Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Dalam beberapa tayangan video amatir yang diunggah oleh laman Medan Talk, saya dibuat geram ketika melihat aksi para bajing loncat. Mereka dengan leluasanya membongkar muatan truk-truk yang sedang berjalan dalam kondisi lalu lintas yang cukup ramai dan mengambil barang-barang di dalam kontainer sesuka hatinya.
Di saat yang bersamaan, rasa iba saya juga muncul pada supir dan kenek truk yang sepertinya tidak mengetahui kalau barang bawaannya sudah dijarah. Boleh jadi, ketika muatan akan diturunkan, mereka yang akan terkena imbasnya karena diharuskan membayar atau mengganti barang-barang yang sudah hilang tadi.
Lalu saya mencoba melihat komentar-komentar para warganet. Intinya, mereka mengutuk perbuatan para bajing loncat itu, bersimpati pada supir truk dan sekaligus menyesalkan kecuekan masyarakat sekitar terutama pihak yang merekam aksi para bajing loncat karena dianggap melakukan pembiaran. Tak sedikit yang mengatakan jika berada di posisi yang merekam, mereka akan melakukan hal-hal yang bisa menggagalkan aksi pencurian itu, semisal dengan membunyikan klakson sekuat mungkin, menegur para bajing loncat atau memberitahukan sang supir.
Perlu diketahui, bajing loncat itu selain berani juga sangat nekat. Lihat saja betapa nekatnya mereka mengambil barang dengan kondisi sepeda motor yang mereka kendarai dan truk sasaran sama-sama dalam keadaan sedang berjalan. Silap sedikit saja, nyawa taruhannya. Mereka bisa terjatuh, tergilas roda truk atau tertabrak kendaraan lain yang berada di belakang. Kurang nekat apalagi mereka sampai-sampai begitu santainya melakukan semua itu di tempat terbuka, pada siang atau sore hari dan dilihat banyak orang? Makanya, bagi saya komentar-komentar para warganet itu hanya emosi reaktif belaka karena mereka mungkin belum tahu bagaimana kondisi sesungguhnya di lapangan.
Seorang teman pernah bercerita pengalamannya ketika mengklakson bajing loncat yang sedang melancarkan aksinya. Pencurian memang gagal. Tapi teman saya itu malah dikejar-kejar oleh kawanan bajing loncat. Untungnya dia masih bisa lolos. Kalau kedapatan, mungkin nasib naas akan dia terima. Maksudnya, selain nekat dalam beroperasi, para bajing loncat itu juga sepertinya sudah mengantisipasi kalau-kalau ada pengguna jalan lain yang berusaha menggagalkan perbuatan mereka.
Dan menurut pengakuan beberapa sumber, biasanya para bajing loncat juga punya komplotan. Selain yang bertugas melakukan operasi, rekan-rekan mereka juga ikut memantau di titik-titik tertentu. Jadi, jika ada pengendara yang mencoba mengintervensi, mereka akan melakukan intimidasi. Bahkan, ada juga yang mengatakan bahwa terkadang para supir dan kenek truk sebenarnya mengetahui jika mereka sedang dirampok. Tapi mereka lebih memilih untuk tidak mengambil tindakan apa-apa karena takut dengan risiko yang lebih besar.
Itu pula alasan yang mendasari mengapa masyarakat dan para pengguna jalan tidak berani mengambil tindakan. Alih-alih menolong, bisa jadi keselamatan mereka yang terancam. Merekam perbuatan bejat para bajing loncat pun sebenarnya sudah bisa dikatakan cukup membantu apalagi jika wajah dan nomor plat sepeda motor mereka berhasil disorot. Dengan demikian, mengharapkan eksekusi dari masyarakat seperti yang disebut-sebut para warganet tentu bukan solusi bijak karena selain mengundang bahaya, tugas itu hanya boleh dilakukan oleh aparat keamanan.
Menariknya, persoalan keamanan dan ketertiban masyarakat (kamtibmas) di kota Medan mengalami tren yang membaik. Pada Agustus 2016, survey yang dilakukan oleh Indonesia Research Center (IRC) memang sempat menempatkan Medan di posisi teratas dengan predikat kota paling tidak aman dengan tingkat keamanan hanya sebesar 3,2% disusul Samarinda, Palembang, Makassar, Jakarta, Lampung, Surabaya, Denpasar, Bandung, dan Semarang. Namun, seperti yang dikutip dari laman Republika.co.id, menurut Kapolrestabes Medan, Kombes Dadang Hartanto dalam refleksi akhir tahun yang digelar di ruang utama Mapolrestabes (30/12/2018), sejak tahun 2017 hingga 2018 angka kejahatan mengalami tren penurunan.
Berikut perinciannya. Untuk kasus kekerasan seperti begal dan perampokan, pada tahun 2017 jumlahnya mencapai 407 kasus. Sementara di 2018 angka itu turun menjadi 305 kasus. Begitu juga untuk permasalahan pencurian kendaraan bermotor. Tahun 2017 jumlahnya dilaporkan mencapai 1.548 kasus. Namun di tahun 2018 jumlah itu menurun ke angka 1.242 kasus. Demikian halnya dengan kasus pencurian dengan pemberatan yang pada tahun 2017 tercatat mencapai 1.285 kasus juga mengalami penurunan di tahun 2018 menjadi 1.171 kasus.
Menyikapi data itu, kita boleh memberikan apresiasi terhadap pihak aparat karena telah menunjukkan kinerja yang baik. Tapi, kasus-kasus bajing loncat, begal, dan curanmor belakangan semakin meresahkan. Jika tidak mendapatkan penanganan serius, korban akan semakin bertambah banyak dan citra kota Medan akan kembali buruk.
Menurut pandangan saya, adanya CCTV atau rekaman video amatir yang sudah berseliweran di media sosial sudah lebih dari cukup bagi pihak kepolisian untuk mengambil tindakan baik represif dan preventif. Lihat saja pelaku pembegalan sepeda motor di jalan Sutrisno beberapa waktu lalu yang terekam oleh CCTV. Tidak butuh waktu lama, pihak kepolisian sudah berhasil menciduk para pelaku.
Artinya, persoalan bajing loncat, begal dan perampokan, jika melihat cepatnya tindakan polisi pada beberapa kasus selama ini, bukan merupakan hal yang terlalu sulit untuk diberantas. Saya bukan hendak menggurui soal bagaimana cara memberantas pelaku kejahatan. Pihak kepolisian pasti sudah memahami betul langkah-langkah apa yang harus diambil.
Namun demikian, para pelaku kejahatan selama ini juga boleh dikatakan cukup cerdik untuk melihat celah pada saat aparat mulai sedikit longgar. Sebagai contoh ketika beberapa tahun yang lalu peristiwa begal begitu marak terjadi, pihak Polresta Medan sangat aktif membentuk tim khusus yang berjaga di daerah rawan dan melakukan banyak patroli.
Akan tetapi, ketika aksi begal mulai surut, pengawasan-pengawasan seperti itu pun berkurang. Pada masa-masa seperti itulah para pelaku bekal dan pelaku kejahatan lainnya mulai mengambil momentum untuk kembali beraksi. Mereka sepertinya bisa membaca pola kapan harus beroperasi dan kapan harus menahan diri.
Call Center memang sudah disosialisasikan ke masyarakat. Tapi, itu saja tidak cukup dan malah tidak boleh dijadikan sebagai strategi tunggal. Pasalnya, jika hanya mengandalkan laporan masyarakat, berarti aparat kurang pro aktif dan peristiwa kejahatan mungkin sudah sempat terjadi. Apa yang diharapakan oleh masyarakat tentunya adalah konsistensi penegak hukum dalam menjalankan tugasnya. Aparat harus berani menjemput bola, bukan sekedar menunggu aduan masyarakat. Mudah-mudahan kamtibmas kota Medan akan terus mengalami peningkatan sebab menjadi kota yang maju juga berarti menekan angka kejahatan seminim-minimnya.
===
Penulis adalah Kolumnis lepas, Guru SMP/SMA Sutomo 2 Medan dan Dosen PTS.
===
medanbisnisdaily.com menerima tulisan (artikel) terkait isu-isu aktual masalah ekonomi, politik, hukum, budaya dan lainnya. Tulisan hendaknya orisinal, belum pernah dimuat dan tidak akan dimuat di media lain, disertai dengan lampiran identitas (KTP/SIM), foto (minimal 700 px) dan data diri singkat (dicantumkan di akhir tulisan). Panjang tulisan 4.000-5.000 karakter. Tulisan sebaiknya tidak dikirim dalam bentuk lampiran email, namun langsung dimuat di badan email. Kirimkan tulisan Anda ke: [email protected]