Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Dikepung peta politik yang terbelah antara pendukung Jokowi dan Prabowo, saya teringat dendang Broery Marantika yang berjudul “Aku Begini Engkau Begitu.” He-he, di dalam tidur di dalam doa, mereka berjanji bersatu bergandeng tangan. Tapi di alam nyata, aduhai, “Aku begini engkau begitu.”
Demikianlah, polarisasi politik kala masyarakat terbelah ke dalam dua kubu yang berseberangan. Bukannya saling menghormati pilihan yang berbeda, tetapi bagai dua musuh bebuyutan, saling ejek saling benci bagaikan melodrama yang tercermin di media sosial..
Fenomena itu sudah mencekam sejak masa kampanye Pilpres 2014. Malah berlanjut pada Pilgub DKI Jakarta 2017.
Saya khawatir polarisasi itu akan terus terjadi pasca Pilpres 2019. Meskipun nantinya, KPU sudah mengumumkan secara sah pemenang Pilpres, tapi jangan-jangan masih ada saja pihak yang belum legowo.
Padahal Pilpres sudah usai. Namun pertikaian politik belum juga mereda, seakan-akan Pllpres berlangsung terus menerus.
Jika mengutip pendapat lmuwan politik James Q Wilson (2012), komitmen kuat terhadap kandidat dalam Pemilu dapat berpengaruh pada terbentuknya polarisasi di kalangan pemilih. Sehingga bermekaranlah kubu dan relawan pendukung yang fanatik.
Memang beda dengan iklim politik di era orde baru yang memaksakan politik deideologisasi dan massa mengambang. Partai politik tidak boleh memiliki cabang di kecamatan dan desa. Lalu, indoktrinasi wajib berasas tunggal Pancasila bagi segenap kekuatan sosial politik. Tak ayal, “koor tunggal yes man” bergema di parlemen tanpa perdebatan ideologis.
Namun era reformasi sesudah lengsernya Soeharto, tak serta merta mendorong debat ideologis. Presidensialisme multi-partai yang dianut justru mendorong munculnya pragmatisme politik. Partai-partai politik berkoalisi didorong oleh interest merebut kursi di kabinet.
Kita Bersaudara
Sesungguhnya, polarisasi dititiskan oleh perbedaan politik di pucuk elite yang merembes ke perilaku politik warga. Misalnya, perbedaan elite Partai Demokrat dan Republik di Amerika membuat publik Amerika terbelah.
Namun, polarisasi di Indonesia lebih merupakan fenomena di tingkat massa, ketimbang elite politik. Pemujaan pemilih terhadap kandidat yang mereka dukung lebih kuat ketimbang pragmatisme elite.
Bahkan, polarisasi antarparpol bak pucuk eru ke mana angin bertiup. Ketika Jokowi memenangkan Pilpres 2014, Partai Golkar, PAN dan PPP tiba-tiba menjadi pendukung Jokowi, dan meraih kursi di kabinet.
Namun polarisasi juga telah membuat banyak orang mempunyai kesadaran politik. Bahkan, mereka yang sebelumnya “buta politik” menjadi “melek politik.”
Saya terbayang jika massa yang kandidatnya kalah dalam Pilpres 2019 akan lebih jeli mengawasi kinerja pemerintah. Tapi mereka yang kandidatnya menang akan terus mendukung setiap kebijakan pemerintah.
Polarisasi tak selalu buruk. Bahkan dapat memperkuat demokrasi. Saya berharap agar kandidat yang kalah berserta timses dan parpol pendukungnya tidak terus-terusan mengeksploitasi spirit perlawanan. Betapapun pemerintahan baru telah terpilih secara legitimate.
Sebaliknya, kandidat yang menang dan pendukungnya tak perlu jumawa dan diamuk overeuforia. Apalagi terus mengungkit-ungkit kelemahan kandidat pesaing. Toh, Pilpres sudah usai.
Kini, tiba masanya Capres-Cawapres menebarkan pesan 'kita semua bersaudara'. Siapapun yang terpilih, dunia belum akan kiamat. Pilpres, bukanlah tujuan akhir. Tapi hanya jembatan menuju demokrasi sejati, ketika kepentingan rakyat adalah harga mati!