracter Building“ Presiden Soekarno dan Pidato Kebudayaan “Manusia Indonesia“ Mochtar Lubis, maka revolusi mental seharusnya berfokus pada mendorong bertumbuhnya mentalitas kemandirian, yang dimulai dari menghargai diri sendiri, mandiri mengembangkan potensi diri untuk melahirkan kreativitas dan bertanggungjawab dalam setiap tindakan dan perkataan.
Setelah tahapan mentalitas kemandirian, maka mentalitas berikutnya adalah mentalitas melayani sebagai manifestasi dari nilai Ketuhanan yang menjujung tinggi penghormatan pada kemanusiaan dan keadilan dengan menyediakan sarana dan prasarana umum, pendidikan, kesehatan, hukum dan fasilitas mengembangkan potensi bagi setiap warga tanpa terkecuali.
Gabungan mentalitas mandiri dan melayani kemudian menjadi pintu menuju mentalitas dan budaya “gotong royong” sebagai nilai fundamental yang menurut Presiden Soekarno adalah intisari Pancasila sebagai sistem nilai, sistem pengetahuan, dan sistem perilaku bersama.
Dimana “Gotong royong adalah paham yang lebih dinamis dari kekeluargaan, sifat yang menggambarkan satu usaha, satu amal, satu pekerjaan, yakni pembantingan tulang bersama, pemerasan keringat bersama, perjuangan bantu-membantu bersama, amal semua buat kepentingan semua, keringat semua buat kebahagiaan semua, buat kepentingan bersama”
Maka belajar dari Jepang yang mampu melestarikan budaya bushido para samurai yang terus hidup dalam kehidupan masyarakat Jepang, bisa menjadi pembelajaran dalam menerapkan gerakan revolusi mental kedepannya agar tidak menguap tanpa kabar perkembangan
====
Penulis Direktur Eksekutif Perhimpunan Suluh Muda Inspirasi (SMI)/penggiat HAM dan Demokrasi
====
medanbisnisdaily.com menerima tulisan (opini/artikel) terkait isu-isu aktual masalah ekonomi, politik, hukum, budaya dan lainnya. Tulisan hendaknya ORISINAL, belum pernah dimuat dan TIDAK DIKIRIM ke media lain, disertai dengan lampiran identitas (KTP/SIM), foto (minimal 700 px dalam format JPEG/posisi lanskap), data diri singkat (dicantumkan di akhir tulisan), nama akun FB dan No HP/WA. Panjang tulisan 4.500-5.500 karakter. Tulisan tidak dikirim dalam bentuk lampiran email, namun langsung dimuat di badan email. Redaksi berhak mengubah judul dan sebagian isi tanpa mengubah makna. Isi artikel sepenuhnya tanggung jawab penulis. Kirimkan tulisan Anda ke: [email protected]