Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Medanbisnisdaily.com-Medan. Dekan Fakultas Pertanian (Faperta) Universitas HKBP Nommensen (UHN), Dr. Hotden L. Nainggolan SP. MSi, mengungkapkan bahwa konversi lahan pertanian juga merupakan penyebab utama dari melonjaknya harga beras dalam beberapa waktu terakhir ini.
"Rata-rata lahan pertanian yang dikonversi (dialihkan) mencapai 150.000 ha hingga 200.000 ha per tahun. Lahan pertanian ini dikonversikan menjadi lahan perumahan, industri dan perkebunan. Sedangkan penambahan lahan pertanian khususnya tanaman pangan sangat minim, hanya berkisar 60.000 ha per tahun," ujarnya di Medan, Senin (26/2/2024).
Apabila satu ha lahan pertanian mampu menghasilkan rata-rata 7 ton gabah kering giling (GKG) atau setara dengan 4,37 ton beras per ha, maka jumlah GKG atau beras yang "hilang" akibat konversi lahan mencapai 1,050 juta ton hingga 1,4 juta ton, atau setara dengan 655.500 ton hingga 874.000 ton beras.
Sementara penambahan lahan pertanian hanya seluas 60.000 hektare per tahun, dan hanya mampu menghasilkan 420.000 ton GKB, setara dengan 262.200 ton beras per tahun. "Artinya ada penurunan produksi GKG sebesar 630.000 ton hingga 980.000 ton per tahun, setara dengan 393.300 ton hingga 611.800 ton beras per tahun," jelasnya.
Disisi lain, jumlah penduduk terus bertambah setiap tahunnya sehingga kebutuhan pangan akan beras juga meningkat dan tentu hal ini mempengaruhi kemampuan pemerintah untuk memenuhi kebutuhan pangan masyarakat.
"Sehingga tidak heran jika impor beras harus terus dilakukan, meskipun sering disebutkan bahwa impor hanya untuk menjaga stok pangan BULOG. Intinya Indonesia setiap tahun harus melakukan impor beras," jelasnya.
Rapuhnya ketahanan pangan, khususnya beras, ini terbukti ketika Indonesia menghadapi bencana El Nino sejak beberapa waktu yang lalu, yang menyebabkan gagal panen dibeberapa sentra produksi beras di Indonesia. Harga beras langsung melonjak tajam akibat cadangan beras yang minim. Padahal sebelum adanya El Nino ini, sudah terjadi ten kenaikan harga beras dan sulit untuk turun.
Hotden mengatakan, saat ini rata-rata harga beras premium mencapai Rp 16.310 per kilogram (kg) atau naik 17,3% dan medium Rp 14.000 per kg atau 28,4%, dari harga sebelum El Nino, yakni Rp 13.900 per kg untuk beras premium dan Rp 10.900 untuk beras medium.
"Mungin inilah kenaikan harga beras tertinggi sepanjang sejarah dalam waktu singkat. Dan diperkirakan kenaikan harga beras terus berlanjut, jika tidak ada upaya serius dan konprehensip dari pemerintah, “jelasnya.
Hotden menegaskan, diperlukan kebijakan pemerintah yang integrative untuk meningkatkan produksi beras dalam waktu singkat dan menekan laju kenaikan harga yang ekstrim.
"Kebijakan impor beras tidak akan menyelesaikan masalah. Justru ini akan menimbulkan masalah baru berupa lonjakan harga ke depan dan menyebabkan petani enggan untuk mengembangkan usahatani padi sawah. Artinya pemerintah harus melakukan ekstensifikasi dan intensifikasi lahan pertanian, seperti; penghentian konversi lahan pertanian dan menambah luas lahan, penggunaan benih unggul dan penyaluran pupuk bersubsi tepat sasaran, penyuluhan kepada petani dan sebagainya," tuturnya.
Hotden juga mengatakan bahwa pemerintah harus mampu menjamin sektor pertanian sebagai sektor yang menjanjikan bagi peningkatan kesejahteraan petani. Konversi lahan secara massif yang terjadi selama ini lebih disebabkan ketidakpedulian pemerintah terhadap sektor pertanian khususnya produksi pangan beras.
"Hal ini terbukti dari adanya konversi lahan pertanian dalam jumlah besar, kelangkaan pupuk bersubsidi dan pengurangan jenis pupuk yang dibutuhkan pemerintah dan lainnya. Artinya pemerintah jangan berlindung dibalik El Nino sebagai alasan dari kegagalan produktivitas sektor pertanian, khususnya pangan beras," tegasnya.