Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Medanbisnisdaily.com-Medan. Dalam beberapa tahun terakhir geliat film di Sumatera Utara terus membaik. Sineas-sineas muda terus bermunculan dengan karya-karya mereka. Pada umumnya mereka menggarap tema-tema lokal. Bahkan beberapa di antaranya ada yang digarap dengan menggunakan bahasa daerah.
Beberapa di antaranya adalah dengan bahasa Batak Toba, antara lain, Anak Sasada, Tano Parsirangan, Ilu Na Maraburan, Amanghu Mardua Holong dan Alani Hapogoson.
Menariknya, kelima film ini justru digarap oleh Ponti Gea. Pemilik nama lengkap Pontyanus Gea memang tak bekerja sendiri. Dalam beberapa produksi ia dibantu oleh sineas Shaut Hutabarat yang juga memproduksi film Anak Tao yang juga berbahasa Batak Toba.
Selain berbahasa Batak Toba, ada juga film berbahasa Nias berjudul Ono Sitefuy dan Lua-Lua Bowo Sebua, yang juga disutradarai Ponti Gea.
Tanah Karo pun tak ketinggalan dalam produksi film berbahasa daerah. Sejumlah film berbahasa Karo diproduksi dan laris manis. Di antaranya Calon Bupati, Anak Mami, Jinaka, Dalan Robah, Melumang La Kepaten, Erpudun La Erpadan, Rondong Durhaka dan Nggara karya Ori Semloko.
Demikian juga dengan film berbahasa Mandailing Natal. Salah satu rumah produksi yang banyak menghasilkan film berbahasa Mandailing Natal adalah Djeges Art yang dipimpin Askolani Nasution.
Dalam 7 tahun terakhir, rumah produksi ini telah memproduksi 11 judul film. Di antaranya Biola na Mabugang, Tias 1, Tias 2 dan Senandung Willem. Rata-rata film ini dibuat dalam bentuk kepingan CD. Pasarnya pun merambah Riau, Kepri, Jambi, Jakarta, dan Kalimantan.
Fenomena ini menurut Ketua Insan Kritikus Film (IKF) Sumut, Baharuddin Sahputra, merupakan sebuah indikasi sineas muda memiliki semangat berkarya yang melirik kearifan lokal. Film berbahasa daerah adalah bukti cinta sineasnya terhadap budaya. Hal itu tidak menjadi kendala, walau secara teknis pasti ditemui kendala yang sangat tidak mudah diatasi dalam proses kerjanya.
“Dari sisi bisnis, film lokal dengan menggunakan bahasa daerah itu sangat prospek. Apalagi kalau pilihan tema disesuaikan dengan situasi kekinian, kata Bahar pada medanbisnisdaily.com, Selasa (26/9/2017).
Yang dijual tentu yang memiliki nilai historis, budaya dan pesan moral. Sebab film merupakan media edukasi yang efektif untuk menyentuh penontonnya. Lewat bahasa gambar , tokoh dan dialog yang dikemas baik akan menjadi sesuatu yang patut dihargai, tambah Bahar.
Diakuinya, IKF Sumut melihat ini sebuah fenomena positif.
“Saya selalu katakan dalam berbagai kesempatan, mari berpikir indah dalam karya nyat, khususnya dalam dunia perfilman. Sebab untuk membuat sebuah film dibutuhkan pemikiran dan biaya yang cukup besar. Kita tetap mendukung siapapun yang menproduksi film-film dalam berbagai bentuk yang kreatif,” ujarnya.