Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
MINYAK goreng saat ini tengah menjadi sorotan karena harga minyak goreng curah saat ini sudah mulai tembus Rp 17.000/kg. Harga ini jauh di atas harga eceran tertinggi (HET) yang ditetapkan pemerintah, yaitu Rp 15.500/kg.
Di wilayah Sumatera Utara bahkan telah ditemukan aktivitas penimbunan minyak goreng. Menyikapi masalah ini pihak Satuan Tugas Pangan Sumatera Utara menemukan 75,6 ton minyak goreng kemasan sederhana merek Minyakita.
Minyak yang diproduksi sejak November 2022 INI diduga ditimbun di gudang distributor yang ada di Medan.
Minyak goreng kemasan rakyat berlabel Minyakita tampak langka di Sumatera Utara (Sumut) sejak beberapa hari terakhir. Kendala untuk mendapatkan pasokan Minyakita dan tren kenaikan harga minyakgoreng curah menjadi penyebab kelangkaan.
Setidaknya alasan ini disampaikan KPPU (Komisi Pengawas Persaingan Usaha) Wilayah I yang menjelaskan jika terjadi penurunan dalam realisasi pemenuhan kewajiban dalam negeri (domestic market obligation/ DMO).
Pada sisi lain, peningkatan permintaan masyarakat terhadap Minyakita. Tapi apakah alasan ini rasional untuk menjadi landasan masalah ketidakstabilan distribusi minyak goreng secara luas.
Indikasi praktik ilegal dalam distribusi minyak goreng secara luas kepada masyarakat jelas menjadi wujud preseden buruk dalam ruang tata niaga minyak goreng secara nasional karena bukan kali pertama hal ini terjadi tapi berulang kali nyaris tanpa ada langkah pembenahan yang berarti.
Kebutuhan Rasional
Jika membuka kembali catatan beberapa tahun lalu, masalah endemis penurunan pemenuhan kewajiban dalam negeri (domestic market obligation/DMO) sebenarnya bukan hal yang tak dapat diatasi selama kebijakan tata niaga pemenuhan pasar direalisasikan secara baik dan konsisten.
Dalam perihal ini, harus ada evaluasi atas kebijakan domestic market obligation (DMO) dan domestic price obligation (DPO) untuk minyak sawit mentah atau crude palm oil (CPO) dan turunannya.
Rasionalisasi evaluasi sangat diperlukan karena setelah kebijakan diberlakukan, kelangkaan atau krisis minyak goreng faktanya masih terus terjadi di Indonesia.
Efektivitas kebijakan pemerintah dalam menata hulu dan hilir aspek pasokan menjadi kunci dalam memenuhi kebutuhan rasional. Lebih lanjut, diberlakukannya DMO adalah untuk mewajibkan pemasokan kebutuhan barang dalam negeri.
Kebijakan tersebut bertujuan agar stok minyak sawit mentah tetap tersedia sebagai bahan baku minyak goreng. Di samping itu, DMO juga bertujuan menekan harga jual minyak sawit mentah dan minyak goreng di bawah harga pasar.
BACA JUGA: Memacu Kebangkitan Ekonomi Nasional
Dalam poin utama lainnya, penetapan harga eceran tertinggi (HET) minyak goreng menjadi dasar standarisasi utama dalam menciptakan kondusifitas
Upaya arbitrase harga di mana saat ini masyarakat malah membeli minyak goreng dengan harga murah boleh jadi menjadi solusi jangka pendek dalam memenuhi kebutuhan besar masyarakat atas ketersedian minyak goreng.
Akan tetapi pada sisi yang lain hal itu juga harus selaras dengan kelancaran pasokan secara sistem demi menghindari maraknya aksi penimbunan secara masif. Karena seringkali kebijakan DMO justru terkesan memotong insentif produsen dengan patokan harga melalui kebijakan DPO tanpa mengeluarkan biaya subsidi kepada produsen, seperti petani hingga distributor dengan tujuan agar produsen berproduksi secara berkelanjutan.
Dalam satu dekade terakhir, industri kelapa sawit Indonesia berkembang cukup pesat. Sistem agroindustri kelapa sawit di Indonesia semakin lama semakin berkembang karena dipengaruhi oleh kondisi industri yang saling kompetitif.
Dalam perkembangannya sistem agroindustri kelapa sawit mengalami berbagai macam perubahan strategi yang menuntut menjaga kelangsungan efisiensi dan efektivitas operasional sistem agroindustri kelapa sawit.
Satu strategi untuk menciptakan efisiensi dan efektivitas di dalam agroindustri kelapa sawit di Indonesia adalah menerapkan sistem integrasi vertikal sehingga semua sistem dan subsistem yang ada di agroindustri kelapa sawit dapat berjalan terintegrasi dan saling terkait, sehingga akan menimbulkan suatu unit usaha atau unit kerja yang berjalan secara efisien.
Dalam pola pemilikan dan pengusahaan kelapa sawit di Indonesia terdapat perusahaan minyak goreng yang terintegrasi perkebunan CPO dan ada pula perusahaan minyak goreng yang tidak terintergrasi dengan perkebunan CPO.
Beberapa kebijakan stabilisasi harga minyak goreng yang telah diambil pemerintah diantaranya melalui pengendalian sisi hulu (input) berupa kebijakan Domestic Market Obligation (DMO) untuk komoditi CPO serta kebijakan Pajak Ekspor (PE) Progressive.
Pada sisi hilirnya (output) pemerintah menerbitkan kebijakan stabilisasi harga minyak goreng secara langsung melalui operasi pasar (OP) minyak goreng bersubsidi dan pembebasan PPN untuk penjualan minyak goreng curah (PPN-DTP). Di samping kebijakan-kebijakan tersebut, yang terbaru
pemerintah menerbitkan kebijakan yang dikenal dengan Program Minyakita pada awal 2009.
