Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Medanbisnisdaily.com-Medan. Jaringan Advokasi Masyarakat Sipil Sumatera Utara (JAMSU) menilai pembangunan Kawasan Danau Toba (KDT) belum memperhatikan aspek ekologi sosial budaya (Ekosob). Hal itu terungkap dalam seminar yang membahas dampak kebijakan pembangunan di sekitar KDT yang digelar JAMSU, di Hotel Danau Toba, Senin (30/5/2022). JAMSU sendiri merupakan aliansi sejumlah NGO antara lain, Bakumsu, Bitra Indonesia, KSPPM, YAK, Petrasa, YDPK dan Yapidi.
"Pembangunan KDT sejauh ini tidak memperhatikan Ekosob dan hak-hak masyarakat adat. Padahal sejak ditetapkannya Danau Toba sebagai Kawasan Strategis Nasional (KSN) dan Kawasan Strategis Pariwisata Nasional (KSPN) tahun 2011, menjadi tonggak penting dalam tata kelola dan pengembangan Kawasan Danau Toba (KDT). Sayangnya pembangunan itu tidak sejalan dengan pemenuhan hak masyarakat lokal," kata Direktur Bakumsu Tongam Panggabean, yang menjadi salah satu narasumber seminar.
Tongam menambahkan, makna kawasan dan KDT berarti mencakup berbagai hal, bukannhanya Danau Tobanya, namun juga hutan penyangga, pertanian, keberlangsungan hidup masyarakat, sosial dan budayanya. Sehingga akan menjadi kontradiksi bila pembangunan KDT dilakukan dengan mengambil hutan ulayat dan merusak ekosistem. Keadilan ekologis itu justru tidak didapat masyarakat setempat, sehingga pertentangan bahkan konflik menjadi hal wajar, karena masyarakat mencoba mempertahankan apa yang mereka miliki selama ini, kata Tongam.
Narasumber lainnya, Eko Cahyono menjelaskan, timbulnya saling klaim masalah hutan adat di KDT, salah satunya disebabkan karena politik kebijakan yang tak sejalan antara KLHK dan BPN. Peneliti ini juga mengkritik istilah hutan negara. Disebutkan Eko, terminologi hutan negara ini merujuk pada undang-undang usang yang digunakan di masa kolonial, dimana disebut hutan sebagai wilayah tak berpenghuni. Kepemilikan hutan, kata Eko, juga merupakan warisan pemerintah Orde Baru yang dengan "seenaknya" membagi-bagi kawasan hutan kepada pengusaha.
"Memang sejak awal, keberpihakan kepada masyarakat adat di negara kita minim. Salah satu solusi yang bisa dilakukan adalah dengan memperkuat wacana untuk melegalkan komunitas masyarakat adat," terang Eko.