Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
ANAK pertama saya baru lahir pada akhir Agustus lalu dengan operasi. Saya sebenarnya mulai heran. Apakah sistem lahiran sudah harus operasi atau tidak.
Pertanyaan ini berawal dari pengamatan sederhana saya pada dokter spesialis anak dan kandungan di daerah saya. Setiap kali datang ke sana, saya selalu langsung "mencuri" data nomor ponsel yang dituliskan.
Saya juga bertanya pada pengalaman orang lain. Konon, menurut dokter harus operasi, tetapi ketika ditanya di daerah lain, beberapa dari mereka justru lahir normal. Sebagai informasi, 100 persen dari orang yang datanya saya curi mengatakan bahwa mereka lahir harus operasi.
Konon, jika tidak operasi, keselamatan mereka terancam. Saya lantas berimajinasi, andai semua orang yang datanya saya curi melahirkan sebelum ada skema teknologi operasi, apakah mereka bisa selamat?
Sebagai orang awam, saya menilai ada yang janggal di sana. Sebagai awam, saya juga curiga, jangan-jangan dokter tidak mau lagi mengikuti proses panjang yang melelahkan, bahkan mungkin menjijikkan, sehingga mereka langsung memvonis: harus operasi.
Sekali lagi, sebagai orang awam. Dan, tulisan ini pun pada dasarnya datang dari keresahan saya sebagai orang tua yang awam dalam dunia persalinan meski sangat antusias menyambut hadirnya seorang anak.
Saya melihat berbagai kesaksian di dunia maya. Semuanya terlihat indah dan mengharukan. Seorang ayah diizinkan melihat istrinya melahirkan, mendokumentasikan sebagian kecil dari proses persalinan, hingga perjumpaan awal seorang ibu dengan bayinya yang baru lahir.
Ibu memeluk bayi yang masih dengan lumuran darah. Si bayi langsung dituntun nakes untuk menyusui pada ibunya. Saya membayangkan, saya akan melihat prosesi mengharukan itu.
Namun, semua berbalik secara kontras. Saya dilarang untuk masuk, bahkan untuk memvideokan sebelum dan sesudah lahiran. Setelah keluar dari ruang operasi, saya langsung dipanggil nakes.
Tidak Lebih Baik
Kepada saya, nakes langsung menyuruh untuk membelikan susu formula. Saya bertanya: apakah tidak sebaiknya diberikan ASI terlebih dahulu? Dengan sedikit ketus, mereka menjawab, "Bapak seorang guru, kok masih ketinggalan? Bagaimana kalau ASI tidak ada, apakah Bapak mau bayi kelaparan?"
Saya tidak mau berdebat panjang meski sudah membaca banyak hal sebelum lahiran. Saya memilih menurut agar nakes merawat istri dan bayi saya dengan baik. Saya tahu, tidak semua orang bisa menerima saran, apalagi kritik dari orang awam. Akhirnya, makanan pertama yang dikonsumsi anak saya adalah susu formula sebagaimana anjuran nakes.
Walau begitu, saya meminta istri untuk memberikan ASI. Nakes tidak memberi tuntunan apa pun. Kami hanya belajar dari YouTube. Saya tahu, tak seharusnya hal seremeh ini harus belajar pada tutorial Youtube.
BACA JUGA: Talkshow Sederhana Siswa SMA Negeri 1 Doloksanggul di Borobudur
Secara naluri dan biologis, manusia pada dasarnya sama dengan hewan. Hewan mamalia saja mampu menyusui tanpa tuntunan. Namun, setelah membaca semua artikel Kompas pada 30 September 2022, saya merasa harus menuliskan artikel ini meski bukan kapasitas ilmiah saya. Artikel ini murni dari seorang tua. Nun jauh di sana, banyak juga orangtua yang ingin bersuara seperti saya.
Karena itu, saya bersyukur, Kompas membuat berita utama, bahkan dengan tajuk investigatif. Melalui berita berjudul "Titik Balik Membuka Nurani untuk Air Susu Ibu (Kompas, 30/09/2022), saya sangat terharu pada perjalanan panjang seorang bidan. Konon, meski sudah belasan tahun menjadi bidan, ia tak mengetahui proses IMD (inisiasi menyusui dini). Artinya, jika konon bidan tidak mengetahui, apalagi awam?
Karena itu, saya sangat berterima kasih ketika Kompas kembali membuat tajuk rencana berjudul Perjuangkan ASI Ekslusif (1/10/2022) yang kemudian disusul dengan artikel menohok dari Irma Hidayana yang berjudul "Melindungi Ibu dan Anak dari Pemasaran Susu Formula" (10/10/2022).