Secara prosesual, pemerintah untuk menstabilkan harga minyak goreng secara tidak langsung mewajibkan produsen CPO memasok kebutuhan bahan baku industri minyak goreng.
Pada konteks ini, mulanya DMO hanya didasarkan melalui komitmen ataupun kesepakatan di antara para produsen CPO yang dituangkan dalam kebijakan pemerintah melalui SK Menteri Pertanian No. 339/Kpts/PD.300/5/2007.
Pasokan CPO yang wajib dipenuhi oleh produsen CPO untuk bulan Mei 2007 sebesar 97.525 ton dan bulan Juni sebesar 102.800 ton. Pasokan minyak goreng tersebut dikirim ke pabrik minyak goreng di Medan, Jakarta, Semarang dan Surabaya.
Harga CPO yang dipasok saat itu menurun secara bertahap sampai harga akhir Rp 5.700 per kg (termasuk PPN 10%) sampai di lokasi pabrik minyak goreng yang ditentukan.
Dalam pelaksanaannya komitmen perusahaan-perusahaan memenuhi alokasi pasokan yang ditetapkan DMO tidak terealisasi sepenuhnya. Dan hal itulah yang juga terjadi sampai kini.
Pemetaan Kebijakan
Stabilisasi harga kebutuhan pokok termasuk minyak goreng merupakan salah satu program pemerintah, yang dilakukan untuk menjaga standar kelayakan hidup masyarakat. Produk minyak goreng menjadi barang yang penting untuk dikendalikan karena menyangkut kepentingan masyarakat banyak.
Rata-rata konsumsi minyak goreng per kapita di Indonesia mencapai 10 kg per tahun. Namun, ketika terjadi penurunan harga di pasar input, harga minyak goreng di pasar domestik tidak berespon secara proporsional.
Hal ini dapat memicu terjadinya perilaku ataupun praktek persaingan usaha tidak sehat yang dilakukan oleh para pelaku usaha minyak goreng di Indonesia (sehingga mengkondisikan harga minyak goreng relatif tetap tinggi meskipun variabel input (CPO) telah mengalami penurunan harga yang signifikan.
Industri minyak goreng tidak terlepas dari industri hulu, yakni industri CPO domestik. Selain untuk memenuhi kebutuhan domestik, komoditas CPO juga memiliki orientasi ekspor yang sangat tinggi.
Hal ini disebabkan permintaan CPO dunia yang setiap tahun meningkat dengan laju 1,96% per tahun. Kelebihan permintaan CPO di pasar dunia mencerminkan laju permintaan lebih besar dibandingkan dengan peningkatan produksi, sehingga harga CPO dunia terus meningkat.
Peningkatan harga tersebut berdampak pada fluktuasi ekspor CPO Indonesia dan sekaligus dapat mengakibatkan kenaikan harga minyak goreng domestik.
Indonesia negara produsen utama minyak sawit dunia. Pangsa produksi minyak sawit Indonesia saat ini kurang lebih sebesar 36 persen dari total produksi dunia, sedangkan Malaysia mencapai kontribusi sebesar 47 persen. Sehingga secara bersama-sama, Indonesia dan Malaysia praktis menguasai 83 persen produksi dunia.
Peluang Indonesia menggenjot produksi masih sangat besar, terutama ketersediaan lahan, kesesuaian iklim, ketersediaan tenaga kerja murah melimpah, serta biaya pembangunan dan perawatan dalam ongkos produksi.
Terkait kebijakan stabilisasi harga minyak goreng, intervensi kebijakan dari sisi input CPO melalui kebijakan DMO dan pungutan ekspor progresif belum mampu mendorong penurunan harga minyak goreng di pasar domestik.
Hal ini disebabkan karena hampir 70% industri minyak goreng Indonesia memiliki karakteristik usaha yang terintegrasi vertikal. Sehingga kebijakan ini menghambat pemasaran produk pada lini hulu (output berupa CPO) dialihkan sebagai beban (bahan baku/input) produksi berikutnya sehingga mempengaruhi kenaikan harga produk lini hilir (output berupa minyak goreng).
Disinilah pemerintah pusat harusnya secara terintegrasi mampu membangun fokus produksi minyak goreng secara tepat guna, karena pemerintah pusat punya akses utama dalam hilirisasi produktivitas yang terjadi di daerah.
Sebagai sentral kekuasaan vertikal pemerintah pusat harus cepat mengambil alih dilematisasi ketersediaan pasokan minyak goreng harus cepat, tanpa harus menunggu respon industri lokal dalam menyikapi fluktuatif harga dan kelangkaan minyak goreng.
====
Penulis Analis dan Eksekutif Jaringan Studi Indonesia
====
medanbisnisdaily.com menerima tulisan (opini/artikel) terkait isu-isu aktual masalah ekonomi, politik, hukum, budaya dan lainnya. Tulisan hendaknya ORISINAL, belum pernah dimuat dan TIDAK DIKIRIM ke media lain, disertai dengan lampiran identitas (KTP/SIM), foto (minimal 700 px dalam format JPEG) posisi lanskap, data diri singkat (dicantumkan di akhir tulisan), nama akun FB dan No HP/WA. Panjang tulisan 4.500-5.500 karakter. Tulisan tidak dikirim dalam bentuk lampiran email, namun langsung dimuat di badan email. Redaksi berhak mengubah judul dan sebagian isi tanpa mengubah makna. Isi artikel sepenuhnya tanggung jawab penulis. Kirimkan tulisan Anda ke: [email protected]