Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
DINAS Pendidikan Sumatera Utara membuat terobosan baru: mengadakan lomba Pesparawi tingkat SMA dan SMK se-Sumatera Utara. Lomba ini termasuk baru untuk ukuran siswa. Sebab, selama ini, Pesparawi cenderung untuk mahasiswa.
Namun, di era Merdeka Belajar, Dinas Pendidikan Sumatera Utara melihat sebuah peluang: meningkatkan karakter siswa melalui festival paduan suara. Walhasil, siswa pun antusias.
Memang, di satu sisi, orang akan berpikiran negatif. Berpikir negatif, misalnya, bahwa bersekolah itu adalah belajar, bukan bernyanyi, menari, bermusik, dan sebagainya, dan sebagainya.
Disadari atau tidak, di masa serba teknologis ini, masih saja banyak orang yang berpikir bahwa bersekolah itu harus identik dengan mengkhatam banyak teori, menghitung banyak angka, menghafal banyak rumus.
Implikasinya, siswa harus membawa banyak buku di tasnya, suntuk dari pagi hingga sore, mencatat, mencatat, dan mencatat lagi. Bukan berarti segala tindakan itu tidak penting. Namun, belajar tidaklah sesempit itu.
Belajar harus bergembira. Belajar harus berkompetisi. Belajar harus juga keluar dari kelas. Bahkan, belajar juga sesekali harus keluar dari sekolah untuk mencari suasana baru.
Faktanya, sejak covid, siswa nyaris tak pernah berkompetisi. Siswa juga nyaris tak pernah tampil. Akhirnya, mereka miskin pengalaman. Padahal, pengalaman sangat dibutuhkan dalam proses hidup.
Orang bijak berkata: pengalaman adalah guru terbaik. Karena itulah, ketika mendampingi siswa lomba paduan suara tingkat Kabupaten Humbang Hasundutan dan Tapanuli Utara, siswa-siswi kami sangat antusias. Mereka seperti hidup lagi.
Semangat mereka lebih berdenyut. Mereka bersemangat untuk lebih lama tinggal di sekolah untuk latihan. Mungkin, orang lain akan berkata bahwa mereka tidak sedang belajar.
Seefektif Mungkin
Akan tetapi, siapa dapat menolak fakta bahwa pada saat mereka antusias latihan, mereka sebenarnya sedang menghidupi pembelajaran. Saya mengatakan demikian karena selama ini, pembelajaran kita sangat kaku.
Memang, ada banyak jadwal belajar. Tetapi, di dalam jadwal belajar itu, hampir tidak ada pembelajaran, apalagi pelajaran. Mereka hanya melakukan rutinitas: datang, mencatat, lalu pulang. Ilmu itu tak bertumbuh. Karakter mereka stagnan di situ-situ saja. Arti karakter di sini tidak melulu soal moral. Karakter tidak sesempit itu.
Karakter lebih ke definisi terkait nilai-nilai penting yang sangat dibutuhkan untuk tetap bisa survive di era teknologis dan otomatis ini. Soalnya, hidup di era teknologis tak lagi hanya membutuhkan kognitif.
BACA JUGA: Susu Formula dan Nakes Kita
Toh, semua pekerjaan rutin sudah bisa diotomatisasi dan dikerjakan kecerdasan buatan. Malah, persoalan rumit pun sudah mulai bisa dibereskan chat GPT. Karena itu, ketika tahun lalu, beredar sebuah video tentang anjing pelacak digital yang telah dipergunakan tentara Amerika Serikat, kita mestinya berefleksi dalam-dalam.
Seperti kata Kara Swisher dalam kololmnya di nytimes.com, manusia (harus) mulai menyadari kalau-kalau era "terminator" sudah tiba. Kesadaran itu untuk bisa mengevaluasi diri: bahwa anjing yang tak bergaji saja sudah digantikan oleh robot, lantas bagaimana dengan manusia! Tidak boleh tidak, masa depan sudah menjadi sangat misterius.
Mengutip Yuval Noah Harari, misalnya, kita belum tahu bakal seperti apa pasar kerja pada tahun 2030 atau 2040. Sayangnya, kita juga tak tahu apa yang harus diajarkan kepada anak-anak kita untuk bersiap.