Dari keseriusan berita itu, akhirnya saya ikut meramaikan sebagai orang tua. Bagaimanapun, jika WHO sudah melarang promosi susu formula, itu berarti bahwa susu formula tidak lebih baik daripada ASI. Efek jangka panjangnya mungkin akan menyakitkan.
Karena itu, kita menyerukan agar stakeholder menyuarakan IMD. Suara seperti ini harus menjadi kewajiban mengingat saat ini, susu formula seakan tak lagi menjadi pelengkap, justru menjadi yang paling pokok. Saya mengetahui itu setelah bertanya serius di pelosok kampung pada para kerabat.
Hampir semua dari mereka tidak percaya diri bahwa apakah bayinya sudah kenyang jika hanya mengandalkan ASI. Artinya, sudah mulai ada pakem baru ibarat belum sah makan jika tanpa nasi.
Dalam hal ini, bayi belum sah makan jika hanya mengandalkan ASI. Akibatnya, anak-anak di desa sudah disuguhi minuman pokok susu formula. Konon, kepada mereka dibisikkan bahwa agar anak pintar dan sehat, mereka harus memberikan susu formula. Saya tak mengetahui kemungkinan adanya bisnis antara nakes dan pihak perusahaan susu formula. Saya tidak tertarik untuk mengetahui hal tersebut.
Terjalin dengan Baik
Saya hanya tertarik agar pemerintah serius pada gerakan IMD. Gerakan ini semakin mendesak di tengah mimpi kita untuk nencetak generasi-generasi hebat di masa depan. Apakah kita cukup puas dengan generasi tanpa ASI, sementara negara maju justru dengan ASI?
Dalam tulisan Irma Hidayana disebutkan bahwa anak dua tahun ke bawah akan rentan terinfeksi. Itu artinya, memberikan dan mengutamakan susu formula pada anak masa depan pada dasarnya akan membuat negara ini rentan. Karena itu, negara tentu tak boleh diam. Negara harus memberi tindakan tegas agar rumah sakit dan nakes peduli pada IMD.
Mungkin, proses ini akan melelahkan dan membuat nakes kewalahan. Namun, jangan atas nama supaya lebih simpel, maka masa depan justru dipertaruhkan.
Dalam hal ini, jika ada nakes dan rumah sakit yang tidak melakukan pendekatan IMD terlebih dahulu, mereka harus diberi sanksi karena secara sengaja terlibat untuk merusak masa depan bangsa.
Selain itu, pemerintah juga harus memastikan supaya dokter spesialis anak dan kandungan lebih ramah dan edukatif. Berdasarkan pengalaman di tempat saya, saya kini mempunyai kecurigaan besar bahwa jangan-jangan semua ibu yang akan melahirkan harus operasi?
Dan, ajaibnya, sependek pelacakan saya, konon ibu yang lahiran di rumah sakit pasti wajib melalui skema operasi. Saya melihat bahwa ada proses yang tidak sehat di sana karena lebih mudah dan elegan, bahkan akan mendapatkan tunjangan yang jauh lebih besar.
Pada akhirnya, saya hanya berharap, sebagai kaum awam, mohon nakes memberikan edukasi yang tepat guna, bukan malah mengutamakan kepraktisan belaka. Masa depan negara ini juga ditentukan dari prosesi lahiran anak sehingga kedekatan emosional orang tua dan anaknya bisa terjalin dengan baik. Semoga!
====
Penulis Guru Penggerak dari SMA Negeri 1 Doloksanggul.
====
medanbisnisdaily.com menerima tulisan (opini/artikel) terkait isu-isu aktual masalah ekonomi, politik, hukum, budaya dan lainnya. Tulisan hendaknya ORISINAL, belum pernah dimuat dan TIDAK DIKIRIM ke media lain, disertai dengan lampiran identitas (KTP/SIM), foto (minimal 700 px dalam format JPEG/posisi lanskap), data diri singkat (dicantumkan di akhir tulisan), nama akun FB dan No HP/WA. Panjang tulisan 4.500-5.500 karakter. Tulisan tidak dikirim dalam bentuk lampiran email, namun langsung dimuat di badan email. Redaksi berhak mengubah judul dan sebagian isi tanpa mengubah makna. Isi artikel sepenuhnya tanggung jawab penulis. Kirimkan tulisan Anda ke: [email protected]