Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Medanbisnisdaily.com-Medan. Kebutuhan akan pusat dokumentasi sastra di Sumut dirasa semakin penting. Para sastrawan di daerah ini berulang kali mewacanakan gagasan ini sejak 3 dekade lalu.
Pusat dokumentasi sastra merupakan "museum hidup" bagi aset-aset sastra. Baik berupa buku, naskah teater, hasil penelitian, bunga rampai, klipingan, hard disc, hasil reportase, rekaman, foto-foto, brosur, buklet, tiket pertunjukan, film dan sebagainya.
Daerah ini memiliki sejarah sastra yang panjang dan deretan sastrawan yang fenomenal, tapi dokumentasi oleh pemerintah tidak ada. Justru upaya itu dilakukan secara pribadi-pribadi.
Menyebut sejumlah nama di daerah ini yang rajin mendokumentasikan arsip sastra itu, antara lain Muhammad Twh, Ichwan Azhari, (alm) Ben M Pasaribu, (alm) Antilan Purba, Thompson Hs dan Jhon Fawer Siahaan.
Thompson Hs, misalnya, menyimpan ribuan dokumen berupa buku, majalah, hasil penelitian, klipingan koran, scrif, brosur, naskah teater, buklet, rekaman, foto-foto, tiket pertunjukan dan sebagainya.
"Kalau digabungkan dengan buku, jumlahnya mendekati 10.000," katanya kepada medanbisnisdaily.com, belum lama ini.
Demikian Ichwan Azhari yang rajin berburu arsip sampai ke luar negeri. Dokumentasinya mencapai puluhan ribu.Sebagian disimpan di perpustakaan Museum Situs Kota China, Marelan. Tak terhitung peneliti yang datang ke perpustakaannya itu.
"Sumut punya sejarah panjang tentang sastra. Mulai dari Hamzah Fansuri, Amir Hamzah, Chairil Anwar sampai generasi Hamsad Rangkuti. Tapi dokumentasi mereka di daerah ini sulit ditemukan," kata Ichwan.
Hal sama juga dilakukan Jhon Fawer Siahaan. Di Literacy Coffee, Jhon menyimpan buku-buku sastra, majalah, serta karya ilmiah yang jika ditotal jumlah mencapai ribuan.
"Ini upaya menghidupkan literasi di kota Medan. Saya membeli buku-buku ini dari toko-toko loak dan sebagian dari pribadi-pribadi," katanya, Senin (5/3/2018).
Namun tak dapat dipungkiri, dokumentasi yang dilakukan secara pribadi itu mempunyai beberapa kelemahan. Antara lain, rentan rusak terutama berkaitan dengan kenyamanan ruangan.
Tambah lagi, tak sedikit biaya diperlukan untuk merawat dokumen-dokumen itu. Hal itu pun diakui Thompson Hs. Beberapa kali ia harus memindahkan arsipnya ke tempat yang lebih nyaman.
Sering pula terjadi saat si pemilik perpustakaan meninggal, dokumen itu jadi tak terurus. Tak sedikit yang dijual ke penampungan barang bekas.
Apa yang terjadi pada PDS HB Jassin di TIM, Jakarta beberapa waktu lalu menjadi pelajaran penting. Ratusan ribu dokumen sastra yang selama ini menjadi rujukan sastrawan di Indonesia itu kondisinya sempat kritis. Kemudian pemerintah DKI Jakarta pun menawarkan diri untuk mengelolanya.