Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Medanbisnisdaily.com-Medan. Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) pada tahun ini diramaikan dengan “gerakan kotak kosong”, dan ini terjadi dibeberapa daerah di Indonesia, seperti di Pulau Jawa, Kalimantan, Papua, Sulawesi serta Sumatera Utara (Sumut). Tren munculnya calon tunggal mengalami peningkatan. Pada Pilkada 2015, calon tunggal ada di tiga daerah dan jumlah ini naik menjadi 9 daerah pada tahun 2017, 16 daerah tahun 2018, dan menjadi 27 daerah pada tahun 2020.
Gerakan kotak kosong ini muncul karena adanya calon tunggal. Munculnya calon tunggal bisa disebabkan beberapa hal, seperti syarat mencalonkan yang berat, baik dari jalur partai maupun perseorangan. Undang-undang No. 10 Tahun 2016 tentang Pilkada mensyaratkan partai atau gabungan partai bisa mengusung pasangan calon jika memiliki minimal 20% kursi DPRD.
Sedangkan calon perseorangan wajib mengumpulkan dukungan antara 6,5%-10% dari jumlah masyarakat yang tercatat dalam daftar pemilih tetap (DPT). Atau mungkin saja karena faktor lain, seperti yang terjadi di Kabupaten Humbang Hasundutan, Sumut. Seorang calon memborong semua partai pemilik kursi di DPRD daerah tersebut. Munculnya calon tunggal seperti halnya di Kabupaten Humbang Hasundutan, tentu menjadi fenomena baru sekaligus pertanyaan besar bagi masyarakat.
Pemerhati politik, Dr Ir Hotden L. Nainggolan MSi, menilai, proses kaderisasi di partai politik tidak berjalan dengan baik, sehingga partai politik tidak percaya diri untuk mencalonlan kadernya, atau partai politik pemilik kursi tidak mau capek, dan mau tenang-tenang saja. Dan bisa saja partai politik, enggan mengeluarkan tenaga dan ongkos untuk memperjuangkan kader sendiri sebagai calon kepala daerah yang mungkin saja memiliki kemampuan leadership dan manajemen yang lebih mumpuni.
"Koalisi partai politik yang mengusung satu calon yang sama, hanya didasari hasrat untuk berkuasa, bukan didasari visi dan misi bekerja untuk kemajuan masyarakat, hal ini tentu akan tidak baik bagi proses pembangunan. Dengan demikian secara pragmatis partai-partai tersebut hanya ingin menang pemilu dan mengabaikan proses kaderisasi berdasarkan merit system ujar Hotden dalam keterangannya, Minggu (20/9/2020).
Hotden mengatakan, pilkada calon tunggal tentu akan memberikan banyak dampak, salah satunya karena tidak adanya calon alternatif, maka tentunya tidak ada debat publik atau adu program kerja dan adu visi misi dan dengan demikian pemilih tidak memiliki calon pembanding yang menawarkan konsep pembangunan terbaik bagi masyarakat.
"Selain itu, jika calon tunggal itu memenangkan pilkada, maka tidak tertutup kemungkinan koalisi pengusung calon tunggal berpotensi kongkalikong antara eksekutif dan legislatif, maka fungsi pengawasan akan tersumbat dan sudah pasti tidak akan berjalan dan hanya akan menghabis-habiskan APBD saja," tutur pengajar di Universitas HKBP Nommensen Medan ini.
Kecenderungannya, ujar Hotden, koalisi yang terbangun akan bersikap pragmatis. Berkoalisi bukanlah berdasarkan kesamaan visi misi dan ideologi untuk membangun dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat, tetapi berdasarkan kepentingan bagi-bagi kue, dan sudah tentu hal ini akan sangat berdampak buruk bagi pembangunan ekonomi suatu wilayah.
Alumnus Doktor Perencanaan Wilayah Universitas Sumatera ini mengatakan, calon tunggal dalam pilkada seperti halnya di Kabupaten Humbang Hasundutan tidak harus dipilih di dalam bilik suara, namun jangan golput. Perlawanan dapat dilakukan secara konstitusional atas kehadiran calon tunggal, pemilih dapat mencoblos kolom kosong di dalam surat suara.
Pasal 54 c ayat (2) UU Nomor 10 Tahun 2016 juga mengatur bahwa pemilihan dengan satu pasangan calon dilaksanakan dengan menggunakan surat suara yang memuat dua kolom yang terdiri atas satu kolom yang memuat foto pasangan calon dan satu kolom kosong yang tidak bergambar.
"Nah, artinya memilih kotak kosong tentu bukan perbuatan terlarang, bahkan penyelenggara pemilu juga harus ikut mensosialisasikan kotak kosong tersebut. Komisi Pemilihan Umum (KPU) daerah juga perlu mempromosikan kotak kosong lewat kampanye yang mereka fasilitasi melalui APBD. Seperti saat penyebaran alat peraga dan kampanye di media massa. Intinya pelaksanaan Pilkada dengan calon tunggal dan kotak kosong perlu disosialisasikan dengan baik kepada masyarakat pemilih agar mereka mengetahui bahwa mereka masih punya ekspresi politik yang berbeda selain daripada calon tunggal yang dijamin oleh undang-undang," jelas Hotden.