Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Medanbisnis.com-Medan. Ajakan nonton bareng (nobar) film G 30 S/PKI oleh Panglima TNI, Gatot Nurmantyo, beberapa waktu lalu, menjadi perbincangan publik. Sejumlah tokoh masyarakat ada yang setuju. Tetapi tidak sedikit pula yang menolak. Alasannya karena sebagian cerita dari film itu masih diragukan kebenarannya.
Terlepas dari pro kontra itu, film garapan Arifin C Noer yang berdurasi lebih dari 3 jam itu, bagaimana pun adalah sebuah karya seni. Sebagaimana karya seni, subjektifitas adalah nafasnya. Termasuk dalam sebuah film. Sekalipun film berlatar belakang sejarah, “campur tangan” sutradara tetap sulit untuk dihindari.
Perdebatan yang paling sering muncul adalah ketika “kotak hitam” sejarah itu diangkat dalam karya sastra. Tema ini bahkan dengan serius dibahas dalam “Borobudur Writers & Cultural Festival (BWCF) 2012 lalu di Yogyakarta. Saat itu muncul selisih pendapat antara sastrawan, sejarawan dan juga budayawan mengenai porsi masing-masing dalam mengangkat sebuah peristiwa sejarah.
Selisih pendapat itu bahkan menjadi polemik di salah satu kabar nasional. Ada yang berpendapat sastrawan perlu lebih maksimal mengangkat sejarah dalam karya-karyanya. Yang lain menyebut, hal itu tidak tepat. Dikhawatirkan sentimen, subjektivitas bahkan imajinasi sastrawan akan sulit dihindari.
Seperti dicontohkan Ahda Imran sastrawan yang ikut berpolemik itu. Ahda menukik novel serial Gajah Mada (Langit Kresna Hariadi) dan Dyah Pitaloka: Senja di Langit Majapahit (Hermawan Aksan) yang sumber data-datanya masih sangat kabur. Mengingat sampai kini kebenaran sosok Gajah Mada itu sendiri pun masih dalam perdebatanm para sejarawan. Begitu juga dengan Dyah Pitaloka yang disebut-sebut putri Kerajaan Padjajaran yang terzalimi.
Walau begitu novel yang berlatarbelakang sejarah, terus bermunculan. Di antaranya, “Rara Mandut” “Genduk Duku” dan “Lusi Lindri” karya Mangunwijaya. Juga karya-karya Pram, seperti “Anak Semua Bangsa” “Rumah Kaca” “Jejak Langkah”. Adapula karya-karya Suparto Brata yang menulis novel “November Merah” “Gadis Tangsi” dan “Surabaya Tumpah Darahku”. Selain itu sejarah Bali juga dituliskan dalam Trilogi sastra, Puputan Badung, masing-masing “Biyar Biyur ring Pesisi Sanur” “Kulkul Bulus” dan “Tyaga Wani Mati” karya Nyoman Manda, menceritakan perang antara rakyat yang dipimpin rajanya melawan penjajah Belanda.
Termasuk pula novel yang berlatarbelakang sejarah Sumatera Utara. Sebagian besar novel ini mengulas tentang kehidupan di perkebunan Deli, Sumatera Timur pada masa kolonial. Di antaranya, “Rubber” (1931) dan “Koelie” (1932) karya Madelon Hermina Szekely-Lulofs. Novel ini menjadi penting, karena Lulofs tak hanya menggunakan teknik bersastra, lebih dari itu, ia memanfaatkan data-data sejarah dalam novelnya.
Novel “Koelie” (Kuli) menggunakan sejumlah refrensi di antaranya, “Toean Keboen dan Petani: Politik Kolonial dan Perjuangan Agraria” karangan Karl J Pelzer (1985), “Perjuangan Rakyat: Revolusi dan Hancurnya Kerajaan di Sumatera buah pena Anthony Reid (1987). “Kapitalisme dan Konfrontasi di Sabuk Perkebunan Sumatera karangan Ann Laura Stoler (1870-1979). Data-data ini kemudian dikembangkan lagi oleh Emil W Aulia dalam novelnya yang berjudul, “Berjuta-juta dari Deli” (2006). Meski masing-masing penulis mengaku menggunakan data-data yang ada, tetapi bukan berarti tidak ada kritik dari kalangan sejarawan itu sendiri yang mempertanyakan kebenaran data-data itu sendiri.
Semangat Zaman
Hal itu juga terjadi saat novel “Acek Botak” karya Idris Pasaribu dibedah oleh sejarawan Ichwan Azhari saat dilaunching sekitar 7 tahun lalu. “Acek Botak” sendiri mengulas tentang kehadiran etnis Tiongkok dan perkembangannya di masa Kuli Kontrak. Diakui Idris Pasaribu, buku itu merupakan hasil riset yang ia lakukan selama bertahun-tahun. Namun bagi sejarawan Ichwan Azhari, novel itu belum bisa dikitakan sebagai novel sejarah. Salah satunya, karena beberapa kisah yang diceritakan di novel itu, belum bisa dibuktikan kebenarannya.
Dalam hubungannya dengan sejarah, sastrawan menurut pemikir Hans Robert Jauss menyebut, tidak lepas dari semangat di zamannya. Semangat zaman ini sering mempengaruhi faktualitas sejarah ketika dituangkan dalam bentuk karya sastra (novel). Inilah yang sering terjadi kemudian. Ketika sastra memasuki wilayah sejarah, seringkali menjadi bias dan tak terkendali.
Celakanya, di Indonesia justru banyak peristiwa sejarah yang masih diragukan kebenarannya bahkan termasuk oleh sejarawan sendiri, seperti yang terjadi pada peristiwa G 30 S/PKI.