Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Medanbisnisdaily.com - Medan. Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) telah memutuskan Perkara Nomor 15/KPPU-I/2022 tentang Dugaan Pelanggaran Pasal 5 dan Pasal 19 Huruf c dalam Penjualan Minyak Goreng Kemasan di Indonesia.
Dalam putusannya, Majelis Komisi yang terdiri dari Dinni Melanie sebagai Ketua serta Guntur Syahputra Saragih dan Ukay Karyadi, masing-masing sebagai Anggota Majelis Komisi, menyatakan 27 Terlapor dalam perkara tidak terbukti melanggar pasal 5 (terkait penetapan harga).
Namun Majelis Komisi memutuskan bahwa 7 (tujuh) Terlapor, yakni Terlapor I, Terlapor II, Terlapor V, Terlapor XVIII, Terlapor XX, Terlapor XXIII dan Terlapor XXIV secara sah dan meyakinkan terbukti melanggar Pasal 19 huruf c (terkait pembatasan peredaran/penjualan barang).
Atas pelanggaran di atas, KPPU menjatuhkan besaran sanksi denda yang beragam kepada 7 Terlapor tersebut, dengan total denda mencapai Rp 71,280 miliar.
Sebagai informasi, kasus ini merupakan insiatif KPPU yang berkaitan dengan dugaan pelanggaran Pasal 5 UU Nomor 5 Tahun 1999 oleh para Terlapor pada periode bulan Oktober 2021 sampai dengan bulan Desember 2021, dan periode bulan Maret 2022 sampai dengan bulan Mei 2022. Para Terlapor juga diduga melakukan pelanggaran Pasal 19 huruf c UU Nomor 5 Tahun 1999 pada periode bulan Januari 2022 sampai dengan bulan Mei 2022 dalam penjualan minyak goreng kemasan di Indonesia. Kasus bergulir hingga proses Pemeriksaan oleh Majelis Komisi.
"Pemeriksaan Pendahuluan atas perkara ini dilakukan Majelis Komisi sejak tanggal 20 Oktober 2022 dan dilanjutkan dengan Pemeriksaan Lanjutan sejak tanggal 25 November 2022, serta perpanjangan Pemeriksaan Lanjutan hingga tanggal 4 April 2023," jelas Ketua Majelis Komisi, Dinni Melanie, dalam keterangan tertulis, Sabtu (27/5/2023).
Dalam putusannya, menurut Majelis Komisi, pasar bersangkutan dalam perkara a quo adalah penjualan minyak goreng kemasan dengan bahan baku kelapa sawit di seluruh wilayah Indonesia. Struktur pasar dalam industri minyak goreng disimpulkan sebagai oligopoli ketat dengan konsentrasi pasar tinggi (yakni dengan konsentrasi rasio empat grup pelaku usaha sebesar 71,52%), memiliki produk yang homogen dan berbagai hambatan masuk pasar.
"Ini mempengaruhi perilaku pelaku usaha dan kinerja pasar termasuk potensi terjadinya penetapan harga minyak goreng yang diduga dilakukan oleh para Terlapor," terang Majelis Komisi.
Dalam persidangan, Majelis Komisi menemukan bahwa berdasarkan rasio input dan output di sektor tersebut, pada periode pelanggaran lebih besar daripada rasio sebelum periode pelanggaran. Ini menunjukan bahwa kenaikan harga pada periode pelanggaran terjadi akibat adanya kenaikan harga input, sehingga margin keuntungan yang diperoleh menjadi semakin kecil. Dengan begitu, para Terlapor dapat disimpulkan tidak melakukan penetapan harga untuk minyak goreng kemasan sederhana dan kemasan.
Majelis Komisi juga menemukan bahwa para Terlapor tidak patuh kepada kebijakan pemerintah terkait dengan harga eceran tertinggi (HET), yakni dengan melakukan penurunan volume produksi dan/atau volume penjualan selama periode pelanggaran. Tindakan tersebut dilakukan secara sengaja untuk mempengaruhi kebijakan HET. Faktanya, pada saat kebijakan HET dicabut, serta merta pasokan minyak goreng kemasan kembali tersedia di pasar dengan harga yang relatif lebih tinggi dibandingkan dengan harga sebelum terbitnya kebijakan HET.
Ketidakpatuhan ini menimbulkan kelangkaan minyak goreng yang berakibat pada penurunan kesejahteraan (deadweight loss) masyarakat. Perilaku penurunan volume produksi dan/atau volume penjualan pada periode pelanggaran meskipun bahan baku tersedia ini, merupakan perilaku pelaku usaha yang tidak jujur dan menghambat persaingan usaha dalam melakukan kegiatan produksi dan/atau pemasaran minyak goreng kemasan.
"Sehingga Majelis Komisi menyimpulkan telah terjadi dampak pelanggaran Pasal 19 huruf c Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999," jelas Ketua Majelis Komisi.
Berdasarkan hasil persidangan, Majelis Komisi memerintahkan Terlapor I, Terlapor II, Terlapor V, Terlapor XVIII, Terlapor XX, Terlapor XXIII, dan Terlapor XXIV untuk melakukan pembayaran denda paling lama 30 hari sejak Putusan berkekuatan hukum tetap (inkracht), serta melaporkan dan menyerahkan salinan bukti pembayaran denda tersebut ke KPPU. Terlapor juga diperintahkan untuk membayar denda keterlambatan sebesar 2% per bulan dari nilai denda, jika terlambat melakukan pembayaran denda.
"Jika mengajukan keberatan, maka ketujuh Terlapor harus menyerahkan jaminan bank sebesar 20% dari nilai denda ke KPPU paling lama 14 hari setelah menerima pemberitahuan Putusan," jelas Majelis Komisi.