Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
DISIPLIN dekat dengan pendidikan. Secara etimologi, disiplin berakar dari bahasa latin, yaitu discipulus yang berarti pelajar. Disciple (siswa) harus meniru gurunya. Karena itulah, siswa sering kali berguru hingga ke rumah sang panutan.
Dari sinilah sejarah sekolah berasrama bermula. Itu artinya, sebelum menjadi guru, seseorang harus memantaskan diri terlebih dahulu untuk menjadi teladan bagi murid-muridnya yang datang berguru. Dari sini kita paham, sekolah tanpa penegakan disiplin oleh guru boleh dikatakan sebagai sekolah tanpa misi pendidikan. Lalu, bagaimana cara yang efektif untuk mendisiplinkan siswa?
Pertanyaan itu perlu dijawab karena sejauh ini, sekolah-sekolah berprestasi selalu lahir dari penegakan disiplin yang kuat. Beberapa di antaranya bahkan beraroma militer. Tak jarang, siswa dari sekolah seperti ini langsung dikeluarkan ketika melakukan kesalahan kecil. Karena itu, semua siswanya menjadi disiplin.
Pertanyaannya, apakah cara mereka mendisiplinkan siswa bisa menjadi rujukan utama? Rasanya perlu pertimbangan. Sebab, dalam tafsir behaviourustik Ivan Petrovich Pavlov, siswa dengan pendekatan hiperdisiplin justru menjajah siswa itu sendiri. Mereka tak lagi mandiri, tetapi cenderung sudah dikontrol oleh bel.
Ketika bel, misalnya, mereka sudah sigap berkumpul di lapangan, nyaris tanpa kesadaran, kecuali rangsangan belaka. Sebab, dengan teori classic conditioning, kita sejatinya bisa mengondisikan sesuatu bekerja sesuai dengan apa yang diharapkan. Kuncinya adalah melakukan rangsangan berulang-ulang hingga pada akhirnya mendapatkan aksi yang diharapkan, seperti bagaimana Pavlov membunyikan bel berulang-ulang selama beberapa hari agar anjing mengeluarkan air liur. Masalahnya, siapa sebenarnya yang mengharapkan dan membutuhkan aksi? Siapa yang memegang kendali?
Ada Lima Cara
Diane Gossen dalam bukunya Restitution-Restructuring School Discipline (1998) mengemukakan bahwa guru perlu meninjau kembali penerapan disiplin di dalam ruang-ruang kelas. Apakah telah efektif memerdekakan serta memandirikan murid?
Jika sekilas melihat sistem disiplin sekolah favorit, kita bisa terkecoh bahwa mereka berhasil karena hiperdisiplin. Faktanya, mereka unggul justru setelah mendapat bibit unggul. Studi Tom J.Parkins (2003) membuktikannya: sekolah yang mengandalkan kualitas pembelajaran hanya 1 persen. Sisanya (99 persen), hanya mengandalkan best input.
Dirujuk dari Diane Gossen, setidaknya ada 5 cara yang dilakukan guru dalam mendisiplinkan siswa. Pertama, guru sebagai penghukum. Tipikal ini jamak di sekolah-sekolah. Guru yang menjalankan posisi penghukum senantiasa mengatakan bahwa sekolah memerlukan sistem atau alat yang dapat lebih menekan murid-murid lebih dalam lagi. Guru seperti ini percaya hanya ada satu cara agar pembelajaran bisa berhasil, yaitu cara si guru. Tetapi, secara psikologis, menghukum justru menebalkan rasa dendam dari siswa sehingga siswa kurang merdeka dalam belajar.
Kedua, guru pembuat merasa bersalah. Guru seperti ini akan bersuara lebih lembut dibanding guru tipe penghukum. Mereka akan menggunakan keheningan yang membuat orang lain merasa tidak nyaman, bersalah, atau rendah diri.
Sekilas, tipe guru seperti ini sangat baik. Namun, dampak dari posisi kontrol seperti ini adalah bahwa murid akan memiliki penilaian diri yang buruk tentang diri mereka. Murid bisa merasa tidak berharga karena telah mengecewakan orang-orang disayanginya. Jatuh-jatuhnya, siswa bisa kehilangan rasa percaya diri.
Ketiga, posisi guru sebagai teman. Guru seperti ini tidak akan menyakiti murid. Mereka akan setia dan tetap berupaya mengontrol murid melalui persuasi yang lembut. Siswa pun merasa terlindungi.
