Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
MedanBisnis - Jakarta - Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) terus menunjukkan pelemahan. Setelah cetak rekor IHSG saat ini kembali ke level di bawah 5.800.
Namun kondisi sebaliknya terjadi di pasar saham global, Wall Street justru selama sepekan ini terus menunjukkan penguatan. Indeks yang berisi perusahaan-perusahaan terbesar di Amerika Serikat (AS) Dow Jones terus cetak rekor.
Menurut Analis Mina Padi Investama Christian Saortua perbedaan nasib yang terjadi itu lantaran perbedaan kondisi perekonomian di masing-masing negara. Para investor asing menilai memang perekonomian kurang kondusif. Apa lagi ada desas-desus penurunan daya beli.
"Kemudian tercermin dari laporan keuangan emiten properti dan konsumer kurang begitu bagus. Kita juga akan keluar data pertumbuhan ekonomi. Jadi kemungkinan ada kekhawatiran di investor bahwa pertumbuhan ekonomi kurang baik. Jadi asing melakukan profit taking," tuturnya saat dihubungi , Kamis (3/8/2017).
Pada penutupan perdagangan pekan kemarin, Dow Jones naik 0,15% ke level tertinggi 21.830, lalu keesokan harinya kembali cetak rekor dengan naik 60,8 poin ke 21.891. Tadi malam pun Dow Jones kembali cetak rekor dengan naik 52,3 poin ke 22.016,2. Penguatan Indeks Dow Jones didorong oleh saham-saham di sektor teknologi, seperti Apple.
Memang untuk saat ini penguatan Dow Jones dan pelemahan IHSG tidak berhubungan dengan jenis emiten yang menjadi penggeraknya. Namun menurut Christian dengan adanya emiten teknologi besar di Dow Jones membuat mereka lebih tahan banting jika ada penurunan daya beli. Sementara di Indonesia, saham-saham blue chip berisi perusahaan-perusahaan konvensional, seperti infrastruktur, keuangan dan konsumer.
"Tentu jika kita punya emiten teknologi akan tertahan. Katanya kan ada shifting pola konsumsi belanja masyarakat ke online. Jika kita punya emiten online shop platform teknologi makan bisa ditopang, ada substitusi. Ini terlihat bahwa terjadi pergeseran bukan lagi konvensional bisnis tapi bisnis berbasis teknologi," imbuhnya.
Sementara Kepala Riset Reliance Sekuritas Robertus Yanuar Hardy mengaku tidak sependapat jika saat ini terjadi gejolak ekonomi. Menurutnya kondisi perekonomian saat ini masih normal, hal itu bisa dibuktikan dengan dirilisnya data pertumbuhan ekonomi minggu depan.
"Neraca perdagangan masih surplus, harga komoditas andalan ekspor masih naik, cadangan devisa ada di level tertingginya sepanjang sejarah, inflasi turun karena harga bahan pokok pasca lebaran turun," terangnya.
Sementara anjloknya IHSG belakangan ini menurut Robertus memang merupakan siklus penurunan yang biasanya terjadi pasca keluarnya laporan keuangan semester pertama. Biasanya IHSG cenderung melemah sepanjang Agustus dan September. Sedangkan di AS saat ini tengah menuai perkembangan perekonomian hasil dari serangkaian stimulus selama bertahun-tahun sejak krisis 2008.
"Turun sebelum rebound di Oktober dan November dan mencapai naiknya lagi di Desember dan Januari. Ini karena secara musiman, kinerja emiten di kuartal II cenderung turun. Ditambah lagi musim pembagian dividen yang pada umumnya terjadi di Mei, Juni dan Juli," tukasnya.dtc