Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Oleh: Gunawan Benjamin*
"Akan datang suatu masa pada umat manusia, di mana pada saat itu orang yang tidak memiliki kuning (emas) dan putih (perak), dia tidak disusahkan oleh kehidupan." (HR ath-Thabarani). Atau Akan datang suatu masa pada umat manusia, di mana saat itu tidak berguna selain uang emas (Dinar) dan uang perak (Dirham) .” (HR Ahmad).
Begitulah sabda Rasulullah SAW yang belakangan ini digunakan sebagai “ajakan” oleh sejumlah orang untuk banyak menggunakan dinar maupun dirham sebagai alat tukarnya. Sayangnya, pengalaman penulis selama ini melihat bahwa ajakan tersebut datang dari banyak agen penjual dinar dirham yang sempat menawarkan dinar dirham tersebut kepada saya.
Dan yang patut disayangkan lagi, ajakan seperti itu seakan menggiring opini untuk mengharamkan penggunaan uang kertas. Padahal logikanya begini, di saat kita membeli dinar atau dirham yang mereka jual, lantas mereka menerima uang kertas yang saya pergunakan untuk membelinya. Nah kalau uang kertas itu haram menurut versi mereka, lantas kenapa mereka mau dibayar dengan uang kertas?. Jelas ada pertanyaan besar dan ini menyesatkan.
Sehingga saya berkesimpulan, kata haram ini sebagai modus untuk melanggengkan dagangan emas dan perak mereka. Karena tidak ditemukan dalil valid yang mengharamkan penggunaan uang kertas. Jadi dalam konteks berdagang di atas, hadits tersebut menurut hemat saya dijadikan sebagai “alat jualan” bagi mereka.
Akan tetapi sebelum sampai ke pembahasan yang lebih dalam, sebaiknya kita juga mengetahui bagaimana sih sebenarnya uang kertas itu diciptakan. Saya akan menggunakan ilustrasi yang sangat sederhana untuk menggambarkannya.
Misal: hiduplah seorang raja yang menguasai dua wilayah. wilayah A dan wilayah B. Wilayah A ini padat penduduknya, sulit mencari pekerjaan, rawan masalah sosial, sementara wilayah B ini masih merupakan hamparan lahan kosong. Sang raja berniat untuk memindahkan sebagian peduduknya dari wilayah A ke wilayah B sembari memberi pekerjaan ke masing masing warganya.
Sang raja pun berkonsultasi dengan sang ahli keuangan, sebut saja bank sentral. Bank sentral menyarankan kepada raja untuk mencetak uang. Uang itu selanjutnya dipinjamkan ke bank umum, selanjutnya bank umum meminjamkan ke masyarakat.
Sang raja memberikan arahan agar bank nantinya memberikan pinjaman kepada masyarakat yang mau membangun pabrik sawit di wilayah B, yang sejauh ini masih tanah konsong. Jadi teknisnya begini. Seorang masyarakat katakanlah bernama Ali, yang mau membangun pabrik dan lahannya di wilayah B, mengajukan pinjaman ke bank umum.
Di saat Ali mendapatkan pinjaman dari bank umum, ia pun mempekerjakan tetangganya untuk bekerja dan pindah ke wilayah B. Selanjutnya Ali membuat minyak goreng sawit yang dijual ke warga yang tinggal di wilayah A. Dari hasil penjualan tersebut Ali membayar cicilan ke bank umum dan bank umum membayarkannya ke bank sentral.
Jadi ada perpindahan penduduk. Sehingga masalah sosial berkurang di wilayah A, tingkat pengangguran menurun, dan wilayah B menjadi berpenghuni, sehingga mampu menciptakan kesejahteraan bagi masyarakat.
Bayangkan kalau seandainya uang itu pakai emas, bukan uang kertas, tentu tidak semudah itu membangun ekonomi di wilayah sang raja. Karena harus ada emas atau perak terlebih dahulu, baru mencetak uang. Bayangkan jika wilayah kekuasaan sang raja tidak memiliki emas kecuali sawit. Urusan ekonominya makin ribet lagi kalau harus menggunakan emas sebagai alat tukar atau uangnya. Jadi begitulah uang kertas diciptakan, sehingga kita dituntut bekerja atau produktif sebelum dapat uang.
Karena kelemahan uang kertas adalah akan menyebabkan inflasi atau uang kertas itu tidak bernilai, jika hanya dicetak terus dibagi-bagikan saja. Tanpa ada kegiatan ekonomi yang produktif di situ. Itulah asal muasal uang kertas dari ilustrasi yang tentunya tidak begitu sempurna, walaupun saya harapkan bisa menambah pengetahuan kita.
