Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Agaknya, carut-marut persoalan kebangsaan menjadi pergunjingan banyak pihak beberapa hari terakhir. Ya, kita semua tahu kasusnya. Ada bom yang meledak. Ada pula pelor peluru yang muntah dari sebuah pistol milik seorang wanita belia waktu menyerang salah satu kantor kepolisian. Membuat kita semua geleng-geleng kepala waktu menyaksikannya. Nyaris seperti film-film action di TV. Menegangkan!
Untuk kehidupan nyata, adegan saling menyerang dan membenci seperti itu pastilah tidak diharapkan banyak pihak. Meski soal disintegrasi kebangsaan menjadi problematika yang tiada habisnya, bukan berarti harapan agar terciptanya kohesi sosial tidak muncul dari dalam sanubari mayoritas rakyat Indonesia.
Membahas soal upaya untuk bersatu sebagai bangsa dalam bingkai NKRI, penulis jadi teringat dengan sebuah surat cinta absurd milik sepupu penulis. Sebut saja namanya si X. Surat cintanya, tidak sengaja penulis temukan di salah satu lembaran buku. Tinggal di salah satu lemari tua, tempat penulis tinggal saat ini.
Tulisan ini, menurut pengakuan si X, telah dibuatnya sekitar 3-4 tahun yang lalu. Namun batal diberikan kepada perempuan yang dicintainya. Waktu menemukan surat itu, bergegas penulis menghubungi si X dan berdiskusi dengannya soal isi surat itu via telpon haha. Reaksi pertama, yang dilontarkannya waktu mengetahui keberadaan surat itu, membuat sepupu penulis tertawa tak karuan. Dia baru ingat, pernah menuliskan sebuah surat cinta untuk seorang wanita yang dia kasihi, sebut saja namanya si L.
Dari surat yang penulis baca, sepupu penulis menggambarkan bahwa si L tampaknya terlalu menuntut agar si X berperilaku romantis kepadanya, dengan membanding-bandingkannya dengan karakter pria lain yang lebih baik dari si X. Alih-alih memgubah perilakunya, si X lebih memilih untuk mengakhiri hubungannya dengan si L karena merasa tersakiti. Akhirnya, hubungan mereka berakhir, meski si X, sepupu penulis itu masih menyayangi si L.
Kira-kira, begitulah gambaran singkat kisah di antara mereka, nyaris tak jauh berbeda dengan kisah-kisah romansa remaja saat ini. Paling tidak, dari surat cinta itu, terdapat kandungan pesan moril yang bisa dipelajari di dalam merajut hubungan dalam bermasyarakat kini, yakni upaya untuk saling pengertian.
Jika kita cermati ulang kisahnya, Si X tentu perlu memahami apa maksud permintaan si L, yang memintanya agar berperilaku lebih baik layaknya seorang pria dan, si L juga perlu memahami, apa yang dipahami/di rasakan si X. Nah, dari analogi surat cinta ini, jika dikaitkan dengan rumitnya persoalan kebangsaan kita tentu akan sangat berbeda dari segi kualitas dan kuantitasnya. Namun demikian, ada pembelajaran sederhana yang bisa diadopsi di dalam membangun relasi sosial dalam konteks yang lebih luas. Bahwa, di dalam interaksi dua pihak, tentu diharapkan adanya saling pengertian. Dan saling pengertian tentu bisa muncul jika terjadi komunikasi dua arah, dari masing-masing anggota yang sedang berselisih. Berarti, konflik masyarakat bisa ditangani melalui resolusi konflik, dengan memperbaiki interaksi di antar masyarakat. Terlepas dari adanya mediator atau tidak, kunci di dalam penanganan konflik adalah memperbaiki komunikasi/interaksi di tengah-tengah masyarakat.
Memang jika dicermati, biasanya pelaku-pelaku radikalisme acapkali bermunculan dari pihak-pihak yang terdoktrinasi paham ekstrem. Dan pelakunya cenderung menyendiri, jauh dari komunitas sekitar. Tertutup. Tidak terbuka/jarang berbaur dengan masyarakat setempat. Disinilah lingkungan ataupun masyarakat perlu bergerak aktif. Untuk, saling mengenal satu sama lain, saling berbaur di dalam kegiatan kemasyarakatan, saling melibatkan satu-sama lain, sehingga muncul sense of belonging antarmasyarakat setempat.
