Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Medanbisnisdaily.com-Medan. Memperingati World Press Freedom Day atau Hari Kebebasan Pers Sedunia, Aliansi Jurnalis Independen Medan menggelar diskusi publik di Sekretariat AJI Medan, Jalan Sei Brantas, Medan, Jumat (3/5/2019).
"Hari Kebebasan Pers ini sebagai momentum untuk mengingatkan pemerintah agar senantiasa menghormati kebebasan pers, mempromosikan prinsip dasar kebebasan pers, serta untuk menghormati para wartawan yang gugur dalam tugas," ujar Koordinator Bidang Advokasi AJI Medan, Dewantoro.
AJI Medan mencatat setiap tahun terjadi kasus kekerasan terhadap wartawan di Sumut dengan jumlah yang relatif naik turun. Pada tahun 2016 terdapat 8 kasus, 2017 ada 15 kasus, dan 2018 ada 7 kasus.
Jumlahnya meningkat pesat memasuki tahun 2019. Selama tiga bulan pertama saja sudah terjadi 8 kasus kekerasan pada jurnalis.
Motif kekerasan terhadap jurnalis di Sumut juga beragam mulai dari penganiayaan, kekerasan verbal hingga larangan melakukan peliputan.
"Pelakunya beragam, mulai dari preman, oknum pemerintah, oknum penegak hukum hingga kalangan akademis di perguruan tinggi."
Berkaca pada kasus-kasus yang dialami jurnalis di Sumut, kata Dewantoro, menawarkan sejumlah tawaran solusi untuk meminimalisir aksi kekerasan terhadap jurnalis.
Usulan tersebut adalah menerapkan profesionalisme jurnalis, mendesak aparat keamanan agar serius menangani kasus kekerasan terhadap jurnalis, dan menuntut komitmen penegak hukum terhadap kebebasan pers dan perlindungan terhadap profesi jurnalis sesuai UU Pers.
“Kami juga mengimbau para jurnalis yang menjadi korban kekerasan saat menjalankan tugas agar menempuh jalur hukum dan tidak menempuh jalur damai dalam penyelesaiannya,” kata Dewan.
Direktur LBH Medan, Ismail Lubis, mengingatkan bahwa kebebasan pers adalah cita-cita reformasi dan merupakan perwujudan kedaulatan rakyat.
"Jika pers tidak serta-merta bebas, berarti kedaulatan rakyat masih terganggu," tegas Ismail.
Dalam penanganan kasus yang menimpa kalangan jurnalis, sambung Ismail, harusnya aparat penegak hukum menggunakan lex specialis, bukan lex generalis seperti yang saat ini kerap terjadi.
"Namun kenapa pers selalu dibenturkan dengan hukum umum? Inilah yang jadi pertanda kedaulatan rakyat bermasalah. Ketika kebebasan pers tidak terlindungi secara utuh, itu bukti bahwa sistem pemerintahan masih korup," beber Ismail.
Ismail juga melihat kaitan antara kebebasan pers dengan kualitas pembangunan di sutu daerah sifatnya berbanding lurus.
“Kalau persnya kurang bebas, maka biasanya tingkat korupsi di satu daerah tinggi. Jika pers kuat, maka sistem yang korup bisa dilawan,” katanya.
Ketua AJI Medan Liston Damanik, mengatakan, AJI bersama para stakeholder termasuk Dewan Pers telah mendeklarasikan Komite Keselamatan Jurnalis, 5 April lalu.
Secara khusus Komite ini bertujuan untuk menangani kasus kekerasan jurnalis dengan menyediakan skema pendanaan atau safety fund journalists. Para inisiator dan pendiri komite telah menyusun Standar Operasional prosedur (SOP) yang akan menjadi pedoman dalam penanganan dan pencegahan kasus kekerasan jurnalis dan pekerja media agar tidak terulang kembali.
“Ini adalah sebuah terobosan yang baik sehingga di masa depan penanganan kasus kekerasan pada jurnalis dapat lebih terpadu dan tidak lagi sporadis,” ujarnya.