Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
“Pak Jokowi iku lho ngono mentang-mentang. Lho iya padahal Pak Jokowi kalau nggak ada PDIP aduh jugak kasian dah,” ucap Megawati dalam pidatonya pada HUT ke-50 Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), di JIExpo, Jakarta, Selasa, 10 Januari 2023
PEMILIHAN Presiden (Pilpres) 2024 memasuki babak baru. Prabowo sebagai calon terakhir yang telah menyelesaikan drama penetapan wakilnya, yaitu Gibran Rakabuming Raka, anak kandung Jokowi.
Jokowi adalah seorang yang mengalahkan Prabowo pada 2 kali Pilpres secara berturut-turut. Sedangkan Anies Baswedan dan Ganjar Pranowo telah menjatuhkan pilihan wakilnya masing-masing kepada Muhaimin Iskandar dan Mahfud MD dengan drama yang tidak kalah menarik.
Kini pasca Gibran digandeng Prabowo menjadi calon wakil presidennya, semua pihak masih bertanya, apakah Jokowi tetap menjadi petugas partai yang akan memenangkan Ganjar, atau berbalik mendukung Prabowo, lawan politiknya di Pilpres 2014 dan 2019 yang kini berpasangan dengan anaknya.
Beberapa kader PDIP beberapa waktu lalu juga masih meyakini dan berharap Jokowi tidak punya alasan untuk tidak mendukung Ganjar atas dasar sebagai petugas partai. Dengan serangkaian dialektika tersebut kita patut mempertanyakan, siapa yang sebenarnya yang membutuhkan, Jokowi yang butuh PDIP atau PDIP yang butuh Jokowi?
Pemilihan Gibran sebagai pasangan Prabowo tidak bisa dipungkiri merupakan langkah politik yang cukup unik untuk dinikmati. Sebab, Gibran merupakan anak kandung Jokowi, kader yang diusung PDIP dalam Pilpres 2014 dan 2019.
Gibran sendiri merupakan Wali Kota Surakarta yang diusung PDIP. Beberapa waktu lalu bahkan Gibran juga ditunjuk DPP PDIP menjadi juru kampanye nasional pasangan Ganjar-Mahfud.
Lalu sekarang kita bertanya, apakah PDIP sangat penting bagi Jokowi ataukah Jokowi memang begitu besar efeknya sehingga berhasil memenangkan kontestasi politik dan berhasil menghadiahkannya kepada PDIP?
Sama kita ketahui, bahwasanya PDIP merupakan partai yang cukup berperan penting untuk memenangkannya pada Pilkada Surakarta tahun 2005 dan 2010,. Kemudian Jokowi juga diusung ikut dalam Pemilihan Gubernur (Pilgub) DKI Jakarta dan berhasil menang, dan lanjut memenangkan pertarungan 2 kali Pilpres.
Perlu diketahui bahwa Jokowi pada dasarnya bukanlah kader PDIP yang telah makan asam garam seperti Panda Nababan, Hasto Kristianto, Ribka Tjiptaning, Adian Napitupulu, Masinton Pasaribu, Budiman Sujatmiko.
Jokowi awalnya merupakan pengusaha menengah yang akhirnya diusung oleh PDIP menjadi calon EWali Kota Surakarta. Jokowi tidak pernah turut membersamai Megawati sejak zaman pemerintahan Soeharto, dimana Megawati merupakan lawan politik yang kuat bagi orde baru.
Jokowi hanya menikmati hasil ketika PDIP sudah duduk dengan aman tanpa rasa takut harus dibredel oleh pemerintahan yang otoriter, yang hanya menjadikan Pemilu sebagai sarana legitimasi.
Dikutip dari Suara.com, FX Hadi Rudiyatmo, Ketua DPC PDIP Surakarta yang turut membersamai Jokowi dalam pasangan Pilkada Surakarta pada 2005 dan 2010 menyebutkan pada awalnya Jokowi pada Pilkada 2005 banyak melamar kepada partai-partai politik lainnya, namun ditolak karena sistem partai yang masih feodal pada masa itu. "Akhirnya saya menerima tawaran Pak Jokowi dan di situlah babak baru Pak Jokowi di dunia politik dan pemerintahan dimulai di PDIP," katanya.
