Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Medanbisnisdaily.com-Jakarta. Harga minyak dunia masih mentereng di level tertinggi sejak awal perang antara Rusia dan Ukraina. Seperti tidak ada solusi yang tepat untuk mengatasi tingginya harga minyak dunia.
Mengutip dari CNN, Senin (6/6/2022) Harga minyak mentah Brent, patokan global, melonjak melewati US$ 124 per barel awal pekan ini. Itu adalah level tertinggi sejak awal Maret.
Tingginya harga itu terjadi setelah Uni Eropa mengumumkan akan memangkas 90% impor minyak Rusia pada akhir tahun ini. Kemudian, harga sempat turun ke angka US$ 117, setelah OPEC mengumumkan akan memompa lebih banyak minyak.
Ada beberapa alasan bahwa ke depan harga minyak dunia akan tetap tinggi. Setidaknya ada tiga alasan yang mendasari hal tersebut.
Pertama karena Uni Eropa akan berhenti memasok minyak dari Rusia. Hal ini dilakukan sebagai sanksi keenam yang diberikan negara itu kepada Rusia usai invasi kepada Ukraina.
Sebagian besar negara UE sekarang memiliki waktu enam bulan untuk menghentikan impor minyak mentah dari Rusia, dan delapan bulan untuk semua produk minyak lainnya.
Untuk saat ini, UE masih membeli minyak dari Rusia, tetapi telah mencari pemasok alternatif. Namun, harga dari beberapa pemasok minyak tengah tinggi.
Menurut data Kpler, impor minyak mentah dari Angola telah meningkat tiga kali lipat sejak dimulainya perang, sementara volume Brasil dan Irak masing-masing meningkat sebesar 50% dan 40%.
Kedua, alternatif pasokan minyak tidak memenuhi permintaan dunia. Sebab adanya kesenjangan antara volume produksi minyak di Rusia dan penambahan pasokan yang dilakukan OPEC+.
Seperti diketahui, Rusia telah menyumbang 14% dari pasokan minyak globaL. Kemudian, karena mendapat sanksi bertubi-tubi pasca perang di Ukraina, Rusia menghentikan produksi hingga 1 juta barel pada April lalu. Diperkirakan totalnya mencapai 3 juta barel hingga pertengahan 2022 ini.
Sementara, negara-negara yang tergabung dalam Organization of the Petroleum Exporting Countries (OPEC+) hanya mampu memompa minyak tambahan sebanyak 648.000 barel per hari ke pasar. Kemudian rencananya akan ditambah 200.000 barel pada Juli hingga Agustus.
Analis memperkirakan, dengan kesenjangan itu, akan sulit mengejar tingginya permintaan saat Rusia sebagai salah satu pemasok minyak besar menghentikan produksinya. Belum lagi, banyak perusahaan yang juga mulai merambah bisnis ke energi terbarukan.
Ketiga, permintaan global akan minyak semakin banyak. Seperti contohnya di Amerika Serikat (AS) yang saat ini permintaan akan minyak dan bahan bakar tengah meningkat, meskipun harga tinggi.
Saat ini harga bahan bakar di AS rata-rata naik lebih dari 50% dari tahun ke tahun hingga mencapai US$4,60 per galon pada akhir Mei.
Selain itu, antrean permintaan akan minyak juga terjadi di China. Selama dua bulan lamanya China melakukan lockdown di Shanghai dan beberapa kota lainnya. Hal ini tentu mengurangi permintaan akan impor minyak.
Ketika pemerintah China mulai melonggarkan pembatasan itu, permintaan yang tinggi diprediksi akan mendorong harga minyak melonjak. Perusahaan analisis di bidang energi, Vortexa memperkirakan China mengimpor 1,1 juta barel minyak per hari dari Rusia pada Mei, naik sekitar 37% dari rata-rata tahun lalu.