Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Medanbisnisdaily.com Jakarta - Prinsip aborsi dilarang di RUU KUHP dan diancam pidana. Kecuali bagi korban perkosaan, sifat melawan hukumnya menjadi hilang. Bagaimana dengan pria yang suruh kekasihnya untuk menggugurkan kandungan?
Dalam RUU KUHP, perempuan (kecuali korban perkosaan) yang menggugurkan kandungannya akan dikenakan hukuman maksimal 4 tahun penjara. Hal itu sesuai dengan Pasal 470 ayat 1:
Setiap perempuan yang menggugurkan atau mematikan kandungannya atau meminta orang lain menggugurkan atau mematikan kandungan tersebut dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun.
Nah, dalam praktik, aborsi itu didorong para pria hidung belang yang tidak mau bertanggungjawab. Mereka memaksa si perempuan untuk menggugurkan dengan segala cara. Dalam RUU KUHP, pria tak bertanggungjawab itu bisa dipenjara 12 tahun.
"Setiap Orang yang menggugurkan atau mematikan kandungan seorang perempuan tanpa persetujuannya dipidana dengan pidana penjara paling lama 12 (dua belas) tahun," ujar Pasal 470 ayat 2.
Lalu bagaimana bila dalam aborsi itu di perempuan meninggal dunia? Maka hukumannya diperberat lagi menjadi 15 tahun penjara. Sebagaimana tertuang dalam pasal 470 ayat 3:
Jika perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mengakibatkan matinya perempuan tersebut dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun.
Bagaimana bila aborsi itu atas persetujuan si perempuan? Dalam pasal selanjutnya diatur yaitu pria hidung belang itu dihukum 5 tahun penjara. Bila si perempuan itu meninggal, maka hukumannya naik menjadi 8 tahun penjara.
Bila aborsi di atas dilakukan atas bantuan dokter/paramedis, maka hukuman si dokter/paramedis itu harus lebih berat. Yaitu ditambah 1/3 dari hukuman ibu janin/orang yang membantu pengguguran.
Baca juga: Masa Transisi 3 Tahun, RUU KUHP Baru Efektif Berlaku 2022
Lalu bagaimana dengan aborsi atas alasan medis? Maka menjadi gugur sifat melawan hukumnya.
"Dokter yang melakukan pengguguran kandungan karena indikasi kedaruratan medis atau terhadap Korban perkosaan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, tidak dipidana," demikian bunyi Pasal 472 ayat 3. dtc