Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Medanbisnisdaily.com - Bandung - Majelis Ulama Indonesia (MUI) Jawa Barat menolak wacana Kementerian Agama (Kemenag) Kota Bandung yang ingin mengatur teks khotbah salat Jumat. MUI menilai hal itu dapat membuat khotib atau penceramah terkekang.
Sekretaris MUI Jabar Rafani Achyar mengatakan pihaknya menolak bila aturan itu dilakukan guna menyeragamkan materi khotbah di masjid-masjid di Bandung. Menurutnya, hal itu dapat menimbulkan reaksi dari masyarakat.
"Kalau maksudnya itu menyeragamkan apalagi sampai menyediakan teks umpamanya, ini menurut saya tidak bagus. Bahkan berpotensi mengundang reaksi yang menimbulkan keriuhan juga," ucap Rafani kepada detikcom via sambungan telepon, Rabu (22/1/2020).
Bila aturan tersebut dilaksanakan, menurut Rafani, bakal mengekang kebebasan masyarakat. Menurutnya, hal itu dapat berujung pada hak asasi manusia.
"Karena kalau penyeragaman, kalau diseragamkan apalagi teks sama itu artinya sama dengan mengekang kebebasan beragama. Nanti orang mengaitkan dengan hak asasi. Kan hak asasi harus mengakui kebebasan beragama," kata dia.
Menurut Rafani, kebebasan dalam menyampaikan khotbah ini sudah ada sejak lama. Sehingga, bila memang ada wacana baru, hal itu bisa menimbulkan konflik.
"Nah sedangkan soal khotbah sudah berjalan lama dari dulu seperti ini kita diberikan kebebasan dan tidak pernah ada masalah. Lantas kalau mau diseragamkan ada masalah apa sebetulnya?" ujar Rafani.
Kemenag Bandung mengungkapkan wacana mengatur teks khotbah Jumat dilakukan untuk mencegah paham radikalisme. Menurut Rafani, justru hal itu tidak akan mempengaruhi banyak.
"Kalau kekhawatiran paham ekstremisme, kalau di khotbah Jumat nggak akan besar pengaruhnya, paling berapa menit. Pada umumnya (khotbah) 20 menit. Khotbah itu kemudian jemaah heterogen. Nggak lah, nggak perlu khawatir," katanya.
"Kalau memang yang dikhawatirkan paham ekstrem, ekstremisme berkembang justru dalam kegiatan yang sifatnya intensif. Kegiatan pengajian, terus kajian subuh, terus kan ada usroh-usroh di masjid yang sepuluh orang, 15 orang tiap usroh itu kan ada murobinya, yang gitu yang harus diwaspadai, bukan khotbah Jumat," tutur Rafani menambahkan.
Selain itu, Rafani berujar, "ini kan soal ritual. Jadi kalaupun ada yang menyimpang dari ritual, jemaah kan sudah tahu lah. Khotbah ini ada rukun, ada syarat, jadi jamaah sudah tahu lah ya. Walaupun kenyataan memang ada masjid-masjid yang khatibnya itu keras, tapi jamaah tahu lah nggak ini, kan yang dikejar salatnya," kata Rafani menambahkan.
Sebab itu, MUI Jabar meminta Kemenag mengkaji ulang wacana itu. Kalaupun dilaksanakan, pihaknya meminta agar disosialisasikan kepada masyarakat luas.
MUI Jabar mengimbau Kemenag untuk berkomuniasi berkaitan hal tersebut. Sehingga MUI nantinya bisa menjelaskannya kepada publik.
"Kalau menurut saya dikaji ulang lah, terus kalau punya maksud apa jelaskan dulu pada masyarakat apa latar belakangnya gitu. Dan koordinasi dengan kita MUI, kalau ada apa-apa ujungnya ke MUI. Sementara selama ini kan tidak ada komunikasi sebelumnya," kata Rafani. dtc