BACA JUGA: Post-Truth, Peran Mahasiswa dan Kliktivisme
Perilaku radikal memang menjadi masalah krusial saat ini, di tengah maraknya penyebaran ideologi transnasional (populis kanan) sebagai konsekuensi negatif era digitalisasi. Belum lagi, faktor COVID-19, yang mereduksi mobilisasi, sehingga interaksi antarmasyarakat menjadi sangat sulit terjadi. Karena itu, sektor hulu Kemenkominfo harus terus didukung untuk mendeteksi website, medsos, serta jaringan di dalam rekrutmen ideologi ekstremisme yang terus menjamur. Tak ketinggalan di sektor hilir, pemerintah setempat dan masyarakat harus saling menjaga, mengenal dan berinteraksi satu sama lain, dengan demikian doktrinasi radikal perlahan menguap seiring adanya pengenalan terhadap kemajemukan. Untuk konteks COVID-19, tentu dengan tambahan protokol kesehatan di dalam merajut agenda bersama untuk saling berinteraksi satu sama lain.
Nah, yang paling penting adalah sikap tenggang rasa, sebagaimana yang penulis sebutkan sebelumnya; saling pengertian satu-sama lain. Bersikap romantis, istilah anak-anak muda zaman now. Romantis di sini, bukan berarti layaknya filsafat Friedrich Schlegel di dalam novelnya berjudul “Lucinde” yang menyebutkan bahwa relasi manusia akan baik jika terjalin melalui nafsu/keinginan/hasrat yang tak terkendali antara maskulin dan feminim. Tentu, defenisi Schlegel telah masuk ke dalam paham ekstrem lainnya, dan sangat berbahaya dan dapat memanifestasikan kembali disintegrasi masyarakat lewat perilaku imoral.
Defenisi tenggang rasa, saling pengertian ataupun bertindak romantis, menurut hemat penulis, sangat indah dipaparkan di dalam buku suci kehidupan, tulisan Rasul Paulus di 1 Korintus 13:4-7; Paulus menuliskan bahwa, “Kasih itu sabar; kasih itu murah hati; ia tidak cemburu. Ia tidak memegahkan diri dan tidak sombong. Ia tidak melakukan yang tidak sopan dan tidak mencari keuntungan diri sendiri. Ia tidak pemarah dan tidak menyimpan kesalahan orang lain. Ia tidak bersukacita karena ketidakadilan, tetapi ia bersukacita karena kebenaran. Ia menutupi segala sesuatu, percaya segala sesuatu, mengharapkan segala sesuatu, sabar menanggung segala sesuatu.”
Dengan bertindak kasih, maka hasrat untuk saling membenci sirna, kohesi sosial terbangun, semangat untuk saling menghargai di tengah kemajemukan muncul. Dengan demikian, besar harapan agar budaya apatisme, radikalisme dan ekstremisme bisa tergerus di dalam relasi masyarakat yang saling inisiatif mengasihi, dan bergerak progresif di dalam memenuhi kepentingan kolektif untuk Indonesia yang lebih baik ke depan. Semoga!
====
Penulis seorang pujangga. Tinggal di Samosir, Sumatera Utara.
====
medanbisnisdaily.com menerima tulisan (opini/artikel/surat pembaca) terkait isu-isu aktual masalah ekonomi, politik, hukum, budaya dan lainnya. Tulisan hendaknya ORISINAL, belum pernah dimuat dan TIDAK DIKIRIM ke media lain, disertai dengan lampiran identitas (KTP/SIM), foto (minimal 700 px dalam format JPEG), data diri singkat/profesi/kegiatan (dicantumkan di akhir tulisan), nama akun FB dan No HP/WA. Panjang tulisan 4.500-5.500 karakter (surat pembaca maksimal 2.000 karakter). Gunakan kalimat-kalimat yang singkat (3-5 kalimat setiap paragraf). Judul artikel/surat pembaca dibuat menjadi subjek email. Tulisan TIDAK DIKIRIM DALAM BENTUK LAMPIRAN EMAIL, namun langsung dimuat di BADAN EMAIL. Redaksi berhak mengubah judul dan sebagian isi tanpa mengubah makna. Isi artikel/surat pembaca sepenuhnya tanggung jawab penulis. Kirimkan tulisan/surat pembaca Anda ke: [email protected]