Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Medanbisnisdaily.com-Medan. Ndikar adalah salah satu seni bela diri masyarakat Karo, Sumatera Utara. Sebagaimana seni bela diri lain di berbagai daerah, keberadaan ndikar sekarang ini juga semakin langka.
Tidak banyak lagi orang Karo yang mengetahuinya. Bahkan tidak sedikit yang masih asing dengan istilah ini. Padahal ndikar merupakan salah satu peninggalan budaya Karo yang sarat nilai-nilai kearifan. Karenanya sangat penting untuk mengangkat ndikar dan memperkenalkannya lagi ke publik. Banyak cara yang dapat dilakukan untuk itu. Salah satunya dengan mengangkatnya ke dalam bentuk film.
Hal itulah yang dilakukan Sineas Karo, Ori Semloko, lewat filmnya berjudul Nggara, yang diproduksi tahun 2013. Film ini berkisah tentang dendam, kehilangan dan cinta. Tokohnya adalah seorang pemuda yang menguasai ndikar dan demi mempertahankan cintanya harus bertarung dengan sejumlah orang. Ia pun menggunakan teknik bertarung ndikar yang dikuasainya itu.
“Tidak banyak lagi orang Karo yang tahu ndikar. Malah tak sedikit yang asing dengan istilah ini. Makanya aku mencoba mengangkatnya lagi lewat film,” kata Ori kepada medanbisnisdailiy.com, Selasa (28/11).
Selama ini ndikar sering dianggap sebagai tari-tarian. Karena memang dalam setiap penampilannya selalu diiringi musik tradisional. Teknik geraknya pun lincah, seolah sedang menari. Tak heran kalau ndikar sering disebut Tari-tari Bintang. Bedanya jika tarian ada gerak bakunya, kalau ndikar tidak. Ia bergerak secara spontan.
“Tidak akan pernah sama gerakan seorang “pandikar” ndikar yang satu dengan yang lain. Dalam seni bela diri ndikar kita diajak berdedikasi sebagai manusia yang bisa berinteraksi dengan manusia dan alam sekitar kita,” tuturnya. Ndikar sama halnya dengan seni bela diri lainnya, dituntut dengan latihan-latihan untuk bias memanfaatkan sisi fisik dan rohani. Sekaligus sarana manusia dengan alam sekitarnya, tambahnya.
Diakui Ori, saat ini ndikar sangat jarang dipelajari atau diajarkan baik di Tanah Karo ataupun di luar Tanah Karo. Saat ini hanya segelintir orang-orang tertentu dan juga di desa-desa tertentu saja yang masih mengerti atau memiliki kemampuan untuk mempraktikkan gerakan atau jurus dalam ndikar.
Rata-rata orang-orang ini adalah orang-orang tua yang sudah mulai uzur. Meskipun mereka mempunyai beberapa murid namun terkesan ilmunya berhenti hanya sampai disitu saja tanpa ada generasi penerusnya. Memang setahu saya ada beberapa perguruan di Kabanjahe yang aktif menggelar kejuaraan ndikar, tapi jumlahnya masih sangat minim.
Menurutnya, salah satu penyebab mengapa ndikar dan seni bela diri dari daerah sulit berkembang, karena istilahnya sendiri sudah jarang digunakan lagi. Setiap seni bela diri yang ada di Nusantara disebut silat. Padahal di daerah punya namanya sendiri.