Namun, saya akan mengambil hadits lain yang dipergunakan sebagai acuan untuk melihat perkembangan ekonomi, khususnya terkait dengan uang pada saat ini: "Akan datang suatu masa pada umat manusia, di mana saat itu tidak berguna uang emas dan uang perak".
Saya berpendapat hadits tersebut benar adanya jika disepadankan dengan kondisi ekonomi terkini.
Di mana pencetakan uang kertas tidak lagi mengacu kepada banyaknya emas ataupun perak yang kita miliki. Dikarenakan memang penggunaan emas dan perak atau uang kertas sebagai alat tukar memiliki plus minusnya masing masing. Dan ekonomi dunia belakangan ini banyak diputar dengan menggunakan uang kertas.
Akan tetapi, kita perlu juga menelisik kebenaran hadits “Akan datang suatu masa pada umat manusia, di mana saat itu tidak berguna selain uang emas dan uang perak”(HR Ahmad).
Jika melihat tren perkembangan ekonomi dunia, saya melihat ada sejumlah perubahan mendasar khususnya terkait dengan uang tersebut. Di zaman Romawi maupun masa Rasulullah SAW, emas dan perak menjadi alat tukar yang banyak digunakan sebagai alat transaksi. Saat ini yang berkembang adalah uang kertas. Tetapi, kita sekarang juga diperlihatkan bahwa tren perkembangan ke depan adalah dengan banyak menggunakan bantuan teknologi. Bentuknya tidak lagi uang kertas, tetapi uang elektronik.
Variannya sangat banyak sekali. Mulai dari ATM, e Toll, kartu kredit, ataupun jenis transaksi lainnya. Uang berubah dari yang dahulunya memiliki bentuk fisik, saat ini hanya merupakan angka digital, di mana manusia sangat bergantung kepada teknologinya.
Tentunya dibutuhkan ruang penyimpanan data atau server yang bisa menampung semua informasi yang dikembangkan secara digital tersebut. Dan lagi-lagi manusia bergantung kepada keandalan infrastruktur teknologi yang dikembangkan. Yang tidak menutup kemungkinan adanya kekurangan yang bisa saja merugikan umat manusia nantinya.
Kita kerap percaya menggunakan email, facebook, twitter, ATM, internet banking, mobile banking, ataupun media sosial atau layanan keuangan lainnya tanpa menaruh curiga terhadap kemungkinan kegagalan sistem yang bisa saja merusak semuanya.
Tetapi kita juga seharusnya mewaspadai bahwa sistem yang dibangun manusia ini bisa saja mengalami kegagalan. Baik itu dikarenakan oleh manusianya sendiri atau human error, atau juga diakibatkan faktor lain seperti bencana alam hebat. Naudzubillah min dzalik jangan sampai hal tersebut terjadi.
Tetapi seandainya hal tersebut benar terjadi dan memicu terjadinya kegagalan sistem, maka manusia berpeluang untuk lebih percaya kepada emas dan perak dibandingkan dengan uang kertas sebagai alat tukar atau pembayaran. Karena sifat emas itu universal. Sehingga saya berkeyakinan bahwa hadits tersebut nantinya akan menemukan kesesuaian fakta, Wallahu’alam.
Sifat emas yang universal membuat manusia akan lebih banyak menggunakannya. Nah apa itu universal?. Saya jawab dengan contoh. Kalau seandainya kita ingin berpergian ke luar negeri, katakanlah Singapura, maka kita harus menyediakan Singapur Dolar untuk ditransaksikan di negara itu.Tidak bisa menggunakan Rupiah.
Nah, kalau kita ke Singapura dengan membawa emas, sudah pasti bisa emas itu dijual di Singapura. Dan emas juga bisa dijual di negara manapun. Karena semua manusia memahami kalau emas itu berharga. Tetapi tidak dengan uang kertas yang berlaku di teritori tertentu. Itulah sifat universal emas.
Jadi bagi mereka yang sengaja memanfaatkan hadits untuk hanya sekadar mencari keuntungan, baik itu emas, perak, maupun uang kertas. Maka hadits ini cocok sekali
”Celakalah hamba (orang yang diperbudak) dinar, dirham, beludru dan kain bergambar. Jika dia diberi dia ridha, jika tidak diberi dia tidak ridha” (HR Bukhari dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘Anhu).
*Pengamat ekonomi, Mahasiswa S3 UIN Sumatra Utara