Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Medanbisnisdaily.com-Tapanuli Utara. Thompson Hs punya kesibukan. Seharusnya ia menjadi Tim Ahli Cagar Budaya (TACB) Tapanuli Utara. Lalu, Taput meminjam TACB Humbang. Saya diusulkan Humbang Hasundutan. Maka, saya masuk jadi anggota TACB Taput.
Saya belum mengenal Taput. Jarang saya ke sana. Sekadar lewat hanya 5 kali. Pernah singgah dan menginap semalam. Itu tahun lalu. Ketika perekaman dokumentasi Na I Hasagian. Saya ikut sebagai penata skrip.
Saya juga membawa sanggar kita: Maduma. Anak-anak menjadi pemeran. Kala itu, anak Sanggar Maduma bahagia sekali. Pergi tampil ke luar kota. Saya mengajari mereka berlakon. Berekspresi. Bereksperimen total.
Istri saya menata koreografer. Mereka suka. Mereka menikmati. Jadilah mereka bahagia. Itulah pengalaman pertama saya di Tarutung yang bukan sekadar lewat. Kami berkunjung ke beberapa spot tradisional dan sejarah.
Kami pergi ke Lumban Siagian Julu. Di sana, ada sebuah bangunan tua. Katanya dulu, sebagai sopo tempat para Naihasagian (partonun). Di sopo itu dibuat tulisan jelas: anno 1816. Sopo itu berarti sudah 207 tahun.
Mungkin seumuran dengan pohon ikonik di Tarutung, yaitu pohon durian yang dalam bahasa Batak disebut tarutung. Lumayan janggal. Kita tak pernah mengenal Kota Tarutung sebagai penghasil durian. Tak ada sama sekali.
Bahkan, pohon ikonik di Tarutung, yaitu pohon durian yang sudah berumur 200-an tahun, tak sering berbuah. Lalu, mengapa dibuat menjadi ikon Kota Tarutung? Jawabannya ternyata karena kisah sejarah.
Jadi, pada dahulu kala, para saudagar dari mana-nana membuat janji bertemu. Ibaratkan dalam bahasa sekarang, katakan, misalnya, seseorang bertanya: di mana kita bertemu? Orang lalu akan menjawab: di bawah pokok durian.
Yang bertanya akan balik meminta: cepat serlok kan dulu. Setelah diserlok, kita klik tautan tersebut. GPS membawa kita ke pokok durian tersebut. Kira-kira begitulah dulu para saudagar berjanji bertemu.
Lama-lama, tempat itu jadi populer. Para pedagang berjanji berjumpa dan bertukar barang di sana. Namanya masih pasar ala barter. Orang makin banyak membuat janji bertemu. Itulah sejarah Tarutung.
Di kota itulah bersama Dinas Pendidikan Taput kami membahas cagar budaya. Ada banyak yang diusulkan. Pulau Sibandang salah satunya. Sebab, Sibandang punya banyak kekayaan. Benda. Bangunan. Struktur. Juga situs.
Maka lebih cocok disebut sebagai kawasan. Ada tempat pemujaan. Bahkan, jadi menara api. Untuk menghargai Ratu Wilhelmina di Belanda. Banyak kisah di Sibandang yang harus digali. Data sosial dan sejarah. Dan, ternyata, Sibandang pun bukan Sibandang.
Sibandang adalah Pardepur. Itu ditemukan dari buku laklak. Barangkali juga bukan Pardepur. Mungkin ada nama asli. Sebab, jangan-jangan Pardepur sudah terpengaruh penamaan oleh Belanda. Tapi, apa pun itu, Pardepur memang sangat kaya.
Pardepur adalah salah satu pulau alami di kawasan Danau Toba. Pulau ini berada di Muara, Tapanuli Utara, Sumatera Utara. Merupakan pulau terbesar kedua di kawasan Danau Toba setelah Pulau Samosir.
Luasnya mencapai 461 hektare, dengan ketinggian sekitar 910 meter di atas permukaan laut. Pulau ini dihuni empat marga, yaitu marga Ompusunggu, Rajagukguk, Simaremare, dan Siregar dengan jumlah penduduk keseluruhan sebesar 1.200 jiwa.
Empat marga tersebut disimbolkan dengan adanya pohon hariara yang tumbuh di Desa Sibandang sebagai pendiri Sibandang. Konon, hariara itu bercabang empat sebagai simbol dari keempat marga tersebut. (Tulisan ini kiriman Riduan Situmorang, TACB Humbang Hasundutan dan Tapanuli Utara)