Tetapi, posisi guru sebagai teman tidak akan selalu menguntungkan juga. Kemandirian siswa bisa-bisa tidak tergali karena selalu harus mengandalkan gurunya. Inilah yang sering terjadi sehingga di bidang studi tertentu siswa bisa mandiri, sementara di bidang studi lainnya, siswa malah harus selalu ditopang oleh guru. Mereka tak punya kuda-kuda yang kuat untuk diri sendiri.
Keempat, guru sebagai pemantau. Memantau berarti mengawasi. Guru seperti ini akan efektif jika sebelumnya sudah membuat keyakinan kelas secara bersama-sama dengan siswa. Guru pun sudah memaparkan apresiasi apa yang akan diterima jika keyakinan itu dipatuhi dan konsekuensi apa yang harus diberikan jika dilanggar. Segala apresiasi dan konsekuensi didasarkan pada catatan. Kelemahannya, pola seperti ini persis seperti pola reward. Siswa menghindari larangan semata agar luput dari konsekuensi dan sebaliknya mengindahkan imbauan semata agar dapat reward.
BACA JUGA: Peran dan Nilai Guru Penggerak
Pola terakhir adalah guru sebagai manajer. Posisi ini lebih bijaksana karena guru berbuat sesuatu bersama dengan murid, mempersilakan murid mempertanggungjawabkan perilakunya, mendukung murid agar dapat menemukan solusi atas permasalahannya sendiri.
Boleh dikatakan, posisi kontrol ini berada di atas kasta teratas. Sebab, dengan kemampuan seperti ini, guru sudah pasti memiliki keterampilan di posisi teman maupun pemantau, dan dengan demikian, bisa jadi di waktu-waktu tertentu kembali kepada kedua posisi tersebut bila diperlukan.
Seperti Dokter
Tugas seorang manajer bukan untuk mengatur perilaku seseorang. Pada posisi seperti ini, kita membimbing murid untuk dapat mengatur dirinya. Seorang manajer bukannya memisahkan murid dari kelompoknya, tetapi mengembalikan murid tersebut ke kelompoknya dengan lebih baik dan kuat. Murid diajak untuk menganalisis kebutuhan dirinya serta kebutuhan orang lain, juga kebutuhan kelas.
Di sini, penekanan bukan pada kemampuan membuat konsekuensi, namun lebih pada pemahaman agar siswa dapat berkolaborasi dengan murid bagaimana memperbaiki kesalahan yang ada. Namun, posisi kontrol sebagai manajer pun tidak akan selalu efektif. Selalu ada pijakan bagi guru untuk tidak lagi melakukan sanksi dan hukuman. Bila pun harus melakukan hukuman, sebaiknya harus beraroma edukatif supaya siswa itu terdidik.
Namun, pada beberapa kasus, siswa justru mempermainkan gurunya dengan tipikal teman dan manajer. Mereka ini menganggap guru tidak bisa melakukan apa-apa sehingga mereka semakin menjadi-jadi dalam melakukan pelanggaran keyakinan sekolah. Dalam hal ini, guru harus bersikap bijaksana.
Skema pendekatan dengan pola bijaksana akan membuat guru tahu bagaimana bersikap: apakah kehabisan energi untuk mengurus sekumpulan kecil siswa yang nakal sehingga mengabaikan sebagaian besar siswa lainnya yang bisa diarahkan atau malah “mengabaikan” sekumpulan kecil siswa nakal agar sebagian besar siswa lainnya tidak terabaikan?
Pada akhirnya, guru harus bisa bersikap seperti dokter. Agar penyakit tertentu tidak menular kepada siswa yang sehat, penyakitnya harus diawaskan dari komunitas besar sekolah.
====
Penulis Guru Bahasa Indonesia SMAN 1 Doloksanggul, Humbang Hasundutan, Sumatra Utara.
====
medanbisnisdaily.com menerima tulisan (opini/artikel) terkait isu-isu aktual masalah ekonomi, politik, hukum, budaya dan lainnya. Tulisan hendaknya ORISINAL, belum pernah dimuat dan TIDAK DIKIRIM ke media lain, disertai dengan lampiran identitas (KTP/SIM), foto (minimal 700 px dalam format JPEG), data diri singkat (dicantumkan di akhir tulisan), nama akun FB dan No HP/WA. Panjang tulisan 4.500-5.500 karakter. Tulisan tidak dikirim dalam bentuk lampiran email, namun dimuat di badan email. Redaksi berhak mengubah judul dan sebagian isi tanpa mengubah makna. Isi artikel sepenuhnya tanggung jawab penulis. Kirimkan tulisan Anda ke: [email protected]