Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
SEMENJAK disahkannya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Pemilu), maka salah satu sistem yang berubah adalah waktu pelaksanaan. Dalam peraturan tersebut diatur bahwa Pemilu presiden, legislatif dilakukan secara serentak. Maka dalam peraturan tersebut seorang pemilih yang memenuhi syarat akan mendapatkan 5 kertas suara.
Pemilu 2019 menjadi kelinci percobaan pertama dalam melaksanakan aturan tersebut. Hasilnya sangat kacau. Dikutip dari VOA Indonesia, pada Pemilu serentak 2019 dari 894 petugas Kelompok Panitia Pemungutan Suara (KPPS) yang meninggal, mayoritas disebabkan karena kelelahan berlanjut pada penyakit bawaan lainnya, seperti diabetes dan sakit jantung karena menjalankan tugas yang berat sebagai penyelenggara Pemilu.
Untuk memperdalam data ini, penulis melakukan pendalaman dengan melakukan wawancara mendalam dengan petugas Panitia Pemungutan Suara (PPS) tahun 2019 di salah satu desa di Kabupaten Asahan tentang dinamika dalam pelaksanaan pemungutan suara di desa yang menjadi tugas informan.
Menurut informasi oleh informan yang tidak ingin disebutkan namanya, di tahun 2019 satu Tempat Pemungutan Suara (TPS) di desanya bisa menghimpun sampai 300-400 lebih pemilih. Berarti dengan adanya 5 kertas surat suara, petugas KPPS akan menghitung 2.000 lebih kertas surat suara.
BACA JUGA: Adian Napitupulu, Abang Sedang Kenapa?
Menurut informan, karena banyaknya jumlah surat suara yang tidak masuk sesuai dengan kotak yang telah ditentukan, menambah kerumitan petugas KPPS dalam memperbaikinya. Para saksi, petugas KPPS, pengawas TPS harus menyelesaikan rapat pleno penghitungan suara di satu TPS hingga pukul 04:00 dini hari. Mereka bertugas lebih dari 22 jam dalam menyelesaikan tugasnnya.
Untuk mengantisipasi hal ini, akhirnya dibuatlah regulasi baru oleh pemerintah dan DPR yang diaktualisasikan KPU dengan melakukan penambahan jumlah TPS untuk Pemilu 2024 dan penambahan persyaratan surat kesehatan yang berisikan kadar gula, kolestrol dan tekanan darah, sebagai persyaratan administratif menjadi penyelenggara Pemilu sampai ketingkat KPPS.
Selain perbaikan atas peristiwa tersebut, seharusnya pemerintah dan DPR sadar bahwa Pemilu gado-gado ini akan mengakibatkan penyelenggaraan pemilihan legislatif tidak akan menarik untuk dinanti-nantikan.
Pemilih seperti tersihir tentang akrobat-akrobat politik yang dipertontonkan oleh calon presiden dan wakil presiden maupun tim pemenangannya. Padahal posisi lembaga legislatif tidak kalah pentingnya dengan posisi presiden. Lembaga ini juga bersama-sama dalam membuat suatu kebijakan, bahkan lembaga ini juga akan menjadi pengawal pemerintahan yang sah dengan fungsi pengawasannya.
Tampaknya, Pemilu 2024 akan menjadi kelinci percobaan kedua terkait sistem Pemilu serentak ini. Pemerintah bersama DPR tidak melihat aspek negatif lain tentang buruknya sistem Pemilu serentak ini.
BACA JUGA: Jokowi yang Butuh PDIP atau Sebaliknya?
Mereka (pemerintah dan DPR) selalu beralasan bahwa Pemilu serentak akan hemat secara anggaran. Narasi ini seakan-akan menggambarkan kepada kita bahwa pemerintah sedang berhitung-hitungan dengan rakyatnya dalam aspek terpenting untuk mengejewantahkan nilai-nilai demokrasi.
Padahal sebenarnya, dengan Pemilu yang berkualitas kita akan mendapatkan pejabat yang berkualitas pula, hal ini tidak akan sebanding dengan kebijakan berkualitas yang akan dirasakan oleh negara juga.
Maka dari itu penulis menyarankan agar sistem Pemilu kita sebaiknya dikembalikan seperti tahun 2014, dimana di awal tahun dilakukan Pileg dan di akhir tahun dilakukan Pilpres.
Hal ini dikarenakan akan meningkatkan daya analitis pemilih terhadap visi-misi calon legislatifnya, agar Pilpres tidak akan mengurangi esensi Pileg, selanjutnya hal ini juga berguna untuk partai politik. Sebab partai tak boleh acuh terhadap proses Pileg. Sebab Pileg merupakan tiket awal partai untuk mencalonkan Presiden di periode selanjutnya.
Sebenarnya wacana agar Pileg dan Pilpres tidak digelar bersamaan sudah mendapatkan dukungan dari berbagai pihak, termasuk Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), dalam Kongres Partai ke-5 di Bali.
Salah satu rekomendasi PDIP ialah melakukan penghapusan Pemilu serentak untuk memudahkan pemilih mengenal para calon dan meringankan beban penyelenggara Pemilu.
BACA JUGA: Peradaban Politik Indonesia dan Fenomena-fenomena yang Terjadi
Tidak hanya itu pengamat politik dari Universitas Gajah Mada (UGM) Dr Mada dikutip melalui artikel ilmiah UGM menyebutkan bahwa, Pemilu serentak yang diharapkan efesien namun pada aktualisasinya sangat rumit, karena bisa berpotensi 2 putaran pada Pilpresnya. Oleh sebab itu memang perlu dilakukan evaluasi dalam penyelenggaraan Pemilu.
Pada akhirnya, karena Pemilu merupakan bentuk legitimasi atas kedudukan masing-masing pejabat negara, maka pemerintah dan DPR harus mempersiapkan Pemilu sebaik-baiknya dengan membiarkan masing-masing kontestan menjadi tokoh penting dalam setiap pesta demokrasi, baik bagi calon presiden dan wakil presiden maupun bagi calon legislatif. Agar masyarakat dapat fokus dalam mendapatkan informasi penting tentang visi-misi calon-calon wakilnya dan terpilihlah pejabat negara yang berkualitas.
====
Penulis Mahasiswa Ilmu Politik FISIP USU.
====
medanbisnisdaily.com menerima tulisan (opini/artikel) terkait isu-isu aktual masalah ekonomi, politik, hukum, budaya dan lainnya. Tulisan hendaknya ORISINAL, belum pernah dimuat dan TIDAK DIKIRIM ke media lain, disertai dengan lampiran identitas (KTP/SIM), foto (minimal 700 px dalam format JPEG/posisi lanskap), data diri singkat (dicantumkan di akhir tulisan), nama akun FB dan No HP/WA. Panjang tulisan 4.500-5.500 karakter. Tulisan tidak dikirim dalam bentuk lampiran email, namun langsung dimuat di badan email. Redaksi berhak mengubah judul dan sebagian isi tanpa mengubah makna. Isi artikel sepenuhnya tanggung jawab penulis. Kirimkan tulisan Anda ke: [email protected]