Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Medanbisnisdaily.com-Jakarta. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) merespons pernyataan Greenpeace dalam siaran persnya tertanggal 2 November 2021 tentang deforestasi. Seperti apa?
Dalam siaran pers itu Greenpeace menyatakan bahwa selama 2002-2019, deforestasi hampir 1,69 juta hektar di konsesi Hutan Tanaman Industri (HTI) dan seluas 2,77 juta hektar kebun sawit.
Sekjen KLHK Bambang Hendroyono meyakini Greenpeace menyadari laju deforestasi Indonesia dari tahun ke tahun pada periode tersebut. Sebab, Greenpeace turut ambil bagian dalam kerja sama dengan sejumlah perusahaan sawit dan kehutanan di Indonesia, dalam kurun waktu tahun 2011 hingga 2018.
Pada tahun 2011, Greenpeace mulai berkolaborasi dengan perusahaan grup sawit yang cukup besar. Bambang bilang dalam kerja sama itu tercermin tidak mudahnya suatu grup bisnis sawit untuk melepaskan dirinya dari deforestasi, pengeringan gambut, serta kebakaran hutan dan lahan (karhutla), baik yang terjadi pada konsesi-konsesi grup sawit itu sendiri maupun rantai pasokannya di periode tersebut.
Tak hanya itu, lanjut Bambang, pada tahun 2013, Greenpeace juga berkolaborasi dengan grup perusahaan industri pulp dan kertas, di Sumatera. Selama berkolaborasi dengan Greenpeace itu, perusahaan-perusahaan itu jelas-jelas melakukan pengeringan gambut, pembukaan kanal-kanal baru sepanjang ratusan kilometer, sehingga perusahaan tersebut mengakibatkan karhutla yang luas.
"Menteri LHK memberikan sanksi-sanksi kepada sejumlah perusahaan grup besar tersebut serta perusahaan lainnya dari kejadian Karhutla 2015; pembukaan kanal-kanal baru serta kegiatan penanaman akasia di atas areal terbakar. Sanksi-sanksi itu diberikan pemerintah justru pada saat Greenpeace masih dalam kerja bersama, dalam kolaborasinya dengan perusahaan dimaksud," ujar Bambang dalam rilis kepada detikTravel pada Rabu (17/11/2021).
Bambang juga yakin Greenpeace memiliki pemahaman dan pengalaman yang cukup atas isu deforestasi, pengeringan gambut, dan karhutla. Saat itu, Greenpeace berkolaborasi dengan grup besar perusahaan sektor sawit dan pulp/kertas bertahun-tahun lamanya.
Bambang menegaskan saat itu Greenpeace dalam kolaborasinya tidak mensyaratkan grup perusahaan untuk menyerahkan izin usaha yang wilayahnya juga antara lain berada di lahan gambut.
"Saya saksi sejarah, bagaimana proses kolaborasi Greenpeace dengan grup perusahaan besar tertentu itu dideklarasikan pada tahun 2013 tersebut. Greenpeace tidak memberikan syarat kepada perusahaan dimaksud untuk tidak boleh beroperasi pada areal izin-izin usahanya yang sedang berlangsung di lahan gambut," Bambang menjelaskan.
"Greenpeace juga tidak mensyaratkan agar perusahaan itu menyerahkan izin-izin usahanya di lahan gambut kepada pemerintah untuk dicabut," dia menambahkan.
"Itu artinya selama bertahun-tahun berkolaborasi dengan Greenpeace, grup sawit dan pulp/kertas perusahaan besar dimaksud tetap beroperasi di areal izin-izin usahanya di lahan gambut," dia menegaskan.
Bahkan, lanjut Bambang, dalam kebijakan konservasi hutan yang diluncurkan oleh grup sawit dan pulp/kertas tersebut, saat pembuatan kebijakan-kebijakan perusahaannya disusun, disetujui serta dideklarasikan oleh grup perusahaan itu bersama-sama Greenpeace, tidak terdapat klausul yang mengharuskan grup sawit dan pulp/paper perusahaan itu untuk menghentikan pemanfaatan lahan gambut oleh grup perusahaan besar dimaksud.
"Mengapa Greenpeace sekarang mendesak pemerintah untuk mencabut izin-izin usaha di lahan gambut? Ini menunjukkan posisi Greenpeace yang tidak konsisten," ujar Bambang.
Mengenai sebaran konsesi-konsesi HTI dan sawit di Kesatuan Hidrologis Gambut (KHG) di tujuh provinsi prioritas restorasi gambut, Bambang menekankan bahwa Greenpeace tentu memahami dengan baik bahwa hampir seluruh izin-izin usaha di lahan tersebut bukan diberikan dalam periode pemerintahan Presiden Jokowi.
"Ketika Greenpeace mengumumkan kolaborasinya, dengan grup sektor sawit dan pulp/kertas, konsesi-konsesi tersebut telah berada di lahan gambut, dan Presiden Jokowi belum menjabat sebagai Presiden RI," dia menjelaskan.
Terkait dengan sawit di dalam kawasan hutan, Bambang menggarisbawahi bahwa hampir seluruh kasus tersebut bukan terjadi pada periode pemerintahan Presiden Jokowi.
Isu sawit di dalam kawasan hutan, lanjutnya, jelas bukan hal baru bagi Greenpeace karena ketika Greenpeace berkolaborasi dengan grup sawit perusahaan besar, juga terdapat konsesi-konsesi sawit perusahaan yang saat itu berada di dalam kawasan hutan.
"Mengapa Greenpeace tetap memulai dan melanjutkan kolaborasi dengan grup sawit perusahaan itu hingga bertahun-tahun lamanya yang konsesi-konsesinya berada di dalam kawasan hutan? Ini juga contoh nyata tidak konsistennya Greenpeace," Bambang menegaskan.
"Jika sekarang Greenpeace mempersoalkan soal sawit di kawasan hutan, pertanyaannya adalah mengapa baru sekarang mempersoalkannya? Bukankah Greenpeace telah bertahun-tahun lamanya berkolaborasi dengan grup sawit yang memiliki sawit di dalam kawasan hutan?" Bambang menanyakan.(dtc)