Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Medanbisnisdaily.com-Medan. Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) mengecam berbagai kelompok yang belakangan ini kerap menggelar unjuk rasa menolak RUU Haluan Ideologi Pancasila (HIP). Menurut GMNI, aksi-aksi itu telah ditunggangi kepentingan politis kelompok tertentu. Terutama soal trisila dan ekasila yang dipersoalkan kelompok pendemo.
Menurut GMNI, konsep itu telah dipropaganda dan dipolitisir dengan mengatakannya sebagai produk komunis. Demikian dikatakan Komisaris GMNI Fakultas Hukum Universitas Sumatra Utara, Michael Situmeang kepada medanbisnisdaily.com, Jumat (10/7/2020)
“Menganggap PKI akan bangkit karena tidak dimasukkannya Tap MPRS XXV Tahun 1966 sah-sah saja, namun menuduh trisila dan ekasila Soekarno sebagai produk komunis atau membangkitkan komunis, ialah hal yang sangat fatal karena merupakan pandangan yang keliru dan membelokkan sejarah,” kata Michael.
Untuk dapat memahami trisila dan ekasila, sambung Michael, masyarakat harus membaca risalah sidang BPUPKI terlebih dahulu agar dapat memahami bagaimana sejarah munculnya konsep ini.
Soekarno menjelaskan, dalam sidang BPUPKI bahwa trisila merupakan perasan dari Pancasila. Kala itu, jelas Michael, Soekarno mengatakan "atau barangkali saudara-saudara yang tidak suka akan bilangan lima itu? Saya boleh peras, sehingga tinggal 3 saja yaitu trisila”.
Sekretaris GMNI Fakultas Hukum USU, Berry Sitohang menambahkan, dalam penyusunan trisila, Soekarno mempunyai alasan dan dasar yang kuat serta telah direnungkan puluhan tahun lamanya sebagai konsep dan dasar negara. Namun perlu diperhatikan bahwa penjabaran Bung Karno dalam pidatonya di sidang BPUPKI mengenai trisila, merupakan perasan dan bentuk penjabaran lebih lanjut dari Pancasila agar dapat dan mudah dipahami yang artinya kandungan trisila merupakan kandungan Pancasila juga dalam bentuk yang spesifik.
“Jadi trisila bukan produk komunis. Soekarno telah jauh-jauh hari menegaskan hal itu termasuk dalam bukunya yang berjudul 'Di Bawah Bendera Revolusi' bahwa sosio-nasionalisme dan sosio-demokrasi bukanlah angan-angan komunis," jelas Berry.
Soekarno, kata Berry, memberi contoh Jean Jaures, Dr Sun Yat Sen dan Mahatma Gandhi yang bukan komunis namun sepakat mendudukkan nasionalisme dan demokrasi rakyat.
Politisasi terhadap trisila, kata Berry, menunjukkan minimnya tingkat edukasi dan literasi rakyat Indonesia mengenai sejarah pemikiran tokoh bangsa. Ke depan pemerintah harus memasukkan sejarah pikiran tokoh bangsa terkhusus Soekarno, agar tidak mudah dipelintir dan juga tidak menjadi alat politisasi kekuasaan.