Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Medanbisnisdaily.com-Jakarta. Pemerintah sedang menggenjot industri baja. Lantas, bagaimana nasib industri baja di tengah masa pandemi COVID-19?
Ditektur Industri Logam Ditjen ILMATE Kemenperin Budi Susanto mengatakan pertumbuhan positif sektor baja nasional di tengah Pandemi COVID-19 tidak terlepas dari upaya pengendalian yang dilakukan Pemerintah.
Salah satunya, penerapan supply demand melibatkan sejumlah pihak industri baja dari hulu hingga hilir, meski November - Desember lalu terjadi penyesuaian tata cara importasi yang dikeluarkan Kementerian Perdagangan melalui single windows INSW.
"Peningkatan kebutuhan baja ini didukung kebijakan PPnBM otomotif yang juga tumbuh hingga 27% di kuartal III tahun 2021 yang membutuhkan baja khusus di sektor otomotif yang belum bisa dipenuhi oleh pabrikan dalam negeri," kata Budi, Sabtu (22/1).
Pengaturan ini, sambung dia, menjadi penting agar produk-produk yang sudah diproduksi di dalam negeri dapat dimaksimalkan. "Dan hampir semua impor yang ada merupakan bahan baku untuk berbagai jenis industri,"tambahnya.
Senada dengan Budi, Direktur Utama PT Saranacentral Bajatama Tbk (BAJA), Handjaja Susanto mengungkapkan, salah satu keberhasilan BAJA memperoleh laba bersih 100 miliar rupiah berkat kontrol pemerintah terhadap impor baja. Sehingga, pasar impor banyak beralih ke pasar lokal.
"Optimisme industri baja nasional harus terus dijaga dengan upaya hilirisasi dan subtitusi impor yang telah dicanangkan oleh pemerintah. Sehingga, iklim usaha dan investasi akan terus meningkat di Indonesia," paparnya.
Berdasarkan data investasi di sektor logam, sambung dia, menunjukkan kinerja yang cukup menggembirakan. Hingga triwulan III tahun 2021 mencapai Rp. 87,73 triliyun serta utilisasi sektor ini mencapai di atas 60%. "Industri baja lapis meningkat sangat baik seperti yang ditunjukkan PT Saranacentral Bajatama."
Sebelumnya Direktur Komersial Krakatau Steel Melati Sarnita menyebutkan, dari data Badan Pusat Statistik (BPS), terjadi kenaikan impor baja sebesar 23% yang semula 3,9 juta ton di tahun 2020 menjadi 4,8 juta ton di tahun 2021.
Menanggapi hal tersebut, Direktur Eksekutif Research Oriented Development Analysis (RODA) Institute, Ahmad Rijal Ilyas mengatakan, dalam melakukan perbandingan data baja jangan menggunakan data tahun 2020. Menurut dia, data 2020 tidak relevan.
"Saat itu semua industri terpuruk, artinya kalau tidak boleh naik terhadap tahun 2020 sama saja tidak ingin industri baja ini tumbuh karena yang diimpor adalah bahan baku,"ketusnya.
Ia berpandangan, dibanding 2019 impor baja 2021 mengalami penurunan yang cukup baik yaitu dari 4,8 juta ton di 2021 menurun sebesar 2 juta ton atau 29,4% dibanding 2019 yang importasinya berjumlah 6,8 juta ton.
Beberapa program pemerintah yang dirasakan manfaatnya oleh pelaku usaha antara lain pengendalian impor, program subtitusi impor yaitu penurunan nilai impor untuk beberapa produk baja.
Sehingga, peningkatan penggunaan produk dalam negeri (P3DN), penerapan SNI wajib dalam rangka melindungi konsumen dalam negeri dari produk baja yang tidak berkualitas, serta pemberian insentif guna mendorong peningkatan investasi di sektor industri logam.
"Diharapkan dengan program-program tersebut dapat terus ditingkatkan untuk mendorong kinerja industri baja pada periode selanjutnya,"pungkas dia.
Untuk diketahui, dibanding tahun 2020 kinerja industri nasional cukup menggembirakan dengan indikasi rata-rata Purchasing Manager Index (PMI) selama 2021 menunjukkan angka ekspansif di atas 50.
Hal ini ditunjukkan dengan kinerja sektor industri logam dan baja yang mengalami pertumbuhan positif selama tahun 2021. BPS mencatat di kuartal III sektor industri logam dengan HS 72-73 ini mampu tumbuh di atas 9,82 persen.
Kinerja ini juga didukung ekspor produk baja hingga November 2021 mencapai US$ 19,6 dan US$ surplus 6,1 Miliar dibanding jumlah impor baja di Indonesia.(dtf)