Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Medanbisnisdaily.com-Medan. Manusia perahu atau manusia laut yang di Sibolga lazim disebut Pincalang pernah ada hidup di perairan Sibloga dan Tapteng, Sumatera Utara. Pada era tahun 80-an mereka masih banyak ditemukan hidup mengapung-apung di laut lepas Sibolga dan perairan Tapteng yang berbatasan dengan Samudera Hindia.
Mereka berumah di perahu. Menyusuri lautan sepanjang waktu. Hidup dari satu pulau ke pulau lain. Dan baru akan ke daratan manakala hasil tangkapan mereka cukup untuk dijual.
Tidak hanya menangkap ikan, manusia perahu ini juga mengumpulkan sejumlah komoditi dari pulau-pulau yang ada di Laut Sibolga. Antara lain kopra atau kelapa, hasil-hasil hutan maupun kayu bakar. Hasil tangkapan laut dan komoditi-komoditi itu mereka jual ke tengkulak.
Meski mereka dikenal gigih mencari nafkah, namun mereka tetap miskin. Itu karena ulah para tengkulak yang kerap menipu mereka. Maklum sebagian besar Pincalang tidak bisa membaca dan tak melek angka.
Tambah lagi bunga yang tinggi atas pinjaman modal awal untuk mereka melaut. Hal itulah yang membuat manusia-manusia laut ini merugi dan terlilit utang sepanjang hidup.
Salah satu buku yang mengangkat kisah manusia laut ini adalah buku "Pincalang" yang ditulis Idris Pasaribu. Dalam buku itu, Idris mengisahkan bagaimana manusia-manusia laut ini harus bertahan hidup hanya untuk membayar utang sepanjang hidupnya.
Meski setiap hari mengarungi hidup yang keras di antara angin kencang dan arus gelombang yang tinggi dan hidupnya dililit utang, tidak membuat Pincalang ini berperilaku kasar.
Mereka menjunjung tinggi etika moral dan nilai-nilai kebersamaan. Misalnya siapa pun di antara mereka yang pertama kali mengunjungi sebuah pulau yang belum pernah dikunjungi sebelumnya, wajib mendirikan pondokan, mengumpulkan kayu bakar serta menyediakan korek api dan minyak tanah.
Hal itu dimaksudkan manakala ada seorang Pincalang yang terdampar di pulau itu, punya bekal untuk berteduh dan memasak. Selanjutnya ketika ia akan meninggalkan pulau itu, ia wajib melakukan hal yang sama.
Misalkan di pulau itu ada komoditi bernilai ekonomi mereka tidak boleh mengambil semuanya. Harus ditinggalkan sebagian untuk Pincalang lain. Hal itu dimaksud manakala ada Pincalang yang sedikit tangkapannya, bisa mengambil komoditi itu sebagai tambahan.
"Ini adalah semangat kebersamaan yang dimiliki manusia perahu yang sejak tahun 90 - an akhir, sudah mulai jarang dijumpai di perairan Sibolga dan Tapteng," kata penulis buku "Pincalang" Idris Pasaribu kepada medanbisnisdaily.com, belum lama ini
Selain karena tergerus zaman, diduga karena sebagian besar mereka tidak punya tempat yang jelas di daratan, katanya.
Idris juga menggambarkan ritual perkawinan manusia perahu. Sepasang muda-mudi manusia perahu yang baru saja melangsungkan pernikahan akan dilepas kedua orangtuanya masing-masing dengan sebuah perahu untuk mereka berdua. Itulah pelayaran pertama mereka sebagai pasangan suami-istri. Sekaligus juga sebagai ujian awal mereka berumah tangga.
Peneliti budaya pesisir Sibolga, Radjoki Nainggolan dalam sebuah seminar budaya pesisir yang digelar di Balai Bahasa Sumatera Utara beberapa waktu lalu, mengistilahkan manusia perahu ini sebagai kelompok masyarakat petualang lautan. Diakuinya meski keberadaan mereka pernah begitu populer namun dokumentasi tentang mereka masih sangat sedikit.
Sejarah tentang Pincalang sangat sedikit. Tapi istilah ini sering kita dengar, antara lain dalam lagu-lagu kelompok masyarakat pesisir termasuk di daerah pesisir Sumatera Barat.
"Apakah Pincalang yang dimaksud adalah manusia perahu yang dari Sibloga, belum tahu kita. Penelitiannya masih sedikit," kata Radjoki.