Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Medanbisnisdaily.com-Salah satu hal menarik dari Keraton Yogyakarta adalah keberadaan Alun-alun Selatan. Dinamai demikian karena posisinya memang di sebelah selatan Keraton Yogyakarta.
Tempat ini selalu ramai dikunjungi oleh masyarakat. Baik masyarakat Yogyakarta sendiri, maupun para pendatang yang berkunjung ke Yogyakarta.
Alun-alun Selatan telah menjadi destinasi wisata di antara banyak destinasi wisata lain di Kota Gudeg ini. Apa yang menarik dari Alun-alun Selatan? Salah satunya berkaitan dengan kehadiran dua pohon beringin besar yang ada di sana.
Pohon beringin itu diyakini adalah sepasang pilar dari sebuah gerbang yang menghubungkan antara Keraton Yogyakarta dengan dunia luar dari sisi selatan. Ada keyakinan masyarakat Yogyakarta, bagi siapa yang dapat berjalan di antara pohon beringin itu akan mendapat berkah. Tentu saja ada syaratnya. Yakni harus dengan mata tertutup. Bila dalam kondisi mata tertutup seorang mampu melewati jalan di antara kedua pohon beringin itu, maka nasibnya diyakini mujur. Jika pada saat itu ia sedang menginginkan sesuatu, maka keinginan itu akan terkabul.
Biasanya Alun-alun Selatan ramai pada malam hari. Terutama di akhir pekan. Anak-anak muda berkumpul di tempat ini untuk mencoba peruntungannya.
Budayawan asal Yogyakarta, Matheus Suwarsono, mengatakan, masyarakat Yogyakarta sejak lama meyakini nilai-nilai itu. Tidak heran bila tempat itu tetap terawat dan terjaga hingga sekarang ini. Sekalipun telah menjadi objek wisata, namun nilai-nilai budaya di dalamnya tetap terawat.
MedanBisnis pun mencoba melewati jalan di antara kedua pohon beringin itu. Dengan mata ditutup kain hitam, MedanBisnis melangkah selangkah demi selangkah. Jarak tempuh memang tidak terlalu jauh. Kurang lebih 30 meter. Jalan itu pun cukup lebar. Lebih kurang 10 meter. Tetapi karena pengaruh mata yang tertutup langkah kaki terasa gontai. Beberapa kali MedanBisnis mencoba, namun tetap gagal. Dibutuhkan tingkat konsentrasi yang tinggi untuk bisa memastikan langkah kaki tetap konsisten sampai ke pohon beringin itu. Sedikit saja kaki goyah langkah kaki akan terbelok dengan sendirinya.
Begitu juga dengan yang lainnya. Tidak jarang ada yang meleset jauh. Padahal hanya tinggal beberapa langkah kaki saja. Ada saja yang mengganggu konsentrasinya. Apakah itu suara-suara di sekitarnya, atau boleh jadi perasaannya sendiri.
“Biasanya setiap orang akan didampingi temannya. Mereka hanya bisa memandu dengan suara, tidak boleh menyentuh tubuh temannya. Kadang-kadang ada pengunjung yang sepele. Memang jika dilihat dengan mata telanjang, rasanya tidak mungkin tak bisa melewati kedua pohon beringin itu. Namun setelah dicoba baru akan terasa sulit,” jelas Matheus.
Unik memang. Alun-alun Selatan dengan dua beringinnya itu telah memikat hati banyak orang. Padahal di siang hari, Alun-alun Selatan yang memang berupa lapangan itu, tampak biasa-biasa saja. Hanya ada petugas kebersihan dan pedagang asongan. Namun ketika malam, orang-orang bisa sampai berdesakan di sana.
Tidak heran, banyak orang yang memanfaatkan keramaian itu. Mulai dari pedagang makanan, penjual aksesoris, pedagang kaus dan sebagainya. Bahkan ada yang spesial menyewakan sapu tangan untuk menutup mata.
Selain itu, tempat ini juga menjadi pusat pamer kreativitas anak-anak muda Yogyakarta. Berbagai karya unik mereka dipamerkan di sini. Dari sepeda yang dihias dengan lampu yang berkedap-kedip sampai sado yang didekorasi dengan permainan cahaya.
Kreativitas masyarakat Yogyakarta patut diacungi jempol. Bahkan mereka mampu mendesain hal sederhana menjadi lokasi wisata.
Nilai-nilai Budaya
Alun-alun Selatan tidak sekadar lapangan tempat kegiatan-kegiatan tertentu berlangsung. Ia memiliki sejarah dan nilai-nilai budaya yang masih diyakini masyarakat Yogyakarta hingga kini.
Menurut Matheus, di masa kerajaan Mataram, Alun-alun Selatan ini memang sengaja didesain seolah menjadi bagian depan Keraton Yogyakarta. Mengingat posisi sebenarnya ia di belakang keraton. Tetapi karena Gunung Merapi dan Laut Selatan berada dalam satu garis simetris dengan Keraton Yogyakarta, maka lokasi belakang keraton yang semula tanah kosong ditata sedemikian rupa sehingga tampak seperti halaman depan keraton.
“Hal ini dimaksud agar posisi Keraton Yogyakarta tidak membelakangi Laut Selatan Bagi masyarakat Yogyakarta, Gunung Merapi dan Laut Selatan adalah simbol kekuatan yang menjaga keutuhan Keraton Yogyakarta sejak zaman Mataram kuno,” jelas mantan penari Keraton Yogyakarta yang kini menjadi egawai Taman Budaya Sumatera Utara ini.