Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
DENGAN niat suci mengisi masa pengangguran selama pandemi, saya sempat membaca salah satu postingan yang bernarasi "gelombang 18 telah dibuka! Segara ikut seleksi di www.prakerja.go.id".
Postingan-postingan yang memberikan peluang penghasilan semacam itu selalu membuat saya tergoda. Gimana tidak? Di tengah pandemi sekarang informasi-informasi yang berkaitan dengan uang sangat cepat saya respon. Meskipun ujung-ujungnya informasi yang saya terima adalah hoax.
Memang, saya jenis manusia yang mudah tergiur kepada peluang penghasilan. Boleh, kan? Sayangnya, ketika saya cepat terpengaruh terhadap postingan tersebut dan langsung mengakses situs prakerja dangan harapan dapat mengikuti seleksi. Dan akhirnya saya merasa kecewa karena informasi yang tertera pada akun tersebut tidak benar. Setelah saya telusuri postingan tersebut ternyata itu hoax belaka.
Saya langsung sebal, dan tiba-tiba melihat kembali postingan yang telah di posting itu sebagai informasi bohong. Di saat yang sama saya lupa bahwa problemnya bukan pada tulisan tersebut atau pada postingannya, melainkan pada penulis atau pemostingnya.
Bagi saya, itu memang meresahkan. Bukan karena saya cepat terpengaruh atau termakan informasi tersebut, tetapi agaknya lebih karena rendahnya budaya literasi saya.
Memang, saya orang yang sejak kecil tidak sangat suka dengan literasi. Lebih banyak bermain daripada belajarnya, lebih senang berleha-leha daripada membaca buku. Memang itu bukan jenis yang bandel-bandel amat sih, tapi tetap saja tak bisa memanfaatkan waktu dengan baik. Yang ada tak bisa menjalani waktu tanpa gadget di tangan.
Kasus-kasus berita hoax yang beredar di media sosial ini bukan hanya sekali terjadi tetapi kerap terjadi. Apalagi di masa pandemi Covid-19 sekarang. Memasuki era teknologi sekarang masyarakat awam, opini mewakili apa yang ia sepakati dari sebuah isu tanpa disadari.
Ilustrasi sederhananya begini, misalkan pemerintah menurunkan sebuah kebijakan agar berdiam diri di rumah selama pandemi Covid-19. Kebijakan tersebut secara objektif memiliki dasar kepentingan umum demi memutus mata rantai virus Covid-19. Masalahnya, kebijakan yang dibuat tersebut pada level tertentu saja yang mengakibatkan beberapa oknum yang memiliki kepentingan tertentu mengkritiknya habis.
BACA JUGA: Partisipasi Masyarakat Desa dan Kendalanya
Jadi, melalui media massa, para oknum-oknum tersebut melakukan kritik yang ofensif dan masif. Media sosial pun dimanfaatkan dan dikerahkan hingga tersebar luas pada orang atau masyarakat sebagai informasi yang tidak menyenangkan. Masyarakat pun dengan cepatnya bereaksi melalui media sosialnya dan menyebarluaskanya secara tidak utuh.
Keadaan itu kemudian diterima sebagai opini publik. Bahwa kebijakan yang dibuat itu sungguh tidak merakyat. Masyarakat yang menerima informasi tersebut secara tidak seimbang, yang mengakibatkan kesalahpahaman.
Saya merasa di era digital ini kita hidup berdampingan dengan berbagai berita hoax. Karena saat ini kita sulit membedakan berita-berita yang kredibel dan hoax. Apalagi memasuki era teknologi saat ini, sangat bersifat memaksa dan akan terus menyasar orang-orang yang tidak cakap dalam proses perubahannya. Dan tentunya dalam proses perubahan tersebut tidak terlepas dari informasi yang menyesatkan.
Miris memang. Ketika saya harus hidup di zaman yang serba teknologi, terlalu banyak mengkonsumsi berita palsu atau yang dikenal dengan istilah populer “hoax” bisa bertebaran dalam berbagai bentuk, tulisan, foto, dan video.
Melihat fenomena hoax yang kerap terjadi menimbulkan keraguan saya terhadap informasi-informasi yang saya terima. Ini akibatnya ketika malas mencari tahu kebenaran suatu berita.
Bayangkan, betapa parahnya pengaruh yang didapatkan oleh penerima hoax tersebut. Pengaruhnya yang bukan hanya membuat pikiran berkelok-kelok untuk kemudian kembali lagi kepada jalur utamanya, melainkan pengaruh yang bisa jadi seketika menjerumuskan pembaca ke jurang kegagalpahaman. Akhirnya, bukan pengetahuan yang didapatkan, namun malah kebegoan yang hakiki dan tak termaafkan.
Di masa yang serba teknologi ini saya kira bukan cuma saya aja terkena dampak penyebaran informasi/berita bohong (hoax) yang makin marak. Dan bahkan masyarakat bisa menerima berita-berita bohong setiap hari lebih dari satu kali. Sarana yang paling banyak digunakan dalam penyebaran berita hoax ini adalah media sosial. Ini di akibatkan karena rendahnya tingkat literasi. Sehingga hal ini dimanfaatkan pihak yang tidak bertanggung jawab untuk menanamkan fitnah dan kebencian.
====
Penulis merupakan penulis esai tinggal di Medan.
====
medanbisnisdaily.com menerima tulisan (opini/artikel) terkait isu-isu aktual masalah ekonomi, politik, hukum, budaya dan lainnya. Tulisan hendaknya ORISINAL, belum pernah dimuat dan TIDAK DIKIRIM ke media lain, disertai dengan lampiran identitas (KTP/SIM), foto (minimal 700 px dalam format JPEG), data diri singkat (dicantumkan di akhir tulisan), nama akun FB dan No HP/WA. Panjang tulisan 4.500-5.500 karakter. Tulisan sebaiknya tidak dikirim dalam bentuk lampiran email, namun langsung dimuat di badan email. Redaksi berhak mengubah judul dan sebagian isi tanpa mengubah makna. Isi artikel sepenuhnya tanggung jawab penulis. Kirimkan tulisan Anda ke: [email protected]