Lalu sekarang, apakah Jokowi begitu diharapkan oleh PDIP untuk memenangkan Ganjar? Mengingat Jokowi memiliki sumber daya pemerintahan yang secara abstrak dapat mengarahkan dukungannya kepada Ganjar, namun hal tersebut dapat kita lihat berbanding terbalik.
Jokowi malah secara semiotika politik mengarahkan dukungan kepada Prabowo Subianto dengan berbagai macam kegiatan kenegaraan, Jokowi dalam setiap minggu hampir selalu memasukan kegiatan bersama Menteri Pertahanan itu. Sedangkan untuk mendukung Ganjar, Jokowi terlihat hanya sebatas melepaskan kewajiban sebagai petugas partai.
PDIP tidak bisa menafikan bahwasanya mereka sebenarnya sangat membutuhkan Jokowi dalam memenangkan Ganjar agar mempertahankan pemerintahan oleh partai yang berlambang banteng bermoncong putih itu.
Fakta menunjukan bahwasanya kehadiran Jokowi dalam Pilpres 2014 memutuskan mata rantai PDIP menjadi partai oposisi. PDIP menjadi oposisi selama 32 Tahun pada masa orde baru. Barulah pada 2001 mereka berkuasa dan hanya bertahan sampai 2003, selanjutnya menjadi oposisi SBY dari 2004-2014.
Tidak bisa dipungkiri, Jokowi berhasil meningkatkan gairah publik untuk memilih PDIP, sehingga PDIP berhasil memenangkan Pilpres dalam dua periode secara berturut.
Tentunya PDIP sebenarnya bimbang dengan sikap politis Jokowi yang secara abstrak mendukung Prabowo, bahkan setelah kehadiran putranya, secara naluri manusia, Jokowi akan mutlak mendukung pasangan Prabowo-Gibran.
Menyikapi hal ini tentunya sebuah ancaman bagi PDIP, namun tidak bagi Jokowi. Jokowi merasa kemenangan bagi Ganjar maupun Prabowo merupakan kemenangan juga bagi dirinya. Sebab kedua kubu calon tersebut masing-masing sudah menyatakan akan melanjutkan dan mengembangkan pembangunan yang dibuat oleh pemerintahannya.
Jadi pada dasarnya Jokowi tidak ingin apa-apa yang sudah diwarisinya dianggap buruk oleh penerusnya Pada akhirnya Jokowi telah berhasil menjadi figur penting dalam Pilpres 2024.
Titahnya seakan-akan ditunggu khalayak ramai. Hampir seluruh partai politik dibuat tunduk dalam mengikuti skenario politiknya. Sekarang Jokowi tidak merasa memiliki beban dalam manuver-manuver politiknya, termasuk beban kepada PDIP.
Jokowi hanya butuh sang penerus yang loyal kepada warisannya, dan karena Jokowi telah menjadi patron. Sepertinya PDIP lebih membutuhkan Jokowi dan sekarang Jokowi telah membuktikan bahwa dia tidak perlu dikasihani oleh PDIP maupun Megawati.
Dari fenomena ini seakan-akan Jokowi menjawab dari dalam Istana,“Punten mbah, kulo mboten perlu melas” (Permisi Bu, Saya tidak perlu dikasihani).
====
Penulis Mahasiswa Imu Politik FISIP USU.
====
medanbisnisdaily.com menerima tulisan (opini/artikel) terkait isu-isu aktual masalah ekonomi, politik, hukum, budaya dan lainnya. Tulisan hendaknya ORISINAL, belum pernah dimuat dan TIDAK DIKIRIM ke media lain, disertai dengan lampiran identitas (KTP/SIM), foto (minimal 700 px dalam format JPEG/posisi lanskap), data diri singkat (dicantumkan di akhir tulisan), nama akun FB dan No HP/WA. Panjang tulisan 4.500-5.500 karakter. Tulisan tidak dikirim dalam bentuk lampiran email, namun langsung dimuat di badan email. Redaksi berhak mengubah judul dan sebagian isi tanpa mengubah makna. Isi artikel sepenuhnya tanggung jawab penulis. Kirimkan tulisan Anda ke: [email protected]