Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Medanbisnisdaily.com - Medan. DP (36) warga Dolok Sanggul, Humbang Hasundutan, tak pernah menyangka jika anak bungsunya JAS yang kini berusia 2 tahun 11 bulan akan mengalami gangguan pendengaran sejak lahir pada 16 April 2015 lalu. Hal ini diakuinya, akibat dirinya yang ketika hamil satu bulan, telah diserang oleh penyakit rubella atau campak Jerman dengan munculnya bercak merah pada kulit tangan dan kakinya.
"Ketika lahir, ternyata mata anak saya katarak dan telinganya tidak bisa mendengar. Tapi matanya sudah lebih dulu dioperasi. Sedangkan telinganya baru diketahui ada masalah setelah usianya setahun, karena tidak ada respon dengan suara," ungkapnya di Poli THT Instalasi Rawat Jalan RSUP H Adam Malik, Kamis (22/3/2018).
Namun kini, DP dan suaminya JS, dapat sedikit merasa lega. Sebab anak keduanya itu baru saja selesai menjalani operasi pemasangan cochlear implant oleh tim dokter ahli THT di RSUP H Adam Malik, untuk membantu pendengarannya. “Harapan kita, supaya secepatnya bisa mendengar. Sehingga nanti bisa sekolah di sekolah umum,” harapnya.
Ketua SMF Ilmu Kesehatan THT-KL RSUP H Adam Malik dr Adlin Adnan SpTHT-KL(K) mengatakan, sejak tahun 2013 JAS merupakan salah seorang dari enam anak yang menjalani operasi pemasangan cochlear implant pada tanggal 3 dan 4 Maret 2018 lalu. Cochlear implant sendiri menjadi salah satu pengembangan layanan di rumah sakit vertikal Kementerian Kesehatan RI ini, yang sudah berjalan selama lima tahun terakhir.
"Secara keseluruhan dari 2013, sudah melakukan cochlear implant pada 11 orang anak dengan 16 telinga. Tanggal 3 dan 4 Maret lalu ada enam pasien dengan tujuh telinga. Satu pasien dipasang pada kedua telinganya,” jelasnya.
Adlin menjelaskan, selain rubella ada banyak penyebab lainnya yang membuat anak-anak mengalami gangguan pendengaran. Oleh karena itu, ia selalu menekankan upaya preventif dalam mengatasi kasus gangguan pendengaran bawaan lahir.
"Bisa juga dilihat dari resiko, misalnya berat badan rendah. Sehingga beresiko gangguan pendengaran. Ini yang perlu di-screening (deteksi dini),” ucapnya.
Menurutnya, ibu hamil bisa melakukan screening, dan lalu memeriksa fungsi alat pendengaran setelah sang anak lahir. Jika anak memang mengalami gangguan pendengaran, maka cochlear implant pun jadi harapan terakhir.
"Namun, cochlear implant sendiri saat ini memang belum terlalu familiar di masyarakat, termasuk di Sumatera Utara. Salah satu masalah terbesarnya adalah biaya alat implan yang sangat mahal, yang termurahnya saja mencapai sekitar Rp 160 juta," terangnya.
Sedangkan dr M Pahala Hanafi Harahap SpTHT-KL(K) menjelaskan, layanan cochlear implant ini sendiri menjadi kebanggaan bagi RSUP H Adam Malik, dalam memberikan pelayanan kesehatan yang paripurna dengan berbasiskan perkembangan teknologi medis kepada masyarakat. Apalagi, menurut dia, layanan cochlear implant di RSUP H Adam Malik ini merupakan yang pertama di Sumatera.
"Khusus yang di RSUP H Adam Malik, mungkin sampai saat ini masih satu-satunya di Sumatera yang melakukan. Kalau di Indonesia, sudah dilakukan tahun 2002 di Jakarta," tuturnya.
Cochlear implant terang Pahala, dilakukan pada pasien dengan gangguan pendengaran saraf yang berat dan sangat berat, terutama gangguan pendengaran bawaan lahir pada anak-anak. Alat ini terdiri dari komponen internal dan eksternal, yang dipasang dalam rumah siput di telinga dalam serta di bawah kulit kepala.
"Komponen eksternal berupa penerima suara dan sound processor diletakkan di belakang telinga menyerupai alat bantu dengar biasa," sebutnya.
Setelah luka operasi sembuh, berkisar dalam waktu sekitar dua minggu, kemudian alat tersebut akan diaktifkan. Pada kondisi itulah, imbuh Pahala, maka pasien baru bisa mendengar berbagai bunyi dan mempelajari suara dari bahasa orang lain.
"Tapi pasien masih harus menjalani terapi bicara. Karenanya, operasi pemasangan cochlear implant ini sebaiknya dilakukan pada rentang usia satu hingga tiga tahun, untuk mendapatkan hasil yang optimal," pungkasnya.