Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Medanbisnisdaily.com-Dairi. Terjadinya banjir bandang dan longsor di di Sihotang, Bakkara, Simangulampe, dan Sipahutar menjadi alarm bahwa ekologi dan ekosistem di Tano Batak dalam kondisi memprihatinkan atau kritis.
Hal itu disampaikan Anggiat Sinaga dan Leorana Sihotang dari Aliansi Gerak Tutup TPL (Toba Pulp Lestari) kepada media, Senin (11/12/2023).
Disebutkan keduanya, bahwa krisis ekologis dan ekosistem di Tano Batak dalam sepuluh tahun terakhir penyebab terjadinya banjir bandang
dan longsor.
"Tidak bisa dipungkiri, deforestasi yang terjadi secara masif dalam 30 tahun terakhir menghancurkan hutan-hutan tropis kita, dengan alasan pembangunan," kata keduanya.
Deforestasi adalah penyebab utama terjadinya rentetan bencana ekologis, apalagi jika menjadi aktivitas wajib dan berulang dilakukan demi kepentingan bisnis dan pembangunan.
Bukan sekadar hujan yang menyebabkan luapan banjir dan longsor, melainkan melemahnya kemampuan hutan menahan air di hulu khususnya di kawasan Danau Toba.
"Tidak berlebihan kalau kita katakan bahwa seluruh bencana yang terjadi disebabkan oleh deforestasi yang menghancurkan tutupan hutan dan Daerah Tangkapan Air (DTA) Danau Toba," sebutnya.
Namun jika berbicara penyebab paling mendasar terjadinya banjir dan longsor menunjukan adanya penebangan pohon secara masif di wilayah TPL beraktivitas.
Hutan-hutan alam yang tadinya menjadi hulu sungai tepatnya saat ini hampir seluruhnya berubah menjadi tanaman monokultur eukaliptus yang mewajibkan deforestasi di setiap panen raya.
"Deforestasi ini menyebabkan terjadinya banjir dan longsor yang tidak hanya menekan korban jiwa. Akan tetapi lahan pertanian dan pemukiman masyarakat, tempat ibadah dan fasilitas umum juga ikut rusak dan hancur," tuturnya.
Lebih lanjut mereka sampaikan, untuk menikmati lingkungan hidup yang baik, adalah hak yang diamanatkan konstitusi untuk dipenuhi negara.
Reorientasi pembangunan tidak lagi bisa ditunda. Selama ini, pembangunan pada pelaksanaannya hanya mempertimbangkan kepentingan segelintir, dan membiarkan rakyat banyak menjadi korban ketika rentetan bencana terjadi.
Reorientasi berarti berhenti bersikap lunak terhadap perusahaan, individu, atau pihak manapun yang tidak mempertimbangkan dampak luas, apa lagi yang telah nyata menjadi dalang segala kerugian yang telah terjadi.
Ini harus dipandang sebagai aksi tanggapan jangka panjang, karena rusaknya hutan dan ekosistem tidak hanya memungkinkan bencana belakangan, namun lebih lanjut bisa berbuah kekeringan, krisis air, dan penggerusan biodiversitas kawasan Danau Toba.
Untuk itu, paling tidak, hal-hal berikut harus dilaksanakan segera oleh pemerintah daerah
maupun pusat:
1. Menindak tegas pelaku-pelaku pengrusakan hutan di Kawasan Danau Toba. Dan membebankan seluruh kerugian yang ditimbulkan ke semua pihak yang terlibat dalam pengerusakan hutan.
2. Mencabut izin-izin perusahaan yang merusak ekosistem Kawasan Danau Toba. Pemerintah harus benar-benar mempertimbangkan daya dukung dan daya tampung
lingkungan.
3. Pemerintah Kabupaten di Kawasan Danau Toba harus menyusun Rencana Aksi Daerah (RAD) Mitigasi dan Adaptasi Perubahan Iklim secara partisipatif yang menjadikan masyarakat adat dan masyarakat lokal sebagai subyek dari RAD tersebut.
"Pada pokoknya, pemerintah harus memperhatikan aspek lingkungan hidup yang tidak hanya berkelanjutan, tetapi juga berkeadilan.
Kesejahteraan adalah hak semua orang, bukan segelintir. Selamatkan Bonapasogit! Tinjau Ulang Pembangunan! Tutup Perusahaan Perusak
Lingkungan! Lakukan Aksi Iklim yang Berkeadilan!