Kenyataan ini tentu harus dihadapi seefektif mungkin dari pendidikan. Kita tidak mau setiap lulusan kita kelak akan menjadi pengangguran dan kalah saing dengan para mesin-robot, terutama dari para TKA yang sangat mungkin datang ke Indonesia.
Sebab, dalam dokumen ”Future of Jobs and Its Implications on Indian Higher Education” yang disusun federasi industri India, diperkirakan 65 persen pelajar yang pada 2016 di jenjang SD akan berkarier dalam jenis pekerjaan benar-benar baru (Kompas, 1 Februari 2017). Pertanyaannya: untuk jenis pekerjaan-pekerjaan baru ini, apakah kita sudah siap?
Inovatif dan Inisiatif
Belum terjawab pertanyaan itu, data-data muram justru seperti menghantui. Dalam konteks India, misalnya, Mohandas Pai, sudah meramalkan bahwa pada 2025, akan ada 200 juta pemuda India yang menganggur dan belum ada yang tahu bagaimana solusinya. Dalam hal inilah kita membutuhkan karakter-katakter unggulan untuk bisa hidup di era terminator.
Karakter itu, misalnya, tentang tanggung jawab, demokrasi, mandiri, kreatif, cakap, berilmu, sehat, berakhkak, beriman dan bertaqwa. Kesemua karakter ini tak bisa lagi didapatkan hanya dari ruang kelas. Perlu elaborasi lebih luas tentang eksplorasi minat bakat atau literasi.
Karena itulah, setiap hari sekolah kami selalu membuka pelajaran dengan pertunjukan aksi dari siswa. Sekilas, terjadi pengurangan jam belajar. Namun, faktanya, dalam olimpiade, dari Humbang Hasundutan, sekolah kami justru menelurkan lebih banyak pemenang.
Melihat kegiatan rutin yang kami lakukan di media sosial, alumni kami yang kini kuliah di Undip menjapri saya: andai dari dulu seperti ini, saya lebih semangat belajar dan mengeksplorasi minat bakat. Saya kecepatan lahir, tulisnya kepada saya. Bisa jadi japrian itu subjektif. Tetapi, begitulah faktanya. Siswa butuh sarana untuk mengeksplorasi diri agar karakternya bertumbuh.
Karena itu, saya sangat antusias ketika Pesparawi bagi siswa di Sumut digalakkan. Mudah-mudahan masih berlanjut. Sebab, seperti disebutkan di awal, kegiatan seperti ini menumbuhkan karakter. Tentu saja siswa akan lebih bertangung jawab.
Buktinya, siswa saya peserta Pesparawi, meski latihan terus-menerus tetap bisa mengumpulkan tugas kok. Nilai-nilai lain juga demikian. Mereka bisa mandiri untuk melakukan latihan. Tentu saja semakin berakhlak.
Nah, karakter seperti inilah yang kita butuhkan di masa teknologis ini agar siswa tak lagi menunggu, tetapi aktif untuk berinovasi dan tak miskin inisiatif. Semoga!
====
Penulis Guru Penggerak SMA NEGERI 1 Doloksanggul, Pegiat Literasi, Instruktur Sastra Digital, Seniman dan Sastrawan
====
medanbisnisdaily.com menerima tulisan (opini/artikel) terkait isu-isu aktual masalah ekonomi, politik, hukum, budaya dan lainnya. Tulisan hendaknya ORISINAL, belum pernah dimuat dan TIDAK DIKIRIM ke media lain, disertai dengan lampiran identitas (KTP/SIM), foto (minimal 700 px dalam format JPEG/posisi lanskap), data diri singkat (dicantumkan di akhir tulisan), nama akun FB dan No HP/WA. Panjang tulisan 4.500-5.500 karakter. Tulisan tidak dikirim dalam bentuk lampiran email, namun langsung dimuat di badan email. Redaksi berhak mengubah judul dan sebagian isi tanpa mengubah makna. Isi artikel sepenuhnya tanggung jawab penulis. Kirimkan tulisan Anda ke: [email protected]