Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Medanbisnisdaily.com - Medan. Taman Nasional Gunung Leuser merupakan habitat asli orangutan Sumatera (Pongo abelii). Di Sumatera Utara, orangutan Sumatera dapat dengan mudah ditemui di wisata alam Bukit Lawang, Kecamatan Bahorok, Kabupaten Langkat. Bukit Lawang memiliki luas 200 hektare.
Tahun 1979 di Bukit Lawang berdiri Pusat Rehabilitasi Orangutan oleh Regina Frey. Sebanyak 276 individu orangutan sitaan direhabilitasi. Pada tahun 1995, terbit Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 280/Kpts-II/1995 tentang Pedoman Reintroduksi Orangutan yang mengatur tidak boleh ada kegiatan rehabilitasi di dalam kawasan yang masih ada populasi liar.
"Pemerintah sebenarnya sudah mengeluarkan aturan. Tetapi sampai tahun 2002 masih ada penerimaan orangutan untuk direhabilitasi di Bukit Lawang," ujar Direktur Orangutan Information Centre-Yayasan Orangutan Sumatera Lestari (OIC-YOSL), Panut Hadisiswoyo dalam konferensi pers tentang kematian orangutan Jennifer (2,5) di aula Balai Besar Taman Nasional Gunung Leuser, Rabu (11/7/2018).
Dikatakannya, dari 276 orangutan itu, sekitar 49 orangutan yang ditemukan mati. Dia menilai, rehabilitasi tidak bisa dikatakan sebagai jaminan bisa selamat atau bertahan hidup karena proses alamiah tetap terjadi.
"Itu sangat wajar ada proses penyesuaian. Tapi di Bukit Lawang saat itu memang belum semutakhir sekarang misalnya yang disita dari masyarakat langsung diterima bercampur dengan orangutan liar," katanya.
Yang menarik, lanjutnya, antara tahun 1988- 2009, ditemukan 56% bayi orangutan yang lahir dari orangutan yang direhabilitasi ditemukan mati sebelum usia 3 tahun. "Jadi cukup tinggi. Dari 10 ou yang lahir, 5 mati. Tapi ini bukan mengejutkan karena di beberapa tempat. Semua pusat rehabilitasi yang dicampur dengan wisata itu punya tingkat kematian yang tinggi. di Tanjung Puting, Kalimantan ataupun di Sepilok, Sabah, Malaysia juga sama," katanya.
Kalau dibandingkan dengan kematian orangutan liar, misalnya di Ketambe, Kabupaten Aceh Tenggara, tingkat kematiannya kecil. Jika lagir 10 individu, hanya 1 yang mati. Kematian orangutan, menurutnya harus dilihat dari banyak faktor. Misalnya di Bukit Lawang yang dulunya merupakan Pusat Rehabilitasi, memang ada kehgiatan wisata.
"Sehingga kami sendiri mendorong pihak manajemen mengelola hati-hati. Karena riskan dan fatal kalau tak mampu mengendalikan tingkat kunjungan yang bisa berdampak pada penyebaran penyakit," katanya.
Kera besar, termasuk orangutan bisa menularkan penyakit kepada manusia. Di Uganda misalnya, 73% pasien yang di ruma sakit terkait dengan virus yang dibawa oleh simpanse atau gorila. Dari sampel pengunjung yang datang, mereka melihat gorila atau simpanse membawa penyakit, salah satunya herpes. Bisa dibayangkan Bukit Lawang yang ada akses wisata bisa berpotensi menyebarkan penyakit kepada satwa orangutan atau sebaliknya karena memiliki DNA yang sama jadi apapun penyakit manusia bisa tertular.
"Saya tidak menyimpulkan bahwa terjadi penyakit menular yang dibawa oleh manusia, saya hanya menyampaikan perlu kehati-hatian. Karena orangutan di Bukit Lawang adalah resource, dalam arti aset negara dan masyarakat di sana. Mereka mengandalkan orangutan untuk wisata," katanya.
Dikatakannya, sejak 1970 - 1999 penyakit yang menyebabkan kematian orangutan paling banyak karena disentri yang kebanyakan karena kontak dengan manusia mungkin karena air yang tidak berih, sampah, dan lain sebagainya.
"Sekali lagi saya tidak menyimpulkan penyebabnya dari manusia. Tapi pihak BBTNGL bisa menjamin bahwa keuntungan di sana bisa menguntungkan masyarakat dan lingkungan. Kami masih memandang ada terjadi kontak langsung dengan manusia. ini harus menjadi perhatian penting. OIC juga berupaya dalam peningkatanh kapasitas pramuwisata, misalnya harus jarak 10 meter dari orangutan, dilarang makan dengan orangutan, tapi memang masih ada oknum," katanya.
Kepala Seksi Wilayah Bukit Lawang, BBTNGL, P Turnip mengatakan hasil nekropsi dari kematian orangutan Jennifer sebagai proses alamiah. "Ini kematian yang alamiah. Bukan sebuah disaster. Kalau ini epidemi, tidak mungkin hanya menyerang satu golongan umur, induknya harusnya kena juga. Tapi tim lapangan kami memantau Jeky dari tanggal 1 Juli sampai sekarang 11 Juli, tidak ada gejala tertular penyakit," katanya.