Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Kebetulan, saya menjadi Tim Ahli Cagar Budaya Tapanuli Utara. Ada beberapa situs yang potensial untuk diperingkatkan sebagai cagar budaya sesuai amanah UU. Salah satunya adalah situs Hopong di Desa Dolok Sanggul, Simangumban, Tapanuli Utara.
Dolok Sanggul di Simangumban bukanlah Doloksanggul di Humbang Hasundutan. Jaraknya berdasarkan Google Map 80 km. Jarak tempuh dari Doloksanggul ke Tarutung adalah 90 menitan. Tarutung ke Hopong memakan waktu lebih 2 jam.
Artinya, jarak tempuh Doloksanggul di Humbang Hasundutan ke Dolok Sanggul di Simangumban hampir 4 jam. Saya mengetengahkan ini supaya jelas bahwa Dolok Sanggul dan Doloksanggul adalah dua nama yang sangat jauh berbeda.
Demografi masyarakatnya pun jauh berbeda. Dolok Sanggul di Simangumban didominasi Batak Muslim. Sementara di Doloksanggul Humbang Hasundutan adalah Kristen. Tetapi, Dolok Sanggul di Simangumban cukup unik dan toleran.
"Raja kami di sini orang Kristen," kata Ramadhan Siagian kepada saya. Tepat di dusun Hopong lokasi situs itu, hanya 3 keluarga yang menjadi Kristen. Adatnya juga masih kental sehingga raja adat masih sangat dihargai. Suara raja masih didengar warga.
Penuh perjuangan menuju Dusun Hopong ini. Gunung sangat terjal dan jalan setapak dan sangat sempit. Kami harus naik mobil offroad. Hanya itu yang bisa masuk. Untunglah sudah aspal. Dalam hati saya salut pada perhatian pemerintah.
Betapa tidak? Dusun seterpencil itu masih diperhatikan dengan membuat akses yang cukup memadai. Maka, meski hujan dan jalan basah, kami tetap bisa naik. Hanya saja, kami sedikit kebasahan karena duduk di mobil box.
Ketika hujan semakin deras, kami masuk bersempit-sempitan. Namun, semua terbayarkan dengan sikap toleransi dan pelajaran berharga di Dusun Hopong. Ada begitu banyak pelajaran yang dapat saya ambil dari sana. Saya misalkan bertanya tentang Mandailing bukan Batak.
Meski mereka sudah dekat ke Sipirok, mereka tetap sangat tidak setuju jika Mandailing bukan Batak. "Apa pun ceritanya, menurutku mereka Batak. Setidaknya aku tetap Batak," kata Ramadan Siagian. Hal serupa juga diungkapkan Fahri Siagian.
Saya bertanya demikian karena informasi sudah seperti mampat. Kami bertanya tentang sejarah patung di sana, tak satu pun dari mereka yang tahu. Menurut mereka, bahkan ada banyak kuburan di sana. Uniknya, mereka juga tidak tahu kuburan tersebut punya siapa.
"Bentuknya panjang, banyak dan tak ada nisan atau salib. Tetapi, ada banyak patung," demikian kata mereka. Patung itu kini tinggal 16 buah. Dulu, patung itu sangat banyak. Bentuknya juga beragam. Jumlahnya konon sampai pada angka 50-an.
Namun, patung itu mulai berhilangan. Ada banyak peneliti yang datang, bahkan turis. Namun, setelah itu, banyak yang hilang. Padahal, patung itu sangat menarik untuk dikaji. Persoalannya, patung itu seperti tidak berpemilik. Tak ada kisah dan narasi.
Dalam pikiran kotor saya, barangkali saja patung itu bukan milik warga sekitar. Sangat mungkin kampung itu ditinggalkan orang terdahulu karena banyak alasan. Mungkin penyakit, peperangan, dan sebagainya. Jadi, perkampungan itu sudah ibarat lobu.
Lobu berarti kampung yang sempat ditinggalkan sebelum akhirnya datang penghuni baru. Tetapi, kesimpulan itu bisa salah. Bisa pula benar. Toh, warga sekitar juga tak tahu apa kisah di balik gua, patung, juga kuburan itu. Karena itu, peneliti umumnya mundur.
Mundur karena banyak kemungkinan. Mungkin mampat informasi. Mungkin tidak terlalu penting. Tetapi, bagi saya pribadi, ini menjadi tantangan tersendiri. Bagaimana mungkin semua itu muncul tanpa diketahui? Pasti ada beberapa titik yang sempat dilupakan! (Tulisan kiriman Riduan Situmorang, Tim Ahli Cagar Budaya Humbang Hasundutan dan Tapanuli Utara, Guru SMA Negeri 1 Doloksanggul)