Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Di bulan Oktober hingga November, selain akan menjadi peringatan Bulan Bahasa, kita juga akan menjalani bulan-bulan menuju pesta besar demokrasi, yaitu Pilkada Serentak 2020. Sebuah pesta yang tampaknya akan dirayakan dengan meriah, penuh suka cita meskipun di tengah wabah pandemi. Namun di saat bbersamaan, ktober hingga November akan jadi bulan yang melelahkan bagi kandidat dan tim pemenangan yang terlibat. Sebagaimana diketahui bahwa dalam sebuah kompetesi harus melahirkan pemenang dengan berbagai ikhtiar merebut hati pemilih, salah satunya dengan bahasa.
Digulirkannya masa kampanye di Pilkada Serentak 2020 sudah semestinya diakui bersama akan memberi sumbangan nyata klaster smbaru Covid-19. Jika ingin mengetahui lebih detail kondisinya, jika kita melihat data pemerintah pusat yang disediakan melalui website Gugus Tugas dan data dari pemerintah daerah, angkanya masih meningkat. Pilkada, mau tidak mau harus diakui keberadaannya, tidak bisa dikesampingkan. Namun, yang juga tidak bisa dipungkiri, sejauh ini, Pilkada memiliki dunianya dalam menentukan keberhasilan pembangunan dengan lahirnya kepemimpinan. Artinya, apa yang ada dari hasil pilkada, sejatinya, adalah representasi masyarakat. Untuk itu, dibutuhkan proses-proses politik yang mengedukasi dan sarat literasi, sesuatu yang tampaknya absen di sekitaran pesta politik ini.
Sederhananya, misal begini: bulan politik (Oktober-November) akan identik dengan kampanye, turun langsung ke masyarakat maupun propoganda di dunia maya. Sejauh ini, para pegiat kampanye yang masuk dalam tim pemenangan kandidat belum terlalu paham tentang politik literasi yang seyogyanya dibangun sejak dini, terlebih lagi di masa pandemi. Keterbatasan ruang gerak harus disikapi sebagai hal positif pada momentum pilkada di masa pandemi ini. Even terbuka sebagai bagian puncak kampanye di kompetisi pemilu harus berpindah pada literasi-literasi di media sosial untuk mengiring opini dalam memenangkan pertarungan.
Namun, apakah hal demikian dipahami para peserta pilkada di dunia politik? Sebenarnya, jika mau jujur, dunia politik dekat dengan bahasa, lebih dekat dengan dunia literasi. Contohnya begini: Coba simak saja, dalam kehidupan perpolitikan zaman kepemimpinan era Soekarno, literasi adalah syarat minimal dari keberlangsung politik di masa itu. Di zamannya, segala sesuatu yang berhubungan dengan kegiatan-kegiatan literasi, seperti membaca, menulis, mendengar, menyimak, menyaksikan, merangkum, menelaah, berdiskusi, berdialektika, berpendapat, bercerita menjadi sebuah sesuatu yang niscaya. Narasi-narasi yang beredar di zaman itu memiliki bobot dan punya landasan yang bersandar pada kegiatan-kegiatan literasi di muka.
Setiap hari seharusnya politisi melakukan demikian. Pagi, siang, sore, malam. Artinya, literasi menjadi laku kebiasaan, berkelanjutan, simultan, berksinambungan yang tak kan berhenti. Apakah dunia politik hari ini mengesampingkan literasi? Mungkin tidak seluruhnya, tetapi, bisa kita lihat beredar di ruang publik, tampaknya kegiatan-kegiatan semacam itu tengggelam bersama narasi-narasi yang bersifat frontal, ad hominem, sentimen. Narasi-narasi yang disandarkan pada argumentasi yang ketat dan dapat dipertanggungjawabkan menjadi terpinggirkan.
Lalu mengapa dunia literasi politik dikesampingkan? Seolah tidak memiliki kontribusi? Khususnya di Pilkada Kota Medan ini? Mungkin seakan dipandang sebelah mata. Ini persoalan yang harus dibedah dengan kejujuran. Apakah keacuhan di luar kaum politisi, literasi itu dilakukan? Saya katakan tidak! Salah sekali jika demikian.
Apakah di sini, para politisi lokal peduli terhadap literasi hari ini, literasi yang berkebudayaan? Hari ini, literasi Politik dikesampingkan. Seolah dipandang tidak memberikan kontribusi, dianggap tidak mampu mendongkrak suara, dll., dll. Sangat menyebalkan, sangat-sangat menyebalkan. Maka dari itu, kerap kali saya katakan, literasi yang ada di Pemilukada Kota Medan itu Klangenan, atau literasi yang tak berbobot. Membangun Kota Medan dengan narasi Medan Berkah versus Medan Cantik tak memberikan penjelasan konkrit terhadap masalah yang dihadapi masyarakat di kota ini.
Mengapa politik literasi seolah enggan diajak untuk mencerdaskan? Yang justru sepi dari gemuruh gemerlap dunia politik. Persoalannya satu, tidak punya akses luas dengan para elit yang punya kuasa terhadap keputusan, bagaimana strategi menjalan politik yang berdasarkan literasi, yang muaranya tak lain mencerdaskan pemilih dan meminimalisir hoaks yang sekarang banyak bertaburan. Tidak ada yang peduli. Tidak ada yang memberitakan. Tidak ada yang membisikkan. Tidak punya koneksi. dunia politik, juga memiliki budaya. Politik, lagi-lagi saya katakan, memiliki khasanah yang beragam. Khasanah yang unik, klasik, dan mengagumkan bagi yang menjalankannya.
Framing, tagline, hastag, short movie, dll adalah cara bagaimana seni literasi dalam politik dilangsungkan di dunia politik. Seni literasi ini, sepemahaman penulis, tidak diajak untuk sekadar tampil di luar politik praktis. Lagi-lagi mereka abai, bahkan, yang berada di dalam lembaga parpol sendiri, kadang mengalami kebingungan. Artinya, menggerakkan potensi yang ada di internal, masih kurang maksimal, sehingga gagal menghemoni pemilih.
Politik identik dengan kompetisi. Sudah diketahui, dalam politik memiliki tujuan untuk merebut dan mempertahankan kekuasaan, seharusnya hulunya harus ada lesbumi yang fokus pada pendidikan politik, yakni literasi politik.
Semangat toleransi sebagai salah satu bagian dari literasi kebudayaan, khususnya dalam membangun Kota Medan harus digencarkan terus menerus. Sebab membangun kota berarti membangun identitas. Lebih lagi, jika yang diurusi adalah kota Medan, yang punya banyak masalah. Pemimpin Kota ini tidak boleh kedip sebelah mata terhadap kota ini sebagai kota yang memiliki literasi yang berkebudayaan.
Semestinya, bulan kampanye yang dirayakan pada Oktober-November yang juga menjadi bulan Bahasa harusnya dapat dirayakan dengan spirit literasi Politik agar lebih bergairah. Sebab, berada pada bulan yang merayakan momen 2 momen yang semarak harus dijadikan momentum memadupadankan Politik dan Literasi. Bagi saya, ini kebetulan yang tidak kebetulan. Artinya, ini adalah tanda bahwa, literasi Politik harus lebih disengkuyung. Seni budaya Politik harus kembali bergairah pada kegiatan-kegiatan lietarasi: kembali membaca buku, balik pada tradisi diskusi, membiasakan menulis. Melupakan hal-hal ini dalam politik bisa-bisa menjadi su'ul adab dalam membangun peradaban.
====
Penulis adalah Dosen di Prodi Ilmu Politik Fisip Universitas Sumatera Utara.
====
medanbisnisdaily.com menerima tulisan (opini/artikel) terkait isu-isu aktual masalah ekonomi, politik, hukum, budaya dan lainnya. Tulisan hendaknya ORISINAL, belum pernah dimuat dan TIDAK DIKIRIM ke media lain, disertai dengan lampiran identitas (KTP/SIM), foto (minimal 700 px dalam format JPEG), data diri singkat (dicantumkan di akhir tulisan), nama akun FB dan No HP/WA. Panjang tulisan 4.500-5.500 karakter. Tulisan sebaiknya tidak dikirim dalam bentuk lampiran email, namun langsung dimuat di badan email. Redaksi berhak mengubah judul dan sebagian isi tanpa mengubah makna. Isi artikel sepenuhnya tanggung jawab penulis. Kirimkan tulisan Anda ke: [email protected]