Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Medanbisnisdaily.com-Jakarta. Pada bulan April 2020 lalu, Presiden Joko Widodo (Jokowi) memperingatkan para menteri Kabinet Indonesia Maju akan ancaman krisis pangan dunia di tengah pandemi virus Corona (COVID-19) seperti yang diprediksi oleh Food and Agriculture Organization (FAO).
Peringatan itu pun langsung direspons para menteri, mulai dari Menteri Pertanian (Mentan) Syahrul Yasin Limpo, Menteri PUPR Basuki Hadi Muljono, Menteri BUMN Erick Thohir, dan Menteri Pertahanan (Menhan) Prabowo Subianto dengan merencanakan pembangunan lumbung pangan nasional (food estate) pertama yang berlokasi di Kalimantan Tengah.
Sementara itu, menurut pengamat pertanian sekaligus Guru Besar Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor (IPB) Dwi Andreas, ancaman krisis pangan dunia itu tidak benar. Ia membeberkan, produksi pangan dunia khususnya kelompok serealia (biji-bijian sumber karbohidrat seperti padi, gandum, dan lain-lain) pada tahun 2019 justru meningkat. Sedangkan, salah satu penyebab utama krisis pangan adalah penurunan produksi komoditas pangan dari tahun sebelumnya.
"Produksi serealia dunia tahun 2019 yang lalu itu mencapai rekor tertingginya 3.000 juta ton serealia. Memang padi sedikit menurun, tapi penurunannya hanya 0,5% dari 499 juta ton ke 496 juta ton. Jadi itu yang terkait produksi. Sehingga produksi pangan dunia tidak terganggu. Karena tahun 2019 ini surplusnya cukup besar, surplus itu mengimbas ke 2020," kata Dwi ketika dihubungi, Sabtu (4/7/2020).
Lalu, Dwi mengatakan krisis itu juga disebabkan oleh melonjaknya harga pangan dunia. Faktanya, harga pangan dunia turun.
"Di bulan Januari itu indeks harga pangan, food price index FAO itu 183, lalu di bulan Mei turun jadi 162. Ketika terjadi krisis pangan dunia tahun 2007-2008, itu indeks harga pangan dunia menyentuh 220. Yang krisis pangan tahun 2011 itu 240. Yang sekarang ini malah turun," terang dia.
Dengan tidak terpenuhinya dua faktor tersebut, maka ia menilai prediksi krisis pangan dunia tidak benar.
"Dua faktor itu sama sekali tidak terpenuhi. Jadi tidak ada alasan, tidak ada dasar bahwa dunia akan mengalami krisis pangan," tegas Dwi.
Dihubungi secara terpisah, Guru Besar Ilmu Ekonomi Insititut Pertanian Bogor (IPB) Hermanto Siregar menilai Indonesia saat ini masih bisa memproduksi komoditas pangan khususnya beras. Ia menilai, ancaman krisis pangan dunia ini kemungkinan besar hanya dirasakan di negara-negara yang memiliki tanah tandus, misalnya Afrika.
"Menurut saya di Indonesia produksi masih ada, masih menghasilkan pangan. Tapi barangkali tidak seoptimal yang biasa. Kalau secara global barangkali negara-negara yang relaitf tandus seperti Afrika ya terpengaruh. Kalau Indonesia satu masih ada produksi pangan," papar Hermanto.
Menurutnya, ancaman pangan yang kemungkinan terjadi di Indonesia ialah penurunan produksi, sehingga ia menyarankan agar lahan-lahan persawahan yang masih belum ditanami, untuk segera ditanami.
"Artinya di daerah mana saja di Indonesia yang masih bisa tanam, dan bisa diatasi kekeringan itu ya harus tanam. Dengan cara itu kemungkinan produksi pangan yang menurun bisa dimitigasi," urainya.
Sementara itu, menurut Pengamat Pertanian dari Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Rusli Abdullah, ancaman krisis pangan FAO yang diperingatkan Jokowi lebih kepada posisi Indonesia yang masih ketergantungan impor atas beberapa komoditas pangan seperti bawang putih, gula, dan gandum.
"Kalau konteks Pak Jokowi itu kan gara-gara Corona. Jadi karena Corona, semua negara lockdown jadi nggak bisa ekspor-impor. Misalnya gula, karena India lockdown jadi kita terlambat. Jadi lebih karena gangguan logistik. Jadi pasokannya ada, hanya logistiknya terganggu," ujarnya ketika dihubungi secara terpisah.
Selain itu, Rusli menilai Indonesia berpotensi mengimpor beras jika produksi di tahun ini tidak mencukupi kebutuhan hingga akhir 2020. Jika impor masih terhambat karena pandemi Corona, maka langkah tepat menurutnya ialah diversifikasi pangan. Sehingga, masyarakat mengurangi ketergantungan akan beras dan mengonsumsi karbohidrat lainnya seperti ubi, singkong, jagung, dan sebagainya.
"Spending masyarakat pada karbohidrat itu 94% untuk beras. Nah ini yang menjadikan bahwa kita harus mengurangi ketergantungan kita terhadap beras. Nah solusinya adalah diversifikasi pangan. Jadi nggak hanya tergantung pada beras, tapi juga ke jagung, ubi jalar, singkong misalnya," pungkas dia.(dtf)