Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Medanbisnisdaily.com-Medan. Tak banyak refrensi maupun catatan budaya Batak Toba yang menjelaskan arti maupun makna dari upacara mandudu (baca; maddudu). Beberapa tulisan yang menjelaskan ritual ini sering lebih sekadar laporan yang bersifat reportase. Tidak heran jika banyak orang Batak Toba masih asing dengan istilah ini.
Dalam upacara itu, arwah leluhur diundang untuk hadir pada saat upacara berlangsung. Tidak heran, jika biasanya ritual mandudu digelar di tempat-tempat yang dianggap sakral atau keramat.
Yang paling populer adalah di Gunung Pusuk Buhit, Samosir. Hal itu dijelaskan budayawan Batak Toba, Martua Sinambela, kepada medanbisnisdaily.com, Rabu (15/11/2017).
Secara sederhana mandudu merupakan upacara meminta berkat kepada Sang Khalik melalui perantara arwah leluhur. Para peserta berdoa semalaman penuh dengan diiringi gondang sabangunan. Pada upacara itu juga biasanya akan digelar mangalahat horbo, yakni menyembelih kerbau untuk dimakan bersama.
Menurut Martua yang juga pelaku pengobatan alternatif ini, pelaksanaan ritual ini wajib dilakukan pada malam hari. Pada saat ritual puncak berlangsung, tidak boleh ada setitik cahaya, termasuk api rokok. Yang ada hanya bunyi-bunyian gondang sabangunan (dudang-dudang) yang mengalun ritmis sekaligus mistis di tengah gelap gulita. Musik menjadi pusat kegiatan ini.
“Musik gak boleh berhenti. Harus bunyi sepanjang acara,” jelasnya.
Musik adalah doa-doa itu sendiri. Doa yang berdialog, antara manusia dengan penghuni alam semesta lainnya. Sehingga boleh dikatakan, kualitas suatu ritual pada masyarakat Batak Toba, ditentukan oleh pargoncinya (pemain musik).
Pada dasarnya mandudu sama dengan berdoa pada masyarakat tradisional. Meminta sesuatu kepada penguasa alam. Hanya, tata caranya tidak sesederhana orang berdoa atau yang disebut martonggo.
Agaknya mandudu seperti terikat berbagai syarat. Apakah ini konsekuensi dari permintaan yang terlalu “spesial” atau akibat dari kepada siapa permohonan itu ditujukan.
“Karena itulah, ritus ini sering dianggap sebagai praktik yang menyimpang. Sarat dengan klenik,” jelas Martua.
Pandangan itupun tak dapat dipungkiri, apalagi jika dilihat dari sisi waktu, tempat dan tata pelaksanaannya. Namun begitu, ada sisi hal yang menarik. Yakni adanya prinsip keseimbangan. Keseimbangan antara mikro dengan makrosmos. Antara batin seorang individu dengan alam sekitar. Bunyi-bunyian menjembatani harapan-harapan itu. Suatu keheningan yang kini jarang kita dapatkan.
Di lain hal, praktik ini tak jauh berbeda dari ritus-ritus berdoa di masyarakat nusantara lainnya. Seperti pada masyarakat Tengger yang kerap melakukan hal sama di Puncak Gunung Bromo. Atau para abdi dalem keraton Yogya yang berkiblat kepada Gunung Merapi.
Mereka menyampaikan doa-doanya di puncak-puncak gunung. Secara universal, gunung adalah simbol kesucian. Tidak heran bila gunung dianggap tempat yang paling dekat dengan sumber keilahian. Terlepas apakah sumber keilahian itu ada kaitannya dengan agama atau tidak.