Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
PERHELATAN Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Serentak 2020 yang dijadwalkan pada Desember 2020, di tengah pendemi wabah Covid 19 yang masih belum teratasi, seharusnya menjadi momentum perenungan bagi setiap insan demokrasi dalam menentukan dan memilih model kepemimpinan masa depan. Jika Pilkada dimaknai sebagai eksperesi dari manifestasi demokrasi, seharusnya merupakan ruang eksperimentasi dari hasil refleksi dan berbagai evaluasi penyelenggaran yang telah berlangsung sejak Juni 2005, untuk memutus berbagai macam penodaan demokrasi.
Berbagai persoalan yang berlangsung dalam kurun waktu 15 tahun terakhir, terutama dengan menguatnya proses pelemahan eksistensi demokrasi, terutama praktek politik identitas yang secara psikologis mengarah pada pernyataan intoleran, maraknya isu hoax, money politics, black campaign, yang menjadi pilihan strategi banyak calon kepala daerah selama ini.
Robert A Dahl dalam bukunya "On Democracy" mengemukakkan karakteristik hakekat demokrasi, salah satunya pemilihan yang bebas dan fair. Lalu, Profesor Miriam Budiardjo memaparkan bahwa pemilu yang bebas menjadi ciri demokrasi konstutusional, prinsip yang menjadi dasar dan wajib diterapkan dalam setiap hajatan demokrasi.
Kehilangan Hakikat Demokrasi
Berdasarkan data KPU, pada penyelenggaraan Pilkada Kota Medan 2015, angka pemilih yang menyalurkan suaranya hanya sekitar 25,38%, sedangkan angka golput 74,62 %, sebuah gambaran nyata dari ekspresi ketidakpedulian atau keputusasan warga dalam melihat eksistensi pelaksanaan demokrasi. Persoalan yang paling dominan penyebab menguatnya angka Golput adalah ketidakmampuan partai politik dan calon yang diusung dalam menangkap aspirasi masyarakat, apalagi jika ditambahi dengan tidak adanya ingatan dan alat pertimbangan publik terhadap visi dan misi serta program kerja para pasangan calon.
Jika diperhatikan secara kebiasan partai politik dalam menentukan calon kepala daerah sejauh ini, masih seperti "pasar malam" alias remang remang, yakni menegasikan yang sudah terang dan menerangkan yang gelap, atau bergelap-gelap dalam terang, berterang-terang dalam gelap kalau menggunakan istilah sederhana.
Pasar yang sangat ramai ketika musim Pemilu dan musim Pilkada, tetapi pada masa bekerja untuk menuntaskan janji politik akan sepi bak pasar tanpa pedagang dan pembeli, sehingga menyebabkan hubungan partai politik dengan konstituennya terkesan sangat pragmatis. Maka, tidak heran bagaimana sangat jarang ditemukan atau terbukanya alasan pemilihan pasangan calon karena pertimbangan idieologis atau pragmatis, karena secara praktek akan sulit menemukan perbedaan secara kinerja ideologis antar partai politik.
Padahal, pilihan pasangan calon yang diajukan partai politik sangat bertanggung jawab atas tingkat partisipasi warga dalam memilih di Pemilu maupun Pilkada, karena secara tugas dan fungsi partai politik adalah pihak yang paling berkontribusi dalam penentuan pasangan calon sebagai ruang penampung aspirasi masyarakat, sekaligus proses edukasi politik dan motor penggerak demokrasi.
Belajar dari pelaksanaan Pilkada yang telah terlewati justru sangat subur dengan praktik politik klientisme atau politik patronase dan patrimonialisme, termasuk dominasi politik uang dan premanisme politik berjubah organisasi sebagai strategi untuk memenangi kontestasi demokrasi, dengan memaknai demokrasi sebatas pertarungan menang-menangan, tanpa mempertimbangkan dampak penguatan polarisasi di tengah masyarakat. Praktik penodaan dan kecurangan demokrasi seringkali justru lahir dari kelas menengah ke atas yang sangat memahami demokrasi, dengan memanfaatkan atau bahkan menjerumuskan kalangan kelas bawah yang dengan iming–iming, proyek, uang, jabatan atau rayuan, untuk memenangkan proses “one man, one vote “ dalam kontestasi demokrasi elektoral.
Proses demokrasi yang akan mengakibatkan cacat ketika diperhadapkan pada tujuan demokrasi substansial, yaitu pemenuhan hak-hak rakyat dan menentukan nasibnya sendiri, hingga keterlibatan masyarakat secara langsung dalam memenuhi hak-hak politiknya untuk dapat menentukan nasibnya dan mengawasi pemerintahan dalam menjalankan tugasnya. Karena demokrasi yang dibajak oleh mereka yang sejatinya antidemokrasi, dengan menggunakan issue sektarian untuk mengambil hati konstituen, atau mengatasnamakan kepentingan mayoritas, biasanya atas nama keamanan, maka ketersingungan dan hak kelompok minoritas akan dibiarkan menjadi korban.
BACA JUGA: Pokok Persoalan adalah Praktik Pancasila
Biasanya pembajakan demokrasi seperti diatas akan berkelindan dengan orang-orang berpunya, sehingga Demokrasi hanya akan dimaknai sebagai kompetisi untuk mendulang suara yang di dalamnya popularitas menjadi kunci utama, dan popularitas akan dibangun melalui iklan atau kekuatan uang tanpa keringat kerja politik.
Kualitas demokrasi pun dipertaruhkan ketika relasi politik berubah menjadi transaksi ekonomi belaka. Panggung demokrasi bukan lagi menjadi ruang konsolidasi aspirasi atau konsepsi kolektif (musyawarah dan hikmat kebijaksanaan ), melainkan hiburan seperti Indonesia Idol belaka.
Karena sangat jarang ditemukan proses dinamika pertarungan ide dan gagasan para pasangan calon ditengah masyarakat, sehingga visi dan misi yang menjadi konsepsi dalam menentukan perkembangan dan kesejahteraan daerah, pemenuhan hak sipil warga, mengalami proses internalisasi dimasyarakat sebagai faktor penentu pilihan pemilik suara selaku pemilik mandat yang harus dijalankan pasangan calon.
Mengartikulasi Hakikat Demokrasi
Masyarakat sebagai unsur terpenting, seharusnya diberikan ruang untuk mengartikulasikan makna demokrasi dalam pilkada, sebagai ruang penyampaian mandat sebagian kehidupannya kepada calon yang akan dipilih. Sehingga anggapan bahwa Pilkada yang hanya dipenuhi perseteruan politik tanpa konsepsi yang membuang energi dapat dihindari.
Pilkada sebagai bagian dari instrumen pelaksanaan demokrasi, merupakan proses pergulatan pemikiran, tawaran program, kebijakan sekaligus proses penguatan edukasi tentang hakikat demokrasi yang tidak berhenti pada soal elektroalisme, tetapi sebagai jalan untuk pemenuhan hak dasar warga dan pengembangan daerah oleh pemerintah yang memperoleh mandat dari masyarakat.
David Held mendefinisikan demokrasi sebagai “suatu bentuk pemerintahan di mana, pertentangan monarki dan aristokrasi, rakyatlah yang memerintah”. Begitulah sejatinya demokrasi dilahirkan lalu diperjuangkan, agar rakyat tidak hanya menjadi penonton atas hiruk pikuk kehidupan bernegara, namun diberikan ruang untuk berperan aktif maupun pasif.
====
Penulis Direktur Eksekutif Perhimpunan Suluh Muda Indonesia (SMI)/penggiat HAM dan Demokrasi
===
medanbisnisdaily.com menerima tulisan (opini/artikel) terkait isu-isu aktual masalah ekonomi, politik, hukum, budaya dan lainnya. Tulisan hendaknya ORISINAL, belum pernah dimuat dan TIDAK DIKIRIM ke media lain, disertai dengan lampiran identitas (KTP/SIM), foto (minimal 700 px dalam format JPEG), data diri singkat (dicantumkan di akhir tulisan), nama akun FB dan No HP/WA. Panjang tulisan 4.500-5.500 karakter. Tulisan sebaiknya tidak dikirim dalam bentuk lampiran email, namun langsung dimuat di badan email. Redaksi berhak mengubah judul dan sebagian isi tanpa mengubah makna. Isi artikel sepenuhnya tanggung jawab penulis. Kirimkan tulisan Anda ke: [email protected]