Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Polemik pembahasan Rancangan Undang Undang Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP) selama dua bulan terakhir, telah banyak melahirkan pro-kontra, hingga memunculkan hantu lama komunis yang telah bangkrut. Namun sayangnya bukan menjadi proses diskursus di kalangan publik, namun justru mendorong polarisasi, hingga memunculkan potensi benturan horizontal.
Perdebatan RUU HIP tidak banyak ditarik kepersoalan substansi Pancasila sebagai pandangan hidup atau way of life sebuah bangsa, tetapi lebih cendrung ke persoalan tekstual dengan penafsiran yang sangat kaku, sehingga kita tidak menemukan wajah dialog Pancasila yang terbuka secara teori, kontekstual, hingga esensinya dalam tantangan perkembangan zaman terkini yang semakin maju.
Karena relevansi Pancasila sebagai pandangan hidup, tentunya akan selalu dituntut untuk seiring dengan semangat dan perkembangan zaman. Sebagai nilai dan cara pandang dalam kehidupan yang bergerak sangat dinamis, Pancasila seharusnya tidak dipahami hanya dalam sekadar teks atau tafsir kaku/tunggal, tapi panduan bersifat filosofis yang lahir melalui proses refleksi akal budi, dari realitas sejarah yang membentuk dasar berpikir manusia Indonesia.
Polemik Trisila dan Ekasila
Pidato Ir Soekarno di sidang BPUPKI pada 1 Juni 1945, yang kemudian diperingati sebagai hari lahirnya Pancasila, secara terbuka sebenarnya telah memberikan penjelasan tentang Trisila dan Ekasila, tanpa mengubah substansi dari Pancasila sebagai pandangan hidup yang hendak menjadi ciri dan karaktek mental bangsa Indonesia sepanjang zaman.
Dalam pidatonya, Ir Soekarno menguraikan lima nilai atau azas yang bisa menjadi pemersatu sekaligus pandangan hidup berbangsa (weltanschauung), yakni “Namanya bukan Panca Dharma, tetapi – saya namakan ini dengan petunjuk seorang teman kita ahli bahasa, namanya ialah Panca Sila . Sila artinya azas atau dasar, dan di atas kelima dasar itulah kita mendirikan Negara Indonesia, kekal dan abadi”.
Kemudian yang dilanjutkan dengan opsi lain, jika tak setuju dengan bilangan lima, maka bisa diperas menjadi tiga saja, yakni penggabungan azas kebangsaan dan kemanusiaan (internasionalisme ) menjadi sosio-nasionalisme, sedangkan azas demokrasi atau musyawarah digabungkan dengan keadilan sosial, menjadi sosio-demokrasi, dan azas ketuhanan tetap berdiri sendiri, yang kemudian disebut dengan Trisila.
Penggabungan paham kebangsaan dan kemanusiaan merupakan akumulasi dari kesadaran bahwa nasionalisme yang hendak dibangun, bukanlah merujuk pada nasionalisme Eropa yang agresif, chauvinis, sempit, dan berorientasi imperialistik, yang hanya mengunggulkan bangsa sendiri di hadapan bangsa lain seperti NAZI. Nasionalisme Indonesia adalah berwajah kemanusiaan dan persaudaraan antarbangsa dan manusia tanpa membedakan suku, agama, maupun ras. Seperti yang pernah diungkapkan oleh Mahatma Gandhi, ia berkata," Nasionalismeku adalah perikemanusiaan“. Sebagai dasar penggabungan sila kebangsaan dan kemanusian menjadi dasar dari sosio-nasionalisme.
Sedangkan sosio-demokrasi merupakan refleksi dan kritik terhadap demokrasi barat, yakni demokrasi yang hanya memberi kesetaraan dalam politik, tanpa kesetaraan dalam ekonomi, seperti yang terjadi di Indonesia saat ini. Demokrasi yang memberikan semua orang hak memilih dan dipilih yang sama, one man-one vote. Namun para pemilik uang dan kekuasaan dengan mudah melakukan praktik jual beli suara pemilih, hingga membeli media masssa sebagai sarana propaganda.
Karena itu, demokrasi tanpa distribusi akses dan sumber daya ekonomi yang adil, diyakini tidak akan pernah melahirkan peluang yang sama dalam politik. Secara sederhana demokrasi yang dituju seharusnya mengacu pada peningkatan pemerataan ekonomi, kesejahteraan sosial dan kemajuan kecerdasan umum sebagai pondasi. Karena hanya dengan terwujudnya peluang dan kekuatan yang samalah demokrasi menemukan kesehatannya.
Salah satu frasa yang menjadi pokok permasalahan dalam RUU HIP adalah “Ketuhanan yang Berkebudayaan“, yang dianggap akan membawa semangat sekulerisme, hingga menghilangkan makna “Ketuhanan Yang Maha Esa“. Padahal menurut Bung Karno dalam pidatonya, berkebudayaan yang dimaksud adalah sikap saling menghormati antarsesama penganut agama dan keyakinan, tanpa mengedepankan egoisme agama dalam menyampaikan aspirasi keagamaan, apalagi menggunakan paksaan hingga teror yang merusak keadabaan, karena Indonesia lahir dari keberagaman agama dan keyakinan.
Sedangkan ekasila, yaitu gotong royong adalah nilai dalam bentuk praksis atau praktik dalam kehidupan sehari-hari yang mewakili kelima sila Pancasila, yang memiliki esensi pembantingan-tulang bersama, pemerasan-keringat bersama, perjuangan bantu-binantu bersama. Amal semua buat kepentingan semua, keringat semua buat kebahagiaan semua. Pemahaman gotong-royong bukan sekadar kerja bersama, tetapi merupakan “amal” dalam konteks agama yang merupakan perbuatan baik, sebagai perwujudan praktik pengakuan akan perintah nilai ketuhanan dan ajaran semua agama.
Prakatik Pamcasila
Melihat proses pidato dan tiga pilihan yang saling terkait, dan tanpa menghilangkan makna satu dengan yang lainnya, di mana para peserta Sidang BPUPKI akhirnya lebih memilih Pancasila, bukan Trisila atau Ekasila, sebagai kesepakatan bersama sebagai nilai atau pandangan hidup yang mempersatukan semua pihak dan golongan dengan segala keberagamannya.
Maka seharusnya RUU HIP tidak perlu menyebut Trisila dan Ekasila sebagai ciri pokok, karena Bung Karno sendiri menyebutnya merupakan hasil perasan/memeras, yakni penyederhanaan secara simbolik tanpa menghilangkan makna, yang seolah lebih tinggi atau lebih utama daripada Pancasila. Maka ketika ada kata “ciri pokok” dalam RUU HIP justru mengesankan Trisila dan Ekasila menjadi lebih pokok dari lima sila Pancasila itu sendiri.
Karena persoalan pokok saat ini adalah praktik kebijakan penyelenggaraan negara yang belum mencapai demokratisasi di lapangan ekonomi dan sosial-budaya sebagai panduan Pancasila, termasuk kondisi masyarakat yang seperti kehilangan pegangan cara hidup berbangsa. Hal ini terlihat dari meluasnya praktik kekerasan, diskriminasi, menguatnya fundamentalisme dan etnonasionalisme.
Kekuatan Pancasila hingga saat ini adalah nilai filosofis yang sangat universal dan bisa diterima oleh hampir semua pihak dan golongan sebagai tujuan atau panduan hidup bersama. Bahkan Bung Karno sendiri berani menawarkan Pancasila pada dunia lewat pidato di Sidang Umum PBB tahun 1960, karena nilai-nilainya yang sangat universal,
Namun di Indonesia sendiri Pancasila belum menyentuh level kognitif, yang hadir dalam pola kehidupan, cara berbicara, cara berpikir dan cara bertindak. Pancasila dominan terhenti pada tingkat visi, simbolik, bahkan mungkin sekadar embel-embel atau bahan pidato.
===
Penulis Direktur Eksekutif Perhimpunan Suluh Muda Indonesia (SMI)/penggiat HAM dan Demokrasi
===
medanbisnisdaily.com menerima tulisan (opini/artikel) terkait isu-isu aktual masalah ekonomi, politik, hukum, budaya dan lainnya. Tulisan hendaknya ORISINAL, belum pernah dimuat dan TIDAK DIKIRIM ke media lain, disertai dengan lampiran identitas (KTP/SIM), foto (minimal 700 px dalam format JPEG), data diri singkat (dicantumkan di akhir tulisan), nama akun FB dan No HP/WA. Panjang tulisan 4.500-5.500 karakter. Tulisan sebaiknya tidak dikirim dalam bentuk lampiran email, namun langsung dimuat di badan email. Redaksi berhak mengubah judul dan sebagian isi tanpa mengubah makna. Isi artikel sepenuhnya tanggung jawab penulis. Kirimkan tulisan Anda ke: [email protected]