Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
MENDEKATI sebulan saya sudah mengikuti Program Guru Penggerak (PGP). PGP ini dibuat dengan sangat detail: 9 bulan. Dilihat dari lamanya, program ini sangat serius. Untuk komparasi, PPG saja hanya 3 bulan. Setelah lulus PPG, sertifikasi guru pun dicairkan. Artinya, program seserius PPG pun hanya menghabiskan waktu 3 bulan. Sebaliknya, PGP justru menghabiskan waktu 9 bulan. Dilihat dari lamanya program ini membuat kita mengerti bahwa program ini betul-betul serius, bahkan lebih serius dari PPG.
Perlu diketahui, posisi pendidikan kita saat ini sesungguhnya tengah menggetirkan. Setiap periode, misalnya, ditunjukkan bahwa peringkat kita di PISA sangat terpuruk. Yang lebih provokatif, menurut Profesor Lant Prichet dalam tajuknya berjudul "The Need for a Pivot to Learning: New Data on Adult Skills from Indonesian" disebutkan bahwa kita tertinggal sebanyak 128 tahun. Ketertinggalan ini tentu keterlaluan. Betapa tidak, umur Indonesia saja belum sampai 80 tahun. Masih banyak studi yang bisa dikutip untuk membuktikan bahwa kita tertinggal.
Nah, atas hal itu, tentu dibutuhkan kerja serius untuk meningkatkan serta mengejar ketertinggalan pendidikan. Salah satunya bisa dilakukan melalui penggenjotan kualitas guru. Penggenjotan itu bisa dilakukan dengan penyadaran atau pendalaman ulang. Dikatakan penyadaran atau pendalaman ulang karena kita tak memungkiri bahwa guru Indonesia sudah belajar filosofi pendidikan meski sekilas. Dikatakan sekilas karena tak ada keseriusan. Ibaratnya, para guru hanya membaca sambil lalu tanpa refleksi yang mendalam.
Malah, jika boleh jujur, ada kemungkinan guru Indonesia tak mengerti filsafat pendidikan di Tanah Air. Saya tak sedang menuduh guru. Bukan itu poin saya. Namun, melihat data dari Johannes Sumardinata dalam satu bukunya disebutkan bahwa konon tak sampai 0,5 persen guru bahasa Indonesia yang pernah membaca pemikiran Ki Hadjar Dewantara (KHD). Sangat menggetirkan bukan? Menyadari itu, pada PGP ini, materi pun diawali dengan pendalaman pemikiran KHD kepada guru.
Teknisnya, guru diberi tugas mendalami, merefleksi, menulis, juga membuat video penghayatan hampir setiap hari. Setelah itu, kepada guru disajikan materi tentang peran dan nilai guru penggerak. Hal itu dilakukan supaya guru sadar di mana mereka berdiri. Bagaimanapun, guru yang baik adalah tidak semata soal mereka bisa menyenangkan siswa. Guru terbaik tidak dilihat dari kepiawaian guru untuk melucu di depan kelas. Guru bukan komedian. Senada dengan itu, guru hebat pun tidak dilihat dari pengakuan siswa: aduh, guru X akan .asuk. Kita diam, ya". Guru bukan penjahat.
Dalam pada ini, guru mesti sadar posisinya: ia tak melucu, ia juga tak jahat. Saya tak mau bilang bahwa kelas yang baik adalah kelas yang ribut atau kelas yang sepi. Saya hanya mau bilang bahwa guru penggerak harus sadar bahwa kelas harus berdenyut semata untuk mencapai tujuan pendidikan. Penjelasannya begini: untuk apa sebuah kelas tegang melulu jika tujuan pembelajaran tak tercapai? Atau, untuk apa kelas selalu tertawa jika malah lalai dari tujuan pembelajaran? Di sinilah guru hadir untuk membawa siswa pada tujuan pembelajaran.
BACA JUGA: Menggagas Batak Writers Meeting di Baktiraja
Jujur, saya sangat suka membaca teori-teori pendidikan. Dari sana kemudian saya paham, terutama setelah belajar filosofi pendidikan KHD bahwa guru harus setia pada kebutuhan siswa. Berbicara kebutuhan, maka kadang akan berat. Sebab, fakta berbicara, memenuhi kebutuhan hidup lebih menantang daripada keinginan. Siswa boleh jadi ingin belajar tak belajar. Tetapi, tentu saja ini bukan kebutuhan siswa. Lalu, apakah atas nama demi menyenangkan siswa, maka kita memenuhi keinginan siswa, yaitu belajar tak belajar?
Dari sinilah saya paham bahwa sesungguhnya KHD sedang membahasakan sebuah nasihat sederhana: masuki dunia anak, lalu bawa mereka ke dunia kita. Maksudnya, ayo mari kita selami masing-masing anak sebelum kita bawa mereka pada dunia yang ideal, yaitu kebutuhan mereka. Jika kita sudah masuk pada dunia siswa, maka akan besar kemungkinan kita bisa mengarahkan mereka pada dunia kita. Apa itu dunia kita? Dunia kita maksudnya adalah dunia tujuan pembelajaran.
Mungkin, bahasa di atas masih sukar dimaknai. Untuk lebih simpel, mari saya kutip sebuah pernyataan dari Blaise Pascal. Begini. Suatu kali, Blaise Pascal menyebut bahwa hati ternyata punya rasionya sendiri. Uniknya, jika kita sudah menyentuh hati tersebut, kita tinggal mengarahkan siswa kepada kebutuhan mereka. Jadi, kuncinya ada pada usaha kita untuk memasuki dunia siswa. Tentu, arti memasuki dunia siswa bukan agar kita larut dalam dunianya. Tujuannya sederhana: kita memahami bagaimana cara menarik siswa ke dunia kita.
Kuncinya hanya sesederhana itu: pemahaman. Namun, perlu diingat, setiap siswa unik. Karena unik, cara menghadapinya punya keunikan masing-masing. Kadang cukup dengan kata. Kadang dengan sentuhan. Kadang dengan lirikan. Macam-macam. Maksud saya, buku terbaik untuk menghadapi siswa bukan buku teori pendidikan yang berat. Buku teori seperti itu hanya pengayaan. Buku terbaik justru siswa itu sendiri. Artinya, jika kita sudah membaca buku itu, yaitu siswa itu sendiri, kita tinggal memoles, menginspirasi, dan mengarahkan mereka.
Pada titik inilah kita sudah mampu memainkan peran guru penggerak secara sekaligus, terutama pemimpin pembelajaran dalam mewujudkan kepemimpinan murid. Tentu, ini semua bisa diraih jika kita teguh pada nilai-nilai yang adaptif: mandiri, reflektif, kolaboratif, inovatif, dan berpihak pada siswa. Sampai di titik ini rasanya kita sudah sangat paham bahwa filosofi pendidikan KHD begitu kait-mengait dengan peran, bahkan nilai-nilai yang adaptif tersebut. Adaptif maksudnya sesuai dengan karakteristik siswa.
Pada akhirnya, semoga kita para calon guru penggerak tidak berhenti untuk belajar. Sebab, sesuatu yang tak akan pernah mengenal garis akhir adalah belajar. Menariknya, kita belajar tidak hanya dari kebenaran, bahkan juga dari kesalahan kita. Itulah yang sering kita namai sebagai evaluasi mandiri atau refleksi. Artinya, sejauh apa pun kita belajar, kita tak boleh sombong, apalagi merasa sudah tamat dan profesional. Dalam hal ini, kita membutuhkan komunitas lingkungan sekolah untuk saling berbenah dan menularkan semangat (pengimbasan).
Ada, misalnya, dari kepala sekolah sebagai penilai sekaligus pengarah, juga fasilitator. Rekan sejawat untuk mempertebal nilai pedagogis. Rekan sejawat bidang studi sebagai pematangan kognitif. Masih banyak untuk disebutkan, termasuk siswa. Dari siswa, meski status mereka pembelajar, kita harus belajar, paling tidak mendapatkan penilaian melalui banyak cara: angket, kritik, saran, dan sebagainya. Maksud saya singkat: semakin kita belajar mestinya membuat kita makin sadar bahwa kita tak boleh berhenti belajar.
Salam guru penggerak di seluruh tanah air!
====
Penulis Calon Guru Penggerak dari SMAN 1 Doloksanggul, Humbang Hasundutan, Sumatra Utara.
====
medanbisnisdaily.com menerima tulisan (opini/artikel) terkait isu-isu aktual masalah ekonomi, politik, hukum, budaya dan lainnya. Tulisan hendaknya ORISINAL, belum pernah dimuat dan TIDAK DIKIRIM ke media lain, disertai dengan lampiran identitas (KTP/SIM), foto (minimal 700 px dalam format JPEG), data diri singkat (dicantumkan di akhir tulisan), nama akun FB dan No HP/WA. Panjang tulisan 4.500-5.500 karakter. Tulisan sebaiknya tidak dikirim dalam bentuk lampiran email, namun langsung dimuat di badan email. Redaksi berhak mengubah judul dan sebagian isi tanpa mengubah makna. Isi artikel sepenuhnya tanggung jawab penulis. Kirimkan tulisan Anda ke: [email protected]