Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Perkembangan zaman yang semakin canggih memudahkan manusia untuk mengakses informasi secara cepat. Informasi tersebut diperoleh baik itu melalui media elektronik, media massa maupun yang didapat dari media sosial. Penggunaan HP, android maupun teknologi lainnya bukan barang baru lagi, tetapi sudah merupakan kebutuhan. Khususnya bagi generasi muda atau disebut generasi zaman now (milenial).
Selain berdampak positif, makin maraknya HP dan andoid juga membawa dampak negatif. Mereka jadi malas untuk membaca (literasi). Jika ada tugas (PR) tinggal membuka google. Lengkap sudah apa yang akan dicari. Semua sudah tersedia di google. Fenomena inilah yang sekarang menghantui generasi muda kita. Belum lagi aplikasi game on line yang menyita waktu mereka di depan HP maupun android. Haruskah hal ini kita biarkan? Bagaimana kemampuan membaca mereka? Kapan waktu mereka untuk berliterasi?
Beberapa pertanyaan di atas harus kita jawab dan mencarikan solusi yang tepat mengatasi permesalahan tersebut. Peran orang tua, sekolah, masyarakat bahkan pemerintah perlu diberdayakan untuk menggiatkan literasi ini. Education Development Center (EDC) menyatakan bahwa literasi lebih dari sekadar kemampuan membaca dan menulis, namun lebih dari itu, literasi adalah kemampuan individu untuk menggunakan segenap potensi dan kemampuan yang dimiliki dalam hidupnya. Jadi dapat dipahami secara sederhana bahwa literasi mencakup kemampuan membaca kata dan membaca dunia.
Rendahnya Budaya Literasi
Data UNESCO menyebutkan bahwa ada sekitar 750 juta orang dewasa di dunia yang belum memiliki kemampuan membaca walaupun secara mendasar. Sementara itu sebanyak 264 juta anak dan remaja tidak mendapat manfaat dari pendidikan di sekolah. Sedangkan di Indonesia capaian tahun 2016 berdasarkan data yang dihimpun dari Badan Pusat Statistik (BPS) serta Pusat Data dan Statistik Pendidikan dan Kebudayaan Kemendikbud, penduduk Indonesia yang telah berhasil diberaksarakan mencapai 97,93%, atau tinggal sekitar 2,07% (3,4 juta orang).
Berdasarkan studi Most Littered Nation In the Word yang dilakukan oleh Central Connecticut State Univesity pada Maret 2016, Indonesia dinyatakan menduduki peringkat ke-60 dari 61 negara soal minat membaca. Indonesia tepat berada di bawah Thailand yang berada di peringkat ke-59 dan di atas Bostwana yang berada di peringkat ke-61. Padahal, dari segi penilaian infrastruktur untuk mendukung membaca, peringkat Indonesia berada di atas negara-negara Eropa. Penilaian berdasarkan komponen infrastruktur indonesia ada di urutan ke-34 di atas Jerman, Portugal, Selandia Baru dan Korea Selatan.
BACA JUGA: Revitalisasi Pendidikan Karakter di Sekolah
Sedangkan angka buta aksara usia 15-59 tahun di Indonesia dilihat dari masing-masing provinsi masih terdapat 11 provinsi memiliki angka buta huruf di atas angka nasional, yaitu Papua (28,75 persen), NTB (7,91 persen), NTT (5,15 persen), Sulawesi Barat (4,58 persen), Kalimantan Barat (4,50 peren), Sulawesi Selatan (4,49 persen), Bali (3,57 persen), Jawa Timur (3,47 persen), Kalimantan Utara (2,90 persen), Sulawesi Tenggara (2,74 persen), dan Jawa Tengah (2,20 persen).
Berdasarkan data di atas bagaimana kita dapat membangun budaya literasi sehingga masyarakat yang buta huruf dapat diminimalisir sekecil mungkin. Mendirikan rumah baca, membuat sanggar-sanggar baca adalah salah satu solusi mengatasi rendahnya minat baca pada generasi muda kita. Tetap kita gunakan semboyan “Buku adalah Jendela Dunia” untuk menggairahkan mniat membaca tersebut. Khususnya ditengah derasnya penggunaan dunia digital.
Membangun Budaya Literasi
Menurut data UNESCO, anak-anak Eropa menamatkan 25 buku per tahun, sedangkan Indonesia? Mencapai titik terendah, 0 persen! Tepatnya, 0,001 persen. Artinya, hanya satu dari 1.000 orang yang menamatkan satu buku, per tahun. Satu hal yang sama sekali tidak membanggakan.
Menurut data dari The Organization for Economic Co-operation and Development (OECD), budaya membaca masyarakat Indonesia berada di peringkat terendah di antara 52 negara di Asia. Bagaimana membangun budaya membaca (literasi ) di era digital saat ini? Hampir semua orang selalu menyalahkan teknologi sebagai penyebab anak tidak mau membaca, apalagi menulis. Apakah memang seperti itu kondisinya? Teknologi tidak sepenuhnya menjadi penyebab rendahnya literasi di Indonesia. Beberapa penyebab lainnya antara lain belum terbiasa, belum termotivasi, dan sarana yang minim. Akan tetapi, hal tersebut semestinya tidak menjadi persoalan jika diimbangi dengan usaha untuk membangun budaya literasi.
Menumbuhkan kesadaran membaca dapat dimulai dari keluarga. Misalnya, orang tua menyediakan buku bacaan di rumah. Hal tersebut tentu saja diimbangi dengan kerelaanorang tua menyisihkan uang untuk membeli buku. Di sinilah peran orang tua sangat diperlukan untuk membangun budaya literasi.
Penutup
Untuk membangun budaya literasi diperlukan beberapa langkah kongkrit yaitu; menumbuhkan kesadaran pentingnya membaca, membudayakan membaca di sekolah, mengoptimalkan peran perpustakaan, membentuk komunitas baca. Untuk menggairahkan program literasi ini tentu diperlukan kerjasama semua elemen. baik itu pemerintah, dinas terkait, sekolah, guru maupun masyarakat.Selain itu, gerakan literasi ini harus dimulai dari keluarga, sekolah sampai lingkup yang lebih besar. Semoga generasi muda kita yang terdiri dari siswa maupun mahasiswa benar- benar mampu berliterasi di tengah arus modernisasi saat ini. Semoga!
====
Penulis Guru di SMA Negeri 1 Dolok Batu Nanggar, Kabupaten Simalungun, Sumatra Utara.
====
medanbisnisdaily.com menerima tulisan (opini/artikel) terkait isu-isu aktual masalah ekonomi, politik, hukum, budaya dan lainnya. Tulisan hendaknya ORISINAL, belum pernah dimuat dan TIDAK DIKIRIM ke media lain, disertai dengan lampiran identitas (KTP/SIM), foto (minimal 700 px dalam format JPEG), data diri singkat/profesi/kegiatan (dicantumkan di akhir tulisan), nama akun FB dan No HP/WA. Panjang tulisan 4.500-5.500 karakter. Gunakan kalimat-kalimat yang singkat ( 3-5 kalimat setiap paragraph). Judul opini/artikel dijadikan sebagai SUBJEK email. Tulisan TIDAK DIKIRIM DALAM BENTUK LAMPIRAN EMAIL, namun langsung dimuat di BADAN EMAIL. Redaksi berhak mengubah judul dan sebagian isi tanpa mengubah makna. Isi artikel sepenuhnya tanggung jawab penulis. Kirimkan tulisan Anda ke: [email protected]