Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Medanbisnisdaily.com - Yogyakarta - Guru Besar Fakultas Hukum UGM, Yogyakarta, Prof Nurhasan Ismail menyebutkan DI Yogyakarta diberi ruang oleh regulasi untuk membatasi WNI nonpribumi dalam penguasaan tanah. Hal itu tertuang dalam UU Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria (UUPA).
UU itu kemudian ditegaskan dalam Instruksi Wakil Gubernur (Wagub) DIY Nomor K.898/I/A/1975.
"Dalam UUPA perbedaan hukum itu ada dasar hukumnya. Pasal 11 ayat 2 UUPA, boleh ada perbedaan aturan hukum, kalau memang diperlukan secara sosial ekonomi. UUPA membuka adanya kemungkinan itu, bukan tidak ada," kata Nurhasan, saat berbincang dengan detikcom melalui telepon, Kamis (1/3/2018).
Sementara dalam Instruksi Wagub DIY, dijelaskannya aturan itu sebenarnya bukan WNI nonpribumi atau keturunan China tak boleh menguasai hak atas tanah.
"Mereka boleh memiliki, statusnya bukan hak milik, tapi statusnya HGB (hak guna bangunan). Intinya itu," kata Nurhasan menegaskan.
Dosen hukum agraria UGM itu menerangkan lahirnya larangan nonpribumi menguasai tanah itu. Yaitu dengan pertimbangan saat itu dalam rangka perlindungan terhadap kelompok masyarakat lemah yakni WNI pribumi. Sebelum terbitnya Instruksi Wagub DIY, kebijakannya lebih keras lagi, yakni tidak boleh ada pengalihan tanah milik orang pribumi kepada orang keturunan. Sekarang, boleh dialihkan dengan status HGB. Bahkan, pemilik HGB juga diberi keleluasaan yakni bisa memakai sertifikat HGB untuk jaminan utang atau dialihkan/dijual.
"HGB bukan seperti sistem sewa, kalau sewa kan nggak boleh dijadikan jaminan, dialihkan. Kan sama saja gunanya, hanya statusnya yang beda. Nanti HGB bisa diperpanjang haknya, nanti bayar lagi kepada negara bea perolehan hak atas tanah dan bangunan (BPHTB). Karena pemberi HGB itu negara, bukan Keraton, ini berlaku umum nasional dan ada rumusan untuk menghitung BPHTB itu," paparnya.
Persoalan tanah di DIY yang belakangan ini diperbincangkan publik, hanyalah persoalan status haknya saja, bukan masalah tidak boleh memiliki tanah.
Penerapan Instruksi Wagub DIY juga bukan sebuah perbuatan atau sikap diskriminasi. Menurutnya, orang akan beranggapan ada diskriminasi karena hanya dilihat dari prinsip persamaan yakni setiap orang berhak memiliki tanah hak milik. Tapi UUPA juga membuka adanya ketidaksamaan hukum.
"Dalam konteks itu kalau ditujukan untuk melindungi kelompok masyarakat lemah, itu disebut positive discrimination, diskriminasi yang punya dampak positif karena untuk melindungi kelompok masyarakat yang lemah. Instruksi Wagub juga bukan mengatur tanah Kasultanan, tapi tanah umum yang dimiliki masyarakat. Perdais yang mengatur tentang tanah-tanah Kasultanan," papar Nurhasan.
Ditambahkannya, yang perlu diperhatikan dari isi Instruksi Wagub DIY itu hakikatnya adalah mencegah adanya kesenjangan dalam penguasaan tanah antarkelompok di dalam masyarakat.
"Karena posisi ekonomi masyarakat dalam sejarah di DIY, kesenjangan relatif akan selalu ada yakni orang nonpribumi atau keturunan China posisi ekonominya lebih kuat dari pribumi. Itu yang dilindungi dalam Instruksi Wagub," ujarnya.
Nurhasan juga menegaskan status keistimewaan DIY juga menjadi basis adanya perbedaan dalam penerapan aturan penguasaan tanah. Aturan itu ditujukan adanya keadilan dari sosial ekonomi.
"Jangan hanya melihat dari sisi tidak boleh punya hak milik, tapi dilihat lebih luas sama-sama diberikan kesempatan memiliki tanah, hanya berbeda di statusnya. Ini persoalan kearifan lokal saja, bisa berbeda beda di tiap daerah," imbuhnya.
Nurhasan berpendapat kalau ke depantidak ada lagi persoalan kesenjangan, seperti orang pribumi punya kemampuan ekonomi paling tidak secara relatif mendekati kesamaan dengan nonpribumi, maka ada ruang untuk mengubah isi Instruksi Wagub DIY tersebut.
"Bahkan sekarang kalau mau diubah, silakan dikaji. Apakah kesenjangan kepemilikan tanah, sosial ekonomi, masih terjadi atau tidak," pungkas Nurhasan.
Sebagaimana diketahui, seorang pengacara, Handoko menggugat Instruksi Wakil Gubernur DIY Nomor K.898/I/A/1975 yang menyatakan Pemprov bisa melarang nonpribumi memiliki tanah di Yogyakarta. Gugatan itu ditolak PN Yogyakarta. dtc