Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Medanbisnisdaily.com-Jakarta. Dalam lima tahun terakhir, Boeing mengalami kerugian lebih dari US$ 32 miliar atau senilai Rp 510,9 triliun (kurs Rp 15.968). Adapun kehilangan uang sebesar ini terjadi akibat beberapa kecelakaan model yang terjadi dan besarnya fokus Boeing terhadap kualitas pesawatnya.
Perlu diketahui bahwa Boeing tertinggal jauh di belakang saingannya, Airbus, dalam hal penjualan untuk jet baru. Setelah kecelakaan fatal kedua pesawat Boeing 737 Max pada pesawat Alaska Airlines, Boeing melaporkan kerugian operasional inti sebesar US$ 31,9 miliar (Rp 509,4 triliun) dengan kerugian bersih pada periode yang sama mencapai US$ 27 miliar (Rp 431,1 triliun).
Menurut FactSet, tidak ada perusahaan lain di S&P yang rugi sebesar itu selama lima tahun terakhir. Uber dan Carnival Corp hanya mendekati kerugian yang dialami Boeing. Adapun kerugian besar tersebut mengakibatkan tingkat utang perusahaan melonjak dari US$ 13 miliar pada akhir 2018 menjadi US$ 48 miliar sekarang.
Lantas, bagaimana bisa perusahaan produsen jet penumpang penuh ini tidak segera gulung tikar?
Boeing (BA) memiliki simpanan pesanan lebih dari 5.600 jet komersial dengan nilai US$ 529 miliar untuk periode bertahun-tahun lamanya. Alasan yang membuat Boeing mengalami kerugian dalam lima tahun terakhir adalah Boeing tidak dapat membuat cukup pesawat dalam setahun untuk menghasilkan keuntungan demi mengatasi masalah kualitas.
Selain itu, Airbus memiliki simpanan lebih dari 8.000 pesawat jet komersial, tetapi diproyeksikan hanya mengirimkan sekitar 800 pesawat tahun ini. Hal itu membuat maskapai penerbangan tetap memesan ke Boeing. Bahkan jika pelanggan bisa mendapatkan jet Airbus mereka segera, perlu biaya besar bagi pelanggan Boeing untuk mengoperasikan jet Boeing yang ada dan armada pesawat Airbus pada saat yang bersamaan.
Keuntungan lainnya yang dikantongi Boeing adalah pilot maskapai hanya bisa menerbangkan pesawat sesuai dengan sertifikasi mereka. Mereka tidak bisa beralih antarmodel yang bersaing. Maskapai penerbangan pun harus menjaga pasokan suku cadang yang mahal untuk melayani pesawat yang mereka miliki. Setelah Alaska Air membeli Virgin America pada 2016, mereka segera menyingkirkan jet Airbus dan menjadi maskapai penerbangan all-Boeing.
"Alasan kami pergi armada tunggal adalah kami memiliki dua jenis pesawat yang melakukan misi yang sama di Lower 48. Biayanya $ 75 juta hingga $ 100 juta per tahun mengoperasikan armada ganda ini antara pelatihan pilot dan cadangan dan pemeliharaan dan suku cadang dan semua hal itu," kata CEO Ben Minicucci pada bulan Januari, berbicara kepada investor.
Meskipun banyaknya keuntungan yang dapat menghindari Boeing dari kebangkrutan, tidak selamanya mereka terus bertahan dan membuntuti Airbus. Pemimpin selanjutnya yang menggantikan Calhoun menjadi pertanyaan penting mengingat dirinya mengumumkan akan pensiun pada akhir tahun.(dtf)