Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Medanbisnisdaily.com-Jakarta. DPR tengah mengkaji kenaikan angka ambang batas parlemen atau parliamentary threshold (PT) dari yang saat ini 4%, dinaikkan menjadi 7%. Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) menilai menaikkan ambang batas membuat hasil pemilu tidak proposional.
"Pengaturan ambang batas yang terlalu tinggi, 7% itu akan menyebabkan hasil pemilu yang makin tidak proporsional (disproporsional)," ujar Direktur Eksekutif Perludem Titi Angraini, saat dihubungi, Rabu (10/6/2020).
Titi mengatakan ambang batas 7% merupakan batas yang tinggi, dan dapat menyebabkan suara sah pemilih terbuang. Dia menuturkan, ambang batas 4% dalam Pemilu 2019 sudah mengakibatkan lebih dari 13 juta suara sah terbuang.
"Ambang batas parlemen sebesar 7% adalah ambang batas yang tinggi. Pemberlakuan angka ambang batas yang tinggi di pemilu kita, bisa berdampak membuat makin banyak suara sah pemilih yang sudah diberikan di pemilu menjadi terbuang (wasted votes) karena tidak bisa diikutkan dalam penentuan perolehan kursi," kata Titi.
"Ini akan berdampak pada makin tingginya disproporsionalitas sistem pemilu kita, dan pada akhirnya bisa berakibat pada distorsi atas suara dan prinsip kedaulatan rakyat. Dengan PT 4% pada Pemilu 2019 lalu saja mengakibatkan 13.595.842 suara yang terbuang. Apalagi kalau 7%," sambungnya.
Titi juga menilai, dinaikkannya ambang batas dapat memicu ketidakpuasan politik. Hingga dapat menyebabkan praktik politik uang yang dilakukan partai agar lolos parlemen.
"Selain itu ini juga bisa memicu terjadinya ketidakpuasan politik dari para pihak yang merasa suaranya tidak terwakili, pada akhirnya ketidakpuasan itu bisa tereskalasi pada rongrongan terhadap stabilitas politik dan praktik demokrasi kita. PT yang yang tinggi juga bisa memicu praktik politik uang karena partai-partai yang menjadi pragmatis dan melakukan segala cara untuk lolos parlemen, termasuk juga cara-cara transaksional, jual beli suara (vote buying)," kata Titi.
Titi mengatakan, ambang batas bukan menjadi metode yang tepat untuk menyederhanakan sistem kepartaian. Menurutnya cara yang tepat yaitu, dengan sistem pendekatan penyederhanaan besaran daerah pemilihan serta formula perolehan kursi.
"Parliamentary threshold atau ambang batas parlemen/ambang batas perwakilan sesungguhnya, bukan metode yang tepat untuk menyederhanakan sistem kepartaian di parlemen. Ambang batas perwakilan memang berhasil mengurangi jumlah partai politik di parlemen, tetapi berkurangnya jumlah partai politik di parlemen bukan berarti mengurangi fragmentasi politik di parlemen. Variabel yang tepat untuk menciptakan sistem multi partai sederhana di parlemen adalah besaran daerah pemilihan dan formula perolehan kursi," pungkasnya.
Ambang Batas Parlemen Tinggi Dinilai Perubahan Politik Makin Sempit
Sementara itu, Network for Democracy and Electoral Integrity (Netgrit) menilai kenaikan ini sebagai upaya memikirkan diri sendiri.
"Saya kira upaya menaikan ini adalah upaya memikirkan diri sendiri saja, bagaimana supaya kita ini tidak tersaingi oleh yang baru-baru. Bagaimana supaya kekuasaan politik itu, milik kita saja," ujar Pendiri Netgrit Hadar Nafis Gumay, saat dihubungi, Rabu (10/6/2020).
Hadar mengatakan, semakin tinggi ambang batas maka dapat semakin jauh dari prinsip kedaulatan rakyat. Dia mencontohkan, suara rakyat yang memiliki salah satu partai namun akhirnya tidak dapat terpilih karena terhalang oleh ambang batas yang tinggi.
"Karena apa, semakin tinggi threshold kita pasang, sebetulnya itu semakin kita menjauhkan dari yang apa namanya prinsip kedaulatan rakyat. Jadi yang saya maksudkan adalah rakyat itu yang menentukan sebetulnya di dalam pilihan-pilihannya," kata Hadar.
"Karena kalau rakyat itu sebetulnya ingin satu partai, tetapi partai itu belum besar atau itu partai khusus tertentu yang baru bukan partai yang sudah ada yang sudah besar, itu menjadi tidak bisa. Karena dia masih kecil dia baru bisa dapat suara mungkin 2%, 2.5%, jadi akan terhalangi dengan threshold ini apalagi mau ditinggikan," sambungnya.
Menurutnya, hal ini juga dapat memperlambat pertumbuhan atau perubahan negeri. Karena terhalang dengan adanya sistem ambang batas.
"Model seperti ini dengan threshold yang sangat tinggi, itu perubahan politik kita itu semakin sempit. Kalau masyarakat ingin ada perubahan, sudah cape dengan partai-partai yang ada nggak maju-maju negeri ini. Akan sangat sulit dengan sistem ini dia akan terhalangi," tuturnya.
Hadar menilai, ambang batas 4% sudah terbilang tinggi. Menurutnya, parlemen bisa memperhatikan tata pengelolaan berparlemen bila ingin bekerja lebih efektif.
"Ide yang sangat tidak tepat lah, kalau kita mau betul-betul menjadi negara moderen demokrasi yang menghargai betul suara rakyat sekalipun suara itu tidak besar bahwa ide ide yang berangkat dari kecil itu harus dihargai. Menurut saya seharusnya tidak dinaikkan, ya angka yang terakhir 4% itu sudah sangat tinggi menurut saya. Kalau mau cari ide tantang bagaimana supaya parlemen lebih stabil atau bagaimana bekerja bisa lebih efektif, tata mengenai pengelolaan berparlemen itu lebih tepat berfikir kesana," pungkasnya.
Diketahui, Komisi II DPR RI akan merevisi UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Beberapa hal yang akan dikaji adalah soal angka ambang batas parlemen atau parliamentary threshold dari yang saat ini 4%, dinaikkan menjadi 7%.
"Kita mau revisi UU Pemilu. Draf naskah akademi RUU Pemilunya lagi kita sempurnakan," ungkap Wakil Ketua Komisi II DPR, Saan Mustofa dalam perbincangan, Rabu (10/6/2020).
Menurut Saan, ada beberapa alternatif besaran angka ambang batas parlemen yang diajukan dalam draf. Ambang batas parlemen atau parliamentary threshold adalah batas suara minimal partai politik dalam pemilihan umum untuk ikut dalam penentuan perolehan kursi di DPR.
"Kalau di draf-draf itu kita ada 3 alternatif ya. Alternatif pertama ada yang 7% dan berlaku nasional. Alternatif kedua 5% berlaku berjenjang, jadi (DPR) RI 5%, (DPRD) Provinsi-nya 4%, Kabupaten/Kota 3%. Alternatif ketiga tetap 4% tapi provinsi dan kabupaten/kota 0% seperti sekarang," jelas Saan.